Manisnya Cabai Sukorame, Ini Pengalaman Petani Lamongan
Agroekosistem Desa Sukorame Kecamatan Sukorame, Kabupaten Lamongan, rupanya sangat cocok untuk budidaya cabai. Sehingga ketika di awal musim penghujan petani lain belum memiliki penghasilan, petani cabai Desa Sukorame masih bisa meraup untung.
Mereka bahkan sudah mengembangkan manajemen tanam sendiri. Berdasarkan penuturan Kades Sukorame Anton Susilo, petani desanya melakukan survey di pasar setempat terlebih dahulu sebelum memulai tanam cabai.
Manurut Anton, awal mula warga desanya bertani cabai dari survei sederhana di pasar kecamatan setempat.
“Kami survei dulu, komoditas apa yang paling laku di pasar, kapan komoditas itu paling banyak dibutuhkan dan apa jenisnya. Dari situlah awal mula petani Desa Sukorame mulai menanam cabai merah, “ urai dia.
Dari survei tersebut, lanjutnya, produksi cabai mereka selalu bisa diserap pasar dengan harga yang layak. Karena jadwal tanam mereka disesuaikan dengan jadwal pasar biasa membutuhkan cabai besar.
Selain itu, tanah di desanya rupanya cocok untuk budidaya cabai besar, sehingga produksinya melimpah. Di setiap lahan seluas 1 hektare, produktivitasnya mencapai 1 hingga 1,5 ton perhektare dalam sekali panen. Sementara dalam satu kali siklus tanam, mereka bisa panen hingga sepuluh kali.
Dalam kondisi hijau, cabai besar dari petani dihargai Rp 11 ribu perkilogram. Sedangkan jika dalam kondisi merah, harganya bisa mencapai Rp 16 ribu perkilogram.
Namun dengan memanen cabai besar dalam kondisi hijau, petani bisa menambah intensitas panen. Karena untuk cabai bisa sampai berwarna merah, dibutuhkan waktu satu bulan.
Budidaya cabai besar ini berpeluang meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan produktivitas 1,5 ton perhektare, harga Rp 11 ribu perkilogram untuk cabai besar hijau dan bisa dipanen hingga sepuluh kali, maka omzet petani dalam setiap hektarnya bisa mencapai Rp 165 juta.(tok)