Mantan CEO Ciitilink Diperiksa KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil mantan Chief Excecutive Officer (CEO) PT Citilink Indonesia Albert Burhan dalam penyidikan tindak pidana korupsi suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C pada PT Garuda Indonesia.
"Hari ini dijadwalkan pemeriksaan terhadap Albert Burhan sebagai saksi untuk tersangka Emirsyah Satar," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat 26 Januari 2018.
Untuk diketahui, Emirsyah Satar merupakan tersangka yang diduga sebagai pihak penerima dalam kasus tersebut.
Albert Burhan juga diketahui pernah menjabat sebagai Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia 2005-2012.
Selain Albert, KPK juga memanggil pegawai PT Jimbaran Villas sebagai saksi juga untuk tersangka Emirsyah Satar.
KPK telah menetapkan mantan Dirut PT Garuda Indonesia 2005-2014 Emirsyah Satar dan Presiden Komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo sebagai tersangka terkait kasus tersebut.
Namun sampai saat ini KPK belum menahan keduanya meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka pada Januari 2017 lalu.
"Semua kasus akan kami limpahkan kalau semua bukti yang dibutuhkan sudah selesai. Kasus Garuda Indonesia dugaan penerimaan sudah kami temui bukti-buktinya, dari pemeriksaan juga kami sudah dapat info," kata Febri.
Febri mengungkapkan bahwa masih ada kebutuhan-kebutuhan terkait kerja sama internasional dalam penyidikan kasus tersebut.
"Terakhir, kami baru proses "mutual legal assistance" untuk beberapa negara yang kami butuhkan bukti-buktinya. Jadi, kami tinggal tunggu respons, ada karakter-karakter kasus korupsi tertentu yang sifatnya transnasional. Itu butuh kerja sama beberapa negara," ungkap Febri.
Sebelumnya Soetikno Soedarjo memilih irit bicara seusai diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Emirsyah Satar pada 15 Januari dan 23 Januari 2018.
"Tanyakan penyidik saja ya," kata Soetikno di gedung KPK, Jakarta, Selasa (23/1).
Emirsyah pun juga sempat diperiksa KPK sebagai tersangka dalam penyidikan kasus tersebut pada Kamis (11/1).
Saat itu, Emirsyah pun enggan berkomentar banyak seusai diperiksa "Tanya penyidik saja," kata Emirsyah.
Emirsyah Satar dalam perkara ini diduga menerima suap 1,2 juta euro dan 180 ribu dolar AS atau senilai total Rp20 miliar serta dalam bentuk barang senilai 2 juta dolar AS yang tersebar di Singapura dan Indonesia dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce dalam pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 pada PT Garuda Indonesia Tbk.
Pemberian suap itu dilakukan melalui seorang perantara Soetikno Soedarjo selaku "beneficial owner" dari Connaught International Pte. Ltd yang berlokasi di Singapura.
Soektino diketahui merupakan presiden komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA), satu kelompok perusahaan di bidang media dan gaya hidup.
Rolls Royce sendiri oleh pengadilan di Inggris berdasarkan investigasi Serious Fraud Office (SFO) Inggris sudah dikenai denda sebanyak 671 juta pounsterling (sekitar Rp11 triliun) karena melakukan pratik suap di beberapa negara antara lain Malaysia, Thailand, China, Brazil, Kazakhstan, Azerbaizan, Irak, Anggola.
KPK awalnya menerima laporan dari SFO dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura yang sedang menginvestigasi suap Rolls Royce di beberapa negara, SFO dan CPIB pun mengonfirmasi hal itu ke KPK termasuk memberikan sejumlah alat bukti.
KPK melalui CPIB dan SFO juga sudah membekukan sejumlah rekening dan menyita aset Emirsyah yang berada di luar negeri.
Emirsyah disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan Soetikno Soedarjo diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. (ant)
Advertisement