Makna Positif di Balik Silaturahim, Ini Penjelasan Abdul Mu’ti
“Ini sebuah tradisi keislaman yang baik dan tidak perlu disoal dan dibid’ah-bid’ahkan, karena diinspirasi dalam ajaran Islam, tidak bertentangan dengan sunnah," kata Abdul Mu'ti.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan bahwa silaturahim Idul Fitri merupakan mengandung makna positif untuk menjalin silaturahim antarsesama.
Menurut Mu’ti, meskipun tidak dianjurkan secara terang dalam hadis Nabi, namun kegiatan itu sesuai dengan pesan dalam banyak hadits supaya umat Islam senantiasa menjalin silaturahim, bahkan terhadap mereka yang memutuskan hubungan.
Bahkan, ucapan yang sering diucapkan dalam acara halal bi halal “minal aidin wal faizin” juga tidak ditemukan dalam hadis, selain bahwa ucapan itu pernah diucapkan Nabi seusai perang Badar.
“Ucapan minal aidin wal faizin itu Islam Nusantara, di negara lain tidak ada. Itulah hebatnya ulama kita, membuat doa-doa dengan bahasa Arab yang sesungguhnya kreasi para ulama itu di dalam hadisnya tidak ada, ditambah kalimat mohon maaf lahir dan batin,” kata Mu’ti, dalam keterangan diterima ngopibareng.id.
Menurutnya, ada ucapan lainnya yang diperintah dalam hadis nabi, yaitu kalimat ‘taqabbalallahu minna wa minkum.’
Ucapan minal aidin wal faizin, kata Mu’ti, adalah tradisi keislaman dan keindonesiaan yang masih ada atsarnya dari sunnah Rasulullah, dan sekaligus berkait erat dengan kebudayaan Indonesia.
“Ini sebuah tradisi keislaman yang baik dan tidak perlu disoal dan dibid’ah-bid’ahkan, karena diinspirasi dalam ajaran Islam, tidak bertentangan dengan sunnah. Dan perlu terus dilestarikan,” ungkapnya.
Pelaksanaan silaturahim yang dilakukan di bulan Syawal memiliki makna penting. Setelah Ramadhan, manusia kembali ke fitrah, kembali asalnya yang suci. Syawal juga merupakan bulan peningkatan kualitas diri setelah menempanya di bulan Ramadhan.
“Yang penting adalah membuat momentum Syawal sebagai refreshing setelah satu bulan di Ramadhan dan mengambil hikmah halal bi halal dengan meningkatkan ibadah di bulan-bulan setelah Ramadhan,” ulas Mu’ti.
Tradisi yang turun-temurun dan tidak hanya diadakan oleh lembaga-lembaga, tapi juga oleh masyarakat luas dalam wujud silaturahim trah keluarga besar atau bani.
“Itulah yang kita sebut tradisi yang nilai dan inspirasinya berasal dari leluhur, bagaimana ulama memahami Islam dan menerapkannya sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia yang ada,“ ujarnya.
Menurut Mu’ti, Idul Fitri sebagai momentum refreshing, menyegarkan kembali jiwa spiritual kita. “Selama Ramadan kita melakukan tazkiyatun nafs, membersihkan jiwa. Memberikan power kepada spiritualitas kita, dan setelah Ramadhan kita menyegarkan iman dan taqwa.
Setelah Ramadhan selesai, kita mengisi kegiatan-kegiatan di hari-hari selanjutnya seperti yang dilakukan pada bulan Ramadhan, melaksanakan ibadah, sedekah dan amalan-amalan shaleh lainnya” jelasnya.
Hal senada disampaikan di hadapan peserta acara Syawalan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Rowosari Kendal, di halaman Masjid Al-Jihad, pada Jumat. Dalam kesempatan itu, Mu’ti juga menjelaskan bahwa ibadah Ramadhan menghendaki umat Islam untuk menjadi orang-orang bertakwa.
Manusia bertakwa meniscayakan hubungan yang baik dengan Allah dan harmoni dengan sesama manusia. Karena itu, di antara ciri orang bertakwa, kata Mu’ti mengutip Al-Quran Surat Ali-Imran ayat 134, “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Ibadah-ibadah di bulan Ramadhan memiliki tujuan untuk peningkatan takwa. Yaitu peningkatan kualitas diri seorang hamba beriman menjadi lebih taat dalam mengabdi kepada Allah dan menjadi lebih ihsan dengan sesama makhluk. (adi)