Makam Tionghoa Probolinggo Disepakati Ukuran Dilengkapi Biopori
Keberadaan pemakaman untuk warga Tionghoa di Kecamatan Wonoasih, Kota Probolinggo akan ditata ulang. Pemkot dan perwakilan etnis Tionghoa menyepakati di antaranya, bentuk dan ukuran makan serta perlunya makan dilengkapi biopori.
Soalnya, ukuran makam yang besar dan dibeton diduga menimbulkan penurunan fungsi resapan air di sekitarnya. Terkait penataan makan Tionghoa itu, Penjabat (Pj) Walikota Probolinggo, Nurkholis mengundang perwakilan etnis Tionghoa Kota Probolinggo ke rumah dinas walikota, Rabu sore, 27 Maret 2024.
Didampingi Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Retno Wandansari, Nurkholis menerima kedatangan perwakilan pengelola Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Klenteng Sumber Naga serta pengurus Rumah Duka Yayasan Saeka Praya Probolinggo untuk beraudiensi.
Pada pertemuan tersebut, Nurkholis meminta perancangan makam Tionghoa yang berdiri di atas lahan aset milik pemkot agar disesuaikan dengan peraturan pemerintah. Hal tersebut juga mempertimbangkan ketersediaan ruang bagi pengguna lainnya.
"Selain itu ukuran masing-masing makam yang berbeda dan faktor pertimbangan Fengsui menyebabkan tata letak pemakaman menjadi tidak beraturan," ujar Nurkholis.
Masyarakat Tionghoa memilih letak makam karena mempertimbangkan Fengsui yang baik. Begitu juga dengan ukuran makam, semakin besar makam semakin besar pula status sosialnya.
'Padahal ukuran makam sudah diatur dalam peraturan pemerintah baik ukuran maupun strukturnya,” jelas Pj walikota.
Retno menambahkan, secara umum tempat pemakaman wajib memperhatikan fungsi ekologis seperti resapan air. Sehingga, tidak diperkenankan untuk dilakukan penembokan atau pengerasan yang terlalu tinggi seperti yang banyak dijumpai pada makam etnis Tionghoa.
“Sesuai dengan Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, bahwa ketentuan makam tidak boleh dilakukan pengerasan yang terlalu tinggi, ukuran makam pun maksimal 1 meter x 2 meter,” ujarnya.
Menyikapi hal tersebut, Ketua TITD Klenteng Sumber Naga Ervan Sutjiono mengungkapkan, aspirasinya. Bahwa bentuk pemakaman etnis Tionghoa selama ini memang dilatarbelakangi oleh tradisi serta kepercayaan yang dianut. Adanya arsitektur makam yang khas seperti gundukan tanah yang tinggi, berukuran besar, serta altar persembahan di depan nisan mengakibatkan kebutuhan bangunan makam menjadi sangat besar.
“Memang ada peraturan pemerintah bahwasanya tinggi pembatas pinggiran kuburan yang diizinkan maksimal 10 cm. Padahal, menurut tradisi masyarakat Tionghoa, tinggi pembatas pinggiran itu minimal 50 cm untuk menahan gundukan tanah yang agak tinggi. Kami juga memohon kepada pemerintah untuk diizinkan membuat altar yang ada di depan batu nisan, supaya kita bisa memberikan penghormatan kepada leluhur kita yang dimakamkan di situ,” ungkapnya.
Dari hasil pertemuan itu, Pemkot Probolinggo kemudian memberikan beberapa solusi. Di antaranya batas maksimal ukuran makam adalah sebesar 1,5 meter x 2,5 meter serta tinggi bangunan pembatas pinggiran makam maksimal 50 cm.
Sedangkan untuk kebutuhan altar persembahan tidak boleh melebihi area ukuran makam yang telah disepakati. Ditambah kewajiban untuk membuat biopori di atas altar sebagai sumur resapan.
Pihak pemkot kemudian meminta kepada perwakilan etnis Tionghoa untuk segera membuat sketsa desain makam yang telah disepakati. Selanjutnya desain tersebut akan dikaji bersama sebagai bahan materi penetapan Surat Edaran.
“Jadi sama-sama terpenuhi harapan kita, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat sehubungan dengan memperhatikan fungsi tanah makam sebagai RTH," pungkas Retno.