Mandiri Berprofesi ala Disabilitas Netra
Salah satu keahlian yang paling banyak dimiliki kalangan disabilitas netra adalah memijat. Maka tidak sedikit disabilitas netra yang menggantungkan mata pencahariannya dengan menjadi tukang pijat. Baik itu membuka rumah pijat sendiri di tempat tinggalnya ataupun memijat di bawah naungan panti pijat disabilitas netra. Pada umumnya panti pijat dikelola oleh orang yang bukan dari kalangan disabilitas netra.
Membuka rumah pijat sendiri ataupun bekerja di panti pijat masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Melayani Jasa pijat mandiri memiliki konsekuensi harus menyiapkan segala kebutuhan untuk memijat secara mandiri pula. Mulai sewa tempat bagi yang belum memiliki rumah sendiri, menyiapkan tempat tidur untuk sarana memijat hingga minyak urut untuk keperluan memijat agar pengguna jasanya merasa nyaman dengan pelayanan yang diberikan.
Tidak hanya itu, bagi yang memulai usaha jasa pijat dari awal, membutuhkan waktu untuk memasarkan jasanya sampai benar-benar dikenal. Keunggulan membuka panti pijat sendiri, uang yang dihasilkan seluruhnya dikelola dan dinikmati sendiri.
Seperti pengalaman Bahrullah, warga Dusun Krajan, Desa Kalirejo, Kecamatan Kabat Banyuwangi. Pria kelahiran tahun 1973 ini telah bertahun-tahun membuka jasa pijat di rumahnya. Di tembok rumahnya terpampang papan bertuliskan Rumah Pijat Tuna Netra Harapan lengkap dengan nomor telepon untuk mempermudah calon pengguna jasanya untuk berkomunikasi.
Sejak awal, Bahrullah memilih membuka jasa pijat mandiri. Pria kelahiran Pulau Dewata ini tidak pernah sekalipun bergabung dalam sebuah panti pijat. Dia bisa menentukan kapan pasiennya bisa menggunakan jasanya untuk memijat. Begitu juga dengan tarif jasa memijat, semuanya dia tentukan sendiri.
“Kalau masalah tarif saya sesuaikan dengan kondisi. Tidak semata-mata profit,” ujarnya ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.
Biasanya, tarif yang dipasang berkisar antara Rp50.000 - Rp100.000. Besaran tarif ini juga bergantung pada kondisi kesehatan pasiennya. Pria beranak dua ini membutuhkan waktu 75-90 menit untuk memijat satu pasien. Dalam sehari maksimal dia hanya mampu memijat 3 orang saja.
Sebelum masa pandemi, setiap hari selalu ada saja orang yang menggunakan jasanya. Sejak pandemi melanda pengguna jasanya menurun drastis. Terkadang dalam satu hari sama sekali tidak ada orang yang datang. Meski demikian, dalam seminggu setidaknya ada 4 sampai 5 orang yang datang untuk pijat.
“Saya hanya melayani pijat di rumah saja. Tapi kalau kondisi darurat saya bersedia dijemput untuk memijat di luar,” jelas suami dari Mukaromah, 48 tahun ini.
Penyandang disabilitas netra lainnya, Nur Ainiyah, 43 tahun, juga melayani jasa pijat secara mandiri di rumahnya. Dia mengaku sama sekali tidak memasang tarif untuk jasa pijatnya. Selama ini, menurutnya, pengguna jasanya selalu memberikan bayaran setidaknya Rp50.000. Jika pelanggannya puas dengan pijatannya, ada juga yang memberikan hingga Rp150.000 dalam sekali pijat.
“Kalau mijatnya dipanggil ke rumah orang yang mau pijat, biasanya pasti diberi lebih dari Rp50.000., pasiennya sudah ngerti sendiri,” ungkapnya.
Warga Lingkungan Krajan, Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi ini mengaku sudah menjadi tukang pijat selama 20 tahun. Menurutnya, membuka tempat pijat sendiri resikonya harus menanggung semua kebutuhan. Kalau tempatnya sewa atau kontrak, harus siap dana untuk biaya kontrak.
“Karena saya punya tempat sendiri, jadi lebih enak buka sendiri di rumah,” jelasnya.
Dirinya juga harus pandai-pandai membuat pelanggan puas. Sebagai contoh dalam pemilihan minyak urut. Perempuan ini menyediakan beberapa macam minyak urut sesuai dengan selera pelanggannya. Karena ada pelanggan yang suka menggunakan minyak yang terasa hangat di badan, ada juga yang sebaliknya.
“Biasanya yang anget-anget, ada juga yang gak suka anget-anget. Ada minyak zaitun, ada baby oil, ada minyak urut atau minyak kayu putih,” beber ibu dua anak ini.
Kondisinya berbeda ketika penyandang disabilitas bernaung di bawah panti pijat. Semua sarana yang dibutuhkan sudah disiapkan pengelola panti pijat. Mulai tempat hingga barang-barang kebutuhan untuk memijat. Begitu juga pemasaran sudah dilakukan pengelola. Penyandang disabilitas netra hanya perlu menyiapkan tenaga dan kemampuannya untuk memijat.
Hanya saja, tarif pijat ditentukan oleh pengelola Panti Pijat. Begitu juga pembagian honornya mengikuti ketentuan dari Pengelola Panti Pijat. Biasanya besaran pembagiannya 50 -50 antara pemijat dengan Pengelola Panti Pijat.
“Dulu pernah ikut panti pijat waktu di Bandung. Tarif pijat di panti waktu itu masih Rp30.000. Untuk pengelola panti 50 persen, Saya 50 persen,” jelas perempuan yang pindah ke Banyuwangi sejak tahun 2006 ini.
Saat itu, Aini mengaku tidak keberatan dengan pembagian besaran tarif antara dirinya dengan pengelola panti pijat. Karena menurutnya semua panti pijat menerapkan aturan yang sama. Apalagi dirinya tidak mungkin membuka rumah pijat secara mandiri karena biaya kontrak di Bandung sangat mahal.
“Memang rata-rata seperti itu. Sampai sekarang seperti itu (pembagian honor antara pemijat dengan pengelola),” terangnya.
Menjadi pemijat di panti pijat juga pernah dilakukan Eko Prasetyo, 25 tahun. Warga Desa Karangsari, Kecamatan Sempu, Banyuwangi ini pernah bernaung di bawah panti pijat selama kurang lebih enam bulan. Eko, panggilannya, bekerja di panti pijat itu bersama 3 orang temannya sesama penyandang disabilitas netra.
Selama ikut panti pijat, Eko dan teman-temannya harus menyetorkan 50 persen dari honornya memijat kepada Pengelola Panti. Sekali memijat, panti memasang tarif sebesar Rp40 ribu. Sehingga Eko dan kawan-kawannya harus menyetor sebesar Rp20.000 setiap kali mendapatkan order pijat.
“Sebenarnya keberatan. Mestinya 25 persennya sajalah dari 40 ribu itu,” ujarnya kepada Ngopibareng.id dengan diamini ketiga temannya yang lain.
Selama ikut panti pijat mereka hanya mendapatkan fasilitas minyak urut dan kasur tempat pijat. Untuk bangunan lokasi panti beroperasi, saat itu pengelola tidak menyewa. Karena lokasi panti berada di panti asuhan tempat para penyandang disabilitas netra ini tinggal. Jika ada order untuk pijat di luar, pengelola panti biasanya membantu mencarikan tukang ojek.
“Karena di papan nama kan ada nomor HP-nya, jadi yang ingin pijat di luar menghubungi nomor tersebut dan pengelola panti mencarikan tukang ojek,” timpal Siswanto, 21 tahun, rekan Eko.
Jika ingin dipijat di rumahnya, pengguna jasa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk biaya ojek pulang dan pergi sebesar Rp20 ribu. Sehingga total biaya pijat diluar panti menjadi sebesar Rp60.000.
“Kalau kami dijemput dan kemudian diantar kembali tarifnya tetap,” jelasnya.
Saat ini, keempat orang ini sudah tidak lagi bernaung di bawah panti pijat. Mereka mengaku lebih senang dan nyaman membuka jasa pijat secara mandiri. Keempat penyandang disabilitas ini secara bergiliran melayani permintaan pijat dari pelanggannya.
Sejak memijat secara mandiri mereka mengaku tidak pernah secara spesifik memasang tarif. Namun pengguna jasanya selalu memberikan upah pijat minimal Rp50 ribu. Bahkan tidak sedikit yang memberikan uang dengan nilai yang jauh lebih besar. Dalam seminggu, setidaknya masing-masing dari mereka memijat 5 orang.
“Rata-rata tetap diberi Rp50 ribu. Uangnya langsung masuk kantong sendiri,” kata Eko.
Keempat orang ini sepakat untuk menyisihkan uang hasil memijat untuk kas yang mereka kelola sendiri. Kas tersebut mereka gunakan untuk keperluan memijat seperti membeli minyat urut dan lain sebagainya. Rencananya, jika uangnya sudah terkumpul banyak akan dibagikan secara rata pda mereka berempat.
“Sekarang teman-teman punya sistem semacam arisan, uang hasil memijat ada yang disisihkan lalu dikumpulkan. Kalau sudah banyak, dibagikan sama dipotong untuk beli minyak pijat. Tapi kan ini kembali kepada kita sendiri,” sambung Siswanto.
Ngopibareng.id berhasil menghubungi pengelola panti pijat tempat Eko dan kawan-kawannya pernah bekerja. Pengelola panti ini mengaku pembagian honor dengan besaran 50-50 antara pemijat dengan pengelola ini sudah aturan umum yang diterapkan Panti Pijat penyandang disabilitas netra.
“Jadi di manajemen di mana-mana panti pijat (aturannya 50-50). Saya kan sudah lama mengelola panti pijat. Itu untuk pemijatnya 50 persen untuk pengelolanya 50 persen,” ujar si pengelola panti pijat.
Dana yang masuk ke pengelola panti pijat itu, menurutnya digunakan untuk keperluan operasional dan penyediaan sarana seperti membeli kasur, beli korden, dan untuk perawatan. Dana tersebut menurutnya juga untuk jasa mengatur antar jemput saat ada order pijat di luar panti.
Sebagai pengelola panti pijat, dirinya juga membenarkan tidak membayar sewa untuk tempat lokasi panti pijat yang dikelolanya. Karena memang menurutnya tempat tersebut milik panti asuhan tempat anak-anak tersebut tinggal.
“Sewa tempat tidak sih,” akunya.
Satu sisi panti pijat yang pernah menaungi Eko dan kawan-kawannya ini juga mendapatkan bantuan berupa barang-barang kebutuhan panti dari donatur. Salah satunya dari komunitas Kami Peduli. Komunitas ini pernah memberikan bantuan berupa sarung bantal, sprei, hand sanitizer, minyak zaitun untuk keperluan urut, deodoran dan juga tongkat. Bantuan ini diserahkan melalui pengurus atau pengelola Panti Pijat tersebut.
“Pernah kami memberikan bantuan. Karena pas pandemi, (biasanya) pelanggan pakai satu bantal pasti ganti bantal atau sarung bantal yang lain,” kata Koordinator komunitas sosial Kami Peduli, Niki Perwitasari, 34 tahun.
Sementara itu, berkaitan dengan permasalahan disabilitas ini, pemerintah lebih berperan pada perlindungan dan pemberdayaan. Menurut Kepala Dinas Sosial Banyuwangi, Henik Setyorini, saat ini, instansi yang dipimpinnya sedang fokus meng-update data disabilitas.
“Dan ternyata saya temukan dari 8 ribu sekian (jumlah penyandang disabilitas di Banyuwangi), baru separuhnya atau 50 persen yang by NIK (nomor induk kependudukan). Sementara pemerintah dalam mengintervensi bantuan harus by NIK,” jelas Henik Setyorini.
Untuk itu, pihaknya sudah koordinasi dengan Dinas Kependudukan Banyuwangi agar penyandang disabilitas yang belum memiliki NIK bisa mendapatkan NIK. Dinas Sosial akan mengerahkan Penyuluh Sosial Masyarakat (PSM) yang ada di setiap Desa khusus untuk mengurus persoalan ini. Setiap Desa, menurutnya, memiliki satu orang tenaga PSM.
Selain itu, lanjutnya, ada beberapa program pelatihan yang sudah diprogramkan. Pelatihan akan dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan basic kemampuan yang dimiliki masing-masing penyandang disabilitas. Pelaksanaan pelatihan ini masih terkendala pandemi covid-19 yang saat ini terjadi.
Henik mengaku dalam setiap program yang akan dilakukan, pihaknya selalu berdiskusi dengan pendamping atau komunitas penyandang disabilitas untuk menentukan konsep programnya. Salah satunya dengan Komunitas Aura Lentera.
Sehingga pendampingan dan pelatihan yang diberikan agar penyandang disabilitas menjadi wira usaha itu benar-benar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Pendampingan juga diberikan hingga mereka mendapatkan pasar sesuai kemampuan mereka masing-masing.
“Jadi tidak hanya berhenti ke pelatihan saja. Konsepnya ke sana. Tapi kita pelan-pelan, jadi mulai data kita benahi lalu semua yang perlu dibenahi kita benahi kita tambahi secara bertahap,” tegasnya.
Komunitas Aura Lentera sendiri merupakan Lembaga pemberdayaan, penelitian tekonologi yang aksesibel. Aura Lentera selama ini fokus melakukan pendampingan kepada semua difabel dan organisasi penyandang disabilitas.
Menyikapi persoalan penyandang disabilitas pada panti pijat ini, Koordinator Komunitas Aura Lentera, Nur Hadi Windoyo, 37 tahun, menyatakan mengomentarinya secara obyektif. Menurutnya, penyandang disabilitas harus memahami bahwa dalam bekerja yang notabene ikut orang lain memang harus berbagi. Hal itu merupakan konsekuensi yang harus dihadapi.
“Konsekuensinya itu, kalau tidak mau sudah keluar saja, kerja sendiri yang bisa diatur sendiri,” ujar aktivis yang juga penyandang disabilitas ini.
Saat masih menganggur, lanjutnya, penyandang disabilitas ingin memiliki pekerjaan. Saat mendapatkan pekerjaan bersama orang lain, menurutnya harus taat dengan aturan atau kesepakatan yang sudah ada.
Di sinilah menurutnya ada hal-hal yang harus dipahami penyandang disabilitas. Karena dalam sebuah pekerjaan ada sisi manajerial seperti promosi dan juga upgrade fasilitas. Sisi kelemahan itu, menurutnya harus ditutupi oleh kelebihan orang lain.
“Seperti halnya kita bisa menutupi kelemahan orang lain dengan kelebihan kita. Saya kira tidak ada manusia yang sangat sempurna dan sangat kurang. Saya kira kita diciptakan saling melengkapi satu sama lain,” ujarnya.
Dia mencontohkan saat dirinya melakukan pendampingan pada disabilitas tuli untuk menjadi Barista. Promosi tidak hanya sekedar mengunggah poster ke medsos. Tapi bagaimana difabel yang didampingi bisa merasakan hasil karya yang dipromosikan.
Ayah satu anak ini menambahkan, saat memberikan semangat pada difabel untuk berdaya pada saat yang sama harus menyiapkan pasarnya. Karena jika tidak ada pasarnya, tidak akan ada yang mau membeli. Oleh karena itu, yang harus dilakukan tidak hanya sekedar promo saja tetapi juga berbagai komunikasi harus dilakukan.
“Lalu promosi itu disertai dengan mengupgrade fasilitas yang ada. Kalau kita hanya popkoknya promo sudah selesai ya pastinya tidak akan lama,” tegas suami dari Indah Catur Cahyaningtyas ini.
Dia meminta, empati kepada difabel diwujudkan pada peningkatan kualitas kemampuan dan dilakukan dengan asessment yang jelas. Agar membantu penyandang disabilitas bisa lebih berdaya. Sebab, kelemahan-kelemahan penyandang disabilitas ini akan memancing banyak orang untuk memberi. Selama ini, kata Dia kebanyakan yang diberikan pada penyandang disabilitas masih berupa barang bukanlah pemberdayaan.
“Mereka hanya memberikan ikan tak pernah memberikan pancing. Jadi pada saat pemberi ini meninggal siapa yang akan mengasih mereka lagi. Kasih pancing, tunjukkan dimana dia harus mancing kalau lagi tidak ada ikan. Ayo upgrade dirinya lagi bagaimana cara cari tempat ikan yang banyak. Istilahnya seperti itu agar mereka bisa survive terus,” pungkasnya.