Makin Tipis Pembeda NU dan Muhammadiyah
Pengantar Redaksi: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua di antara organisasi Islam terbesar di Indonesia (bahkan NU memosisikan diri terbesar di dunia). Keduanya merupaka representasi dari Islam yang moderat di Indonesia, di tengah gempuran isu-isu Islam militan yang kerap melakukan aksi demo dan teriak-teriak di media sosial.
Pada masa lalu, Muhammadiyah dikenal sebagai wadah Islam berkemajuan dengan melimpahnya kader-kadernya yang intelek dan berpikiran maju. Tapi, benarkah NU ketinggalan dalam soal kader intelektual? Justru, kini NU melimpah kader-kader yang bergelar pendidikan tinggi. Lulusan Eropa dan Amerika pun tak terbilang bagi kaum santri NU.
KH M. Ma'ruf Khozin, yang lulusan Pesantren Al-Falah Ploso, Mojo Kediri, mencermati perkembangan dua organisasi Islam tersebut, dalam catatan berikut:
Makin Tipis Pembeda NU dan Muhammadiyah
Dengan Asatidz dari Muhammadiyah yang lulusan Al-Azhar hampir tidak ada perdebatan soal akidah dan Amaliah, karena sudah mengetahui Manhaj dalam Mazhab dan Tarjih. Seperti Ust Muhammad Rifqi Arriza Ust Wahyudi Abdurrahim Ust Abi Azka Ar Rifa'i dan lainnya
Pemuda Muhammadiyah dari lulusan Eropa dan luar negeri tidak lagi membincang soal perdebatan klasik, tapi sudah bicara soal perdamaian, kemanusiaan dan isu global. Seperti yang kami jalani beberapa malam lalu. Seperti Mas Dr Andar Nubowo
Di kalangan Muhammadiyah tipe cangkrukan dan jagongan pun sudah tidak ada perbedaan dalam bab udud wal kopi wal menyan wal kuburan. Tidak lain adalah MasDa Jumaldi Alfi
Tapi harus ada garis pembatas. Yakni soal khutbah. Kalau anda jumatan di masjid dengan khotib yang memiliki ciri khas "Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an Surat ke 15 ayat ke 30, yang artinya.... (tanpa membaca teks ayat)" berarti anda sedang di masjid Muhammadiyah. Tapi kalau Khotib membaca firman Allah tanpa nomor ayat hampir pasti anda di masjid NU.
Karakter lain yang harus dijaga dan dijadikan pembeda adalah soal jam rapat atau acara. Kemarin saat dihadiri banyak pembicara dari luar negeri, mereka datang tepat waktu. Tapi kiai-kiai NU belum segera masuk ruangan. Maka saya bilang ke teman sebelah saya: "Kalau kiai masuk ruang tepat waktu harus dicegah, sebab nanti bisa dianggap sudah jadi Muhammadiyah". Kalau tidak mau dituduh jadi Muhammadiyah, mending acaranya dimajukan 10 menit. Pokoknya jangan sampai sama. Sebab "Man Tasyabbaha bi Qoumin fa hua minhum".