Mandiri di Tengah Pemerintah Yang Tak Bertaji
Agak sulit bagi warga, percaya pada upaya yang dilakukan pemerintah. Mereka kini harus mandiri. Melawan virus Corona yang belum ditemukan obatnya itu, sendiri.
Itulah alasan umum warga. Yang harus rela mengantre di toko-toko kimia. Lihatlah di Jatinegara, Jakarta; atau di Jalan Tidar Surabaya. Sudah lebih sepekan. Antrean selalu panjang. Berbekal informasi dari Google, dari broadcast group-group WhatsApp. Tentang cara mandiri menyemprot disinfektan.
Menunggu penyemprotan dari pemerintah tak bisa direka. Ada yang dapat giliran disemprot, tapi lebih banyak yang tak dapat jatah.
Di Gunung Anyar, Surabaya misalnya. Ada warganya positif COVID-19. Penyemprotan disinfektan tidak merata. Ada yang disemprot “Tapi bau semprotannya kayak air biasa. Tak berasa disinfektan”.
Warga kawasan ini putar otak. Membentengi kampungnya dari Corona. Dengan urunan. Pengurus kampung yang membelikan. Ke toko kimia. Di Jalan Tidar yang harus mengantre panjang. Berdesak-desakan dengan resiko tertular Corona juga.
Ketika Corona mewabah di Wuhan, awal tahun lalu, pemerintah daerah seakan berlomba “mengirim masker ke Wuhan”. Kini ketika wabah itu datang ke daerahnya, tak ada bantuan masker bagi warga. Hand sanitizer-pun juga susah didapat.
Di seluruh minimarket tak ada, bahkan toko peralatan kesehatan juga memampang tulisan besar di pintu depannya “masker dan hand sanitizer habis”.
Tak hanya kebutuhan dasar, untuk tes Corona juga hanya bagi mereka yang berpunya. Warga kebanyakan, tak mungkin melakukan tes secara mandiri. Biaya ratusan ribu rupiah membuat warga harus mengubur niat melakukan rapid test. Belum lagi antrean panjang jika mereka harus nekat melakukannya.
Sementara pemimpin mereka hanya bisa menghitung jumlah korban. Tiap sore dihitung. Degan mengundang wartawan. Sedangkan bantuan bagi warga tak pernah benar-benar nyata. Kalaupun ada, sangat sedikit sehingga tak merata.
Sepekan terakhir mungkin warga masih bisa tenang. Entah pekan berikutnya. Bekerja sudah susah. Tengoklah di mall-mall yang ada. Sepi di dalam, namun ramai di emperan berisi tukang ojek online berjajar menunggu order yang selalu sepi.
Tak semua warga punya penghasilan bulanan. Mayoritas bernasib layaknya ojek online. Bekerja hari ini untuk makan hingga lusa. Tak bekerja hari ini, berarti tak makan juga anak istrinya. Semoga Corona segera mereda.
Advertisement