Manasik Haji di Masa Pandemi, Pakar Fikih: Perlu Ada Kelonggaran
Kurang dari lima bulan, umat Muslim di dunia akan memasuki musim haji 1442H/2021M. Ini adalah kali kedua musim haji di tengah masa pandemi covid-19. Karenanya, dalam penyelenggaraan manasik haji, perlu ada kelonggaran.
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama (NU) Abdul Moqsith Ghazali berkesempatan menyampaikan materi dalam Bahtsul Masail Perhajian, di Ciawi, Bogor. “Haji di masa pandemi memang harus dimaklumi tidak akan ideal. Hal ini harus dipahami oleh para calon jemaah haji saat ini. Karenanya pemahaman ini juga harus disampaikan sejak awal,”kata Moqsith.
Kondisi pandemi, lanjut Moqsith, misalnya akan mengubah beberapa aturan fikih dalam berhaji. Misalnya, dalam mazhab syafii yang banyak dianut masyarakat Indonesia, memakai tutup wajah bagi perempuan saat tawaf tidak diperbolehkan, termasuk memakai masker yang menutup hidung dan mulut.
“Namun kalau kita menilik kondisi saat ini, memakai masker hukumnya menjadi wajib. Karena saat pandemi, menggunakan masker adalah bagian menjaga diri dan orang lain dari risiko penularan covid-19,”tutur Moqsith.
Dalam penyusunan manasik haji di masa pandemi, Moqsith menyarankan pemerintah juga melibatkan ahli kesehatan. “Dalam mengatur pelaksanaan ibadah haji saat pandemi, pemerintah bukan hanya mengambil pendapat fikih yang kuat dari aspek dalil, tapi juga kuat dari aspek maslahat,”ujar dosen tetap pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
“Karenanya semua keputusan harus dilakukan berdasarkan pertimbangan yang ahli. Di masa pandemi ini ahli bukan hanya para fukoha, tapi yang utama mendengar pertimbangan para ahli kesehatan,” tuturnya.
Kelonggaran Aturan
Pakar fikih yang juga Anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah (MTT Muhammadiyah) Wawan Gunawan Abdul Wahid tak ketinggalan, menyampaikan materi dalam Bahtsul Masail Perhajian, di Ciawi, Bogor.
“Bila tahun ini jemaah haji kita diberangkatkan, maka perlu disusun manasik haji yang memberikan kelonggaran, namun tetap memperhatikan kemabruran serta perlindungan jiwa jemaah,”ujar Wawan.
Perlindungan jiwa terhadap jemaah harus menjadi perhatian bagi penyusunan manasik di masa pandemi menurut Wawan karena menjaga keselamatan jiwa merupakan tuntunan agama. “Jangan sampai jemaah haji menjadi korban covid-19. Satu saja menjadi korban, itu akan membunuh kemanusiaan. Maka yang harus kita usahakan itu adalah menjaga diri itu,”imbuh Wawan.
Wawan mengapresiasi Kemenag yang telah menggelar Bahtsul Masail Perhajian dengan tema “Haji di Masa Pandemi”. Ia berharap hasil dari Bahtsul Masail ini selanjutnya dapat segera dikompilasi dan disosialisasikan kepada calon jemaah haji.
Ia juga menyampaikan, Islam merupakan agama yang memiliki tiga karakteristik: Muyassir (memberi fasilitas yang meringankan), Aysar (memberikan pilihan termudah), dan Yassiru (mempermudah tidak mempersulit). Karenanya, dalam penyusunan manasik haji di masa pandemi juga perlu menerapkan hal-hal tersebut.
“Kalau kita bisa menjelaskan sejak awal kepada umat, InsyaAllah tidak akan ada keraguan dan keresahan pada jemaah saat nanti mendapat panggilan menunaikan ibadah haji di masa pandemi ini,”ungkap pria yang juga merupakan dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta ini.
Sebelumnya, Plt Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) Khoirizi menyampaikan melalui Bahtsul Masail yang berlangsung pada 27-29 April 2021 ini akan disusun Buku Manasik Haji di Masa Pandemi. “Panduan yang dihasilkan dalam buku manasik tersebut nantinya hanya berlaku dalam pelaksanaan ibadah haji di masa pandemi saja. Bila kondisi sudah normal, maka kita akan kembali kepada panduan manasik semula,”kata Khoirizi.
Bahtsul Masail ini melibatkan ahli fikih dan syariah, ahli kesehatan, perwakilan ormas Islam (NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Wasliyah), perwakilan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU), akademisi, Asosiasi Haji Khusus, Forum Dekan Fak Dakwah UIN/IAIN se-Jawa, dan Kepala Bidang Penyelenggara Haji dan Umrah se-Indonesia.