Makna Bahagia, Memahami Pandangan Dua Sufi Agung
Kebagiaan dalam hidup merupakan cita dan harapan setiap insan. Betapa kebahagiaan menjadi bagian penting. Lalu apa sesungguhnya makna bahagia itu?
Pandangan ulama pesantren, KH Husein Muhammad memberikan pandangan pada orientasi sufistik dan sepenggal kisah sufi Agung, Jalaluddin Rumi dan Syaikh Qunawi. Berikut catatannya:
Makna Bahagia
Manusia adalah makhluk penuh misteri dan unik. Tuhan menciptakannya dengan karakter dan sifat yang beragam, tak sama. Tetapi semuanya ingin sesuatu yang sama. Yaitu bahagia. Lalu apa bahagia itu?. Jawaban mereka pun beragam, berbeda-beda, sesuai dengan karakter masing-masing. Satu contoh :
Ada sebuah dialog yang menarik antara Socrates (S) dengan muridnya Plato (P) tentang kebahagiaan. Keduanya filsuf terbesar sepanjang sejarah. Keduanya guru dan murid.
P : Apakah yang membuat anda merasa bahagia?.
S : "menemukan kebijaksanaan".
P : Kapankah aku memeroleh kebijaksanaan itu ?.
S : "jika pujian orang terhadapmu tak membuatmu gembira dan cacian orang terhadapmu tak membuatmu bersedih hati".
P: Bagaimana aku akan bisa menemukannya?.
S : "jika kamu punya empat telinga, dua telingamu untuk mendengarkan ilmu pengetahuan yang mendalam/ kebijaksanaan dan dua telingamu yang lain untuk menyimpan celoteh yang tak jelas (buruk) orang-orang yang tak paham (al-Juhhal٘-bodoh-dungu).".
Lalu aku juga menyampaikan pandangan Budha Gautama. Ia mengatakan :
"Faktor utama yang membuat orang awet sehat dan bahagia adalah tidak menangisi masa lalu, tidak mencemaskan hari esok, menyusuri perjalanan hidup hari-harinya dengan selalu belajar untuk menjadi bijak dan selalu berfikir positif".
Setiap orang bisa menyampaikan makna bahagia.
Wallahu A'lam
Dua Bijakbestari Agung
Aku membaca lagi buku : "Min al Balkh ila Konya".
Karya Badi' al Zaman. Di dalamnya aku menemukan kisah yang sangat menarik hati. Yaitu pertemuan dua orang sufi master yang sangat terkenal di dunia: Maulana Rumi dan Shadr al Din al Qunawi , penafsir gagasan " Wahdah al Wujud, Syeikh Akbar, Muhyiddin ibn Arabi.
Suatu hari, Syeikh Shadr al-Din al-Qunawi menyampaikan pengajian di hadapan para ulama besar di rumahnya. Mereka sengaja datang ke rumah Syeikh ini untuk mengaji, menimba ilmu dan "ngalap barokah".
Pada suatu hari yang lain dengan tak dinyana/tak diduga Maulana Rumi datang. Beliau ingin ikut mengaji kepadanya, meski ia sendiri adalah Syeikh sufi besar yang sangat terkenal. Melihat kedatangannya, Syeikh al-Qunawi berdiri menyambutnya. Para ulama lain mengikutinya. Maulana kemudian duduk di pojok paling belakang. Ia tidak mau melangkahi dan mengambil tempat kosong di tengah-tengah para ulama itu. Syeikh Qunawi menggelarkan sajadah untuk Maulana dan meminta dengan sungguh-sungguh agar Maulana mau duduk di atas sajadah itu. Maulana menjawab : “Tidak. Aku tidak patut duduk di atas sajadah itu. Bagaimana aku harus menjawab peristiwa ini di hadapan Allah kelak”. “Jika begitu, duduklah di atasnya bersamaku, engkau di separuh sajadah ini dan aku separuh yang lain”. Maulana tetap menolak. Syeikh Qunawai menjawab : “Jika sajadah ini tidak patut diduduki Maulana, maka ia juga tidak patut aku duduki”. Syeikh Qunawi lalu melipat sajadah itu.
Ada lagi cerita menarik tentang persahabatan dua orang besar ini. Abd al-Rahman al-Jami menceritakan: “Suatu hari Jama’ah shalat meminta Maulana menjadi Imam di sebuah masjid. Maulana menolak, karena ia tahu di situ ada Syeikh al-Qunawi. Maulana mengatakan : ”Kita para “abdal” (para santri) duduk di tempat kita sampai dan berdiri di situ. Yang patut menjadi Imam Shalat adalah sang sufi mumpuni, sambil tangannya menunjuk Syeikh Qunawi”. Keduanya saling mengajukan yang lain untuk menjadi Imam. Akhirnya al-Syeikh berdiri di depan, menjadi Imam. Maulana mengatakan kepada para jama’ah :
من صلى خلف امام تقي فكانما صلى خلف نبي
“Man Shalla Khalfa Imam Taqiyyin fa Ka Annama Shalla Khalfa Nabiyyin” (Siapa yang shalat di belakang seorang Imam yang amat saleh, maka dia seperti shalat di belakang Nabi).
Manakala Maulana menjelang pulang, Husam al-Din, murid utama Maulana, bertanya kepada Maulana : “Siapakah yang akan memimpin shalat Jenazahmu, kelak?”. Maulana menjawab : “Syeikh Shadr al-Din”.
Betapa indah perilaku dua sufi besar itu. Mereka sangat rendah hati, dan saling memberi tempat bagi yang lain. Persahabatan mereka begitu tulus. Tak terdengar kata-kata dan ekspresi tak sedap didengar dan dilihat.
Aku mengatakan itulah sufi sejati. Langkah-langkah dan cara hidupnya mengikuti Nabi : Bersahaja, Rendah Hati, Santun, Pemurah dan menyayangi semua manusia. (06.11.24/HM)