Malik Fadjar, Tokoh Muhammadiyah Berjasa Gembleng Kader NU
Wafatnya Prof Dr Abdul Malik Fadjar menyisakan kenangan banyak tokoh. Tokoh Muhammadiyah ini, ternyata mendapat simpati dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan, sejumlah tokoh Nahdliyin mengaku pernah digembleng tokoh kelahiran Yogyakarta pada 22 Februari 1939.
"Inna lillahi wainna ilaihi roojiuun. Ikut bela sungkawa atas berpulangnya Prof A Malik Fadjar. Semoga beliau wafat dalam keadaan khusnul khatimah. Semoga Allah SWT memberi maghfirah-Nya. Saya bersaksi beliau orang baik, pejuang yang konsisten," tutur Prof Mas'ud Said PhD, Ketua Pengurus Wilayah (PW) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur.
"Saya merasa beruntung bisa belajar banyak dari beliau saat beliau sebagai Rektor UMM. Semoga keluarga yang ditinggalkan sabar dan tawakkal. Amin," kata Mas'ud Said, Guru Besar Universitas Islam Malang (Unisma).
Selain Mas'ud Said, tokoh lain yang pernah digembleng menjadi koleganya adalah Prof Dr Imam Suprayogo. Imam Suprayogo adalah Wakil Rais Syuriah PW Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur.
Prof Dr Imam Suprayogo, nama yang menjadi jaminan dalam dunia pendidikan saat ini. Imam adalah mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki), Malang.
Imam Suprayogo merintis UIN dari awal sekali. Ia mengenang Malik Fadjar ketika ikut membangun Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kampus itu hanya memiliki 300 mahasiswa, tapi ketika ia tinggalkan sudah menjadi belasan ribu mahasiswa.
Kini jumlah mahasiswanya sekitar 10 ribu orang. Jabatan terakhir Imam Suprayogo di UMM adalah Pembantu Rektor I.
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, lahir di Trenggalek 2 Januari 1951. Dirinya dibesarkan dalam tradisi dan keluarga NU yang taat. Ayahnya adalah pengurus NU setempat dan ibunya pengurus Muslimat. Keduanya adalah orang yang sama-sama gemar berorganisasi dan berdakwah.
”Karena waktu itu jarang sekali orang yang punya sepeda, kemana-mana ayah selalu menunggang kuda. Begitupun ketika berdakwah ke pelosok-pelosok kampung,” ungkap Imam, yang juga pengurus Yayasan Pesantren Tebuireng Jombang.
Itulah sebabnya, kedua orangtuanya menginginkan dirinya untuk tumbuh menjadi seorang dai. Alasannya, berdakwah bisa dilakukan dengan gampang. Dengan berdakwah, maka seseorang akan dapat dengan mudah mengambil hati dan posisi di masyarakatnya.
"Namun pada kenyataannya", kata mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini, "mengajak kepada kebaikan itu bukanlah hal yang gampang."
Seperti diketahui, Tokoh Muhammadiyah Prof. H. Abdul Malik Fadjar, MSc., meninggal dunia pada Senin sore, 7 September 2020 di Jakarta. Duka tak hanya dirasakan kalangan Persyarikatan Muhammadiyah tapi juga masyarakat dan umat Islam Indonesia. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Abdul Malik Fadjar lahir di Yogyakarta pada 22 Februari 1939. Ia dikenal sebagai tokoh bangsa yang sangat peduli pada dunia pendidikan. Sebagai anak seorang guru yang juga aktivis Muhammadiyah, Malik Fadjar adalah sosok yang mewarisi jiwa aktivisme dan kepemimpinan ayahnya, Fadjar Martodiharjo yang di kalangan Muhammadiyah dikenal sebagai tokoh yang bijaksana dan mengayomi.
Darah guru terbukti menancap kuat dalam dirinya, terutama sejak ia menjadi guru agama di daerah terpencil di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 1959, yaitu Sekolah Rakyat Negeri (SRN) Taliwang.
Selanjutnya, perjalanan hidupnya tak pernah lepas dari dunia pengajaran dan pendidikan.
Selepas dari SRN Taliwang, ia berturut-turut kemudian mengajar di Sekolah Guru Bantu (SGB) Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Sumbawa Besar NTB pada rentang 1960-1963, dosen Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang pada 1972, dosen dan dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) hingga 1983, dan kemudian menjadi rektor di dua kampus, yaitu di UMM pada 1983-2000 dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada 1994-1995.
Selama puluhan tahun menjadi guru di Muhammadiyah, ia tak sekadar menjadi seorang pendidik, tapi juga berkontribusi besar membangun sekolah-sekolah Muhammadiyah dan perpustakaan desa di daerah Yogyakarta dan Magelang.
Kesuksesannya dalam mengembangkan pendidikan, terutama pendidikan Islam, membuat namanya kian disegani dalam dunia pendidikan Indonesia. Terlebih, ia mampu membawa UMM yang semula tak begitu dipandang menjadi kampus yang amat disegani dalam konteks nasional bahkan internasional.
Hal itu membuatnya dipercaya sebagai Menteri Agama di era Presiden BJ Habibie pada 1998-1999 dan Menteri Pendidikan Nasional di era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri 2001-2004.
Bahkan, ia juga sempat menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) ad-interim menggantikan Jusuf Kalla yang ketika itu mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2004. Di samping itu, Malik juga aktif di Ikatan Cendekiwan Muslim Indonesia (ICMI) dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS).
Jati diri Malik Fadjar sebagai seorang pendidik, begitu pula karakter kepemimpinannya yang memiliki pengaruh demikian besar itu tidak terjadi begitu saja. Dari riwayat pendidikannya, terlihat bahwa ia memang memiliki passion yang amat besar untuk menjadi seorang guru.
Malik memulai pendidikannya di SRN Pangenan Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah pada 1947. Ia selanjutnya bersekolah di Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri (PGAPN) Magelang pada 1953 dan Pendidikan Guru Agama Atas Negeri (PGAAN) Yogyakarta pada 1957.
Ia kemudian kuliah di IAIN Sunan Ampel Malang pada 1963 dan meraih gelar Sarjana Pendidikan Kemasyarakatan Islam pada 1972. Tujuh tahun setelahnya, yaitu pada 1979, ia melanjutkan studinya di Florida State University, Amerika Serikat, dan meraih gelar Master of Science di bidang pengembangan pendidikan pada 1981.
Kepakarannya di bidang pendidikan kian lengkap setelah Malik dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel pada 1995. Kemudian pada 2001, Malik mendapat gelar kehormatan Doktor Honoris Causa di bidang kependidikan Islam dari Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tak perlu diragukan lagi, pada diri tokoh pendidikan yang tak pernah berhenti berkarya ini, mengalir darah guru dan darah Muhammadiyah, demikian ungkap Anwar Hudijono, penulis perjalanan hidup Malik Fadjar.
Sungguh lengkap kiprah Malik Fadjar, mulai dari praktisi pendidikan paling dasar, birokrat pendidikan, hingga cendekiawan Muslim yang senantiasa berpikir soal kemajuan bangsanya. Ibarat pena, Malik Fadjar adalah tinta yang tak pernah habis.
Guru adalah jiwanya. Penghayatan terhadap filosofi guru menjadikannya seorang guru yang sebenar-benarnya guru, hingga menjadi Menteri para Guru (Mendiknas).