Malioboro Sultan
Ada suasana baru di Jalan Malioboro, Jogjakarta. Jalan utama yang menjadi titik pandang sampai Gunung Merapi itu kini makin nyaman.
Nyaman untuk jalan-jalan. Nyaman untuk kongkow. Nyaman untuk cuci mata. Tak lagi terganggu hiruk pikuk yang selama ini membikin ruwet pedistrian sepanjang jalan itu.
Saya perlu memberi acungan jempol ke Sultan Hamengkubuwono X. Raja Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sekaligus Gubernur DIY. Yang punya ide dan melaksanakan penataan kawasan Malioboro.
Penataan Malioboro memang menjadi program Sultan. Bukan program Pemerintah Kota Yogyakarta. Termasuk penataan kios sepatu yang memenuhi Jalan Mataram, samping Jalan Malioboro.
Kini para pedagang dipindah di bekas Kantor Pariwisata DIY. Yang dibangun seperti los pasar. Dengan nama Teras Malioboro. Sebagian lagi direlokasi di bekas Gedung Bioskop Indra. Di samping utara Gedung Agung.
Sebelum ini, sepanjang jalan legendaris di kota itu juga telah ditata fisiknya. Pedestriannya dibangun sepanjang jalan. Juga taman-tamannya. Sejumlah kursi taman dipasang di sepanjang jalan.
Sudah sejak lama saya enggan jalan di Malioboro. Karena macetnya. Karena kumuhnya. Karena ribetnya. Sepanjang jalan itu sudah sejak lama penuh dengan PKL batik. Kanan dan kiri jalan.
Setiap kali ke Jogja lebih sering menghindari jalan tersebut. Jalan legendaris yang juga menjadi jalan ikonik di kota budaya itu. Kalau pun terpaksa lewat itu pada malam hari. Di saat Jogja sudah mulai sepi lalu lintas di jalan.
Saya yakin banyak orang seperti saya. Kecuali para wisatawan yang menjadikan Malioboro sebagai destinasi utama. Yang menganggap belum ke Jogja jika belum foto di jalan yang juga ada pasar Beringharjo yang terkenal itu.
Para pemilik toko di sepanjang jalan tersebut pasti juga sudah lama berkeluh kesah. Yang tokonya kalah selangkah lebih maju dibanding PKL yang berjualan di sepanjang jalan tersebut.
Seperti keluhan pemilih rumah di Jalan Kapasan Surabaya, 15 tahun lalu. Ketika jalan itu dipenuhi pedagang kaki lima siang dan malam. Mulai dagangan barang bekas sampai pakaian bekas impor.
Pemilik rumah di sepanjang jalan Kapasan saat itu juga tak berdaya. Kalah dengan para pedagang. Bahkan, untuk keluar masuk rumahnya sendiri bisa kena bentak pedagang yang menempati depan rumahnya tanpa sewa.
"Sampeyan mau masuk atau keluar. Jangan keluar masuk. Ganggu dagangan saya," seringkali pemilik rumah kena ujaran demikian dari para pedagang liar tapi resmi itu.
Liar tapi resmi? Mereka liar menempati jalan dan akses properti pribadi pemilik rumah. Namun pedagang itu biasanya merasa resmi karena telah membayar ke oknum. Atau kepanjangan oknum.
Kondisi itu terjadi bertahun-tahun. Sampai harga rumah di sepanjang jalan tersebut jatuh. Padahal pemiliknya harus membayar pajak tiap tahun. Pajak Bumi Bangunan (PBB). Karena mereka berdagang siang dan malam, pasti juga tak nyaman tinggal di sana.
Kondisi baru berubah ketika saya menjadi sesuatu. Atas sepersetujuan Walikota Bambang DH, kami bikin program pengembalian fungsi jalan dan trotoar. Dengan melibatkan kepolisian dan tentara.
Program itu sukses. Jalan Kapasan bisa kembali difungsikan sebagai jalan. Para pedagang dipindah ke pasar-pasar milik pemerintah yang ada. Tentu yang mau dipindah. Yang tidak ya silakan. Rugi sendiri tak bisa jualan.
Bahkan tidak hanya jalan Kapasan. Juga jalan Jagir Wonokromo. Yang bertahun-tahun tinggal satu jalu setiap sore sampai malam. Karena berubah menjadi pasar tumpah. Dengan pengelola para preman jalanan.
Penataan kembali Jalan Malioboro rupanya juga dengan model demikian. Lewat program pengembalian fungsi trotoar dan jalan. Mestinya ini menjadi program Pemkot Jogjakarta. Yang menikmati PBB bangunan di sepanjang jalan itu.
Seperti halnya di Surabaya saat itu, sepanjang jalan Malioboro selama ini seperti kawasan yang tak terjangkau pemerintah. Yang seharusnya menjadi pengelola ketertiban kota. Yang menjaga pembayar pajak memperoleh hak-haknya.
Konon nilai ambil alih lapak di sepanjang Malioboro bernilai ratusan juta. Yang tidak jelas penikmatnya. Padahal, mereka telah menjadikan wajah jalan itu terlihat kumuh dan ruwet. Seperti terjadi selama ini.
Banyak tempat, pemerintahnya kalah dengan penguasa-penguasa jalan. Yang menghaki fasilitas publik yang dibangun dari hasil pungutan pajak. Padahal, fasilitas publik sudah seharusnya dinikmati publik. Bukan penguasa jalanan.
Saya senang ketika suatu saat Wakil Presiden Jusuf Kalla (saat itu) pernah berucap. Pemerintah itu tugasnya memberi perintah. Termasuk perintah menegakkan aturan dan ketertiban. Bukan pengimbau. Apalagi mengimbaupun tidak saat melihat ketidaktertiban.
Rasanya makin banyak kepala daerah yang mulai bisa menjadi pemerintah. Termasuk Sultan HB X yang telah berhasil menata para PKL yang selama ini "menguasai" emperan toko sepanjang Malioboro.
Jadi, coba saja sekarang berkunjung ke Jogjakarta. Anda pasti akan sudah bisa menikmati kembali Jalan Malioboro yang nyaman. Berkat program berani Sultan.