Mandi Susu, ke Mana Arah Kebijakan Pangan Kita?
Dulu hanya kiasan. Untuk orang kaya yang berlebih uang. Sebab, ketika kiasan itu muncul, susu adalah minuman yang istimewa. Hanya orang kaya yang bisa menjangkaunya.
Atau mandi susu adalah bagian dari metode perawatan kulit. Yang dilakukan para sosialita. Yang menginginkan kulitnya lebih halus dan bening. Ini banyak menjadi bagian dari layanan klinik kecantikan di perkotaan.
Tapi, kini mandi susu tak hanya menjadi kiasan. Juga bukan lagi menjadi layanan eklusif untuk kaum berpunya. Terutama para ibu-ibu kaya yang ingin kulitnya tetap bening seperti kaca. Atau kulit putih seperti susu.
Seperti Anda tahu, mandi susu sudah menjadi kenyataan, beberapa hari ini. Bagi para peternak sapi perah di Pasuruan dan Boyolali. Yang panenannya tak bisa diserap pabrik yang biasa membeli susu para petani itu.
Kedua daerah itu memang dikenal dengan para peternak sapi susu. Biasanya mereka bergabung dalam koperasi. Yang menjadi penghubungan antara peternak dan pabrik. Sekaligus yang menjadi pembina mereka.
Beberapa hari terakhir, mereka terpaksa membagi-bagikan hasil susu perahan sapi mereka. Tapi karena jumlahnya banyak, tak sepenuhnya terserap kalau hanya disedekahkan. Karena itu, ada yang menggunakan untuk mandi di depan umum.
Tentu, itu adalah ekspresi protes. Bukan kebiasaan. Karena susunya tidak terserap pabrik. Setelah ada kebijakan untuk mengimpor susu dalam jumlah besar. Di Boyolali didahului dengan pengepul susu yang menyerah menutup usahanya karena terbelit urusan pajak.
Yang pasti, berbagai peristiwa yang menyangkut peternak sapi susu itu menggambarkan peta politik pangan kita. Bahwa, selama ini, masih cenderung belum berpihak kepada petani dan peternak. Yang kebanyakan adalah petani dan peternak kecil.
Hampir selalu terjadi, ekosistem tata niaga hasil pertanian kita sering terganggu oleh kebijakan importasi. Yang masih hampir selalu tidak memperhitungkan kapasitas produksi nasional atau domestik. Belum lagi ditambah disparitas harga karena harga pokok produksi dalam negeri yang tinggi.
Peristiwa mandi susu ini hanya sebagian dari letupan kecil dari berbagai letupan yang pernah ada. Yang lagi-lagi selalu terkait dengan komoditas yang melibatkan petani dan peternak kita. Yang sering menjadi korban kebijakan yang parsial.
Peristiwa serupa pernah terjadi di gula, padi atau beras, jagung, kedelai, bawang merah dan bawang putih. Yang sebetulnya menjadi paradoks dari sebuah negeri yang berbasis agraris. Yang sebagian besar penduduknya masih mengandalkan hidupnya dari sektor pertanian.
Khusus untuk susu, seharusnya peternak kita punya harapan baru. Dengan adanya kebijakan atau janji politik Presiden Prabowo Subianto untuk program makan bergizi gratis untuk anak-anak sekolah.
Dengan program tersebut, mereka bisa berharap hasil perah sapinya makin gampang terserap pasar. Karena permintaannya bertambah, tinggal kekurangannya dipenuhi lewat impor. Atau dengan menambah jumlah peternak dalam negeri.
Tapi selalu saja, kita belum terbiasa untuk bekerja secara sinergi. Antara kementerian dan lembaga negara. Belum adanya kebiasaan bekerja sinergi plus kebiasaan membuat kebijakan parsial ini, kasus protes dengan mandi susu bisa terjadi.
Kebijakan parsial bisa saja terjadi karena paradigma kebijakan yang hanya berbasis perhitungan pasok dan permintaan. Paradigma bisnis murni: bahwa setiap ada peningkatan permintaan bisa diselesaikan dengan pendekatan dagang. Dengan beli barang.
Padahal, untuk komoditas yang telah menjadi penghidupan sebagian besar penduduk kita, seharusnya menggunakan pendekatan produktifitas. Bagaimana memenuhi kebutuhan dengan cara meningkatkan produktifitas dalam negeri. Pendekatan ini ‘’mamaksa’’ kita untuk selalu memikirkan banyak pihak.
Memang pendekatan dagang tidak perlu banyak menguras pikiran. Setiap permintaan baru cukup dipenuhi dengan mengambil barang dari mana saja. Apalagi kalau terjadi disparitas harga karena perbedaan biaya produksi dengan petani dan peternak di luar negeri.
Tapi pendekatan ini telah terbukti selalu membawa korban. Mereka adalah para petani dan peternak kecil. Begitu menjadi korban, mereka langsung berdampak kepada bertambhanya jumlah penduduk miskinnya. Apakah kita akan terus menerus berbuat demikian?
Tampaknya, Presiden Prabowo perlu kembali mengerahkan para pemikirnya. Untuk selalau melahirkan kebijakan yang tidak parsial dan merugikan sebagian besar kelompok rentan masyarakat kita. Seperti tekad beliau untuk mewujudkan swasembada pangan dalam jangka waktu 4 sampai 5 tahun mendatang.
Di banyak negara maju, petani dan peternak selalu mendapatkan perlindungan negara. Bukan malah selalu menjadi pihak yang dikorbankan. Pak Presiden Prabowo telah punya tekad memperbaiki ekosistem ketahanan pangan kita. Sayang, tekad ini belum terwujud dalam kebijakan di lapangan.
Alangkah indahnya jika peristiwa mandi susu ini menjadi pelajaran pertama. Bagi para pembantu presiden yang bertanggungjawab untuk menjabarkan tekad presiden dalam kebijakan-kebijakan turunannya. Demi mewujudkan cita-cita swasembada yang telah diungkapkan.
Saya pernah melakukan penelitian untuk kepentingan disertasi doktor saya di Universitas Brawijaya. Salah satunya, produktifitas komoditas pertanian kita merosot karena tidak sinkronya antara rezim importasi dengan kapasitas produksi nasional kita.
Dan semua itu, bersumber dari kebijakan pertanian dan peternakan kita yang berjalan sendiri-sendiri. Dan ini masih menjadi persoalan akut sejam zaman reformasi. Dan itu selalu berulang meski pemerintahan selalu berganti sampai 6 kali pemilu hingga kini.
Kapan kira-kira kita mulai serius menghitung nasib petani dan peternak kecil kita? Biar tidak selalu menjadi ‘’korban’’ kebijakan pemerintahan yang telah dipilihnya. Tugas negara tak hanya memenuhi pasokan, tapi menciptakan ekosistem pangan yang melindungi semua pihak. Apalagi para petani yang selama ini kurang perhatian.
Advertisement