Makam Keputih, Panggung Terakhir Cak Lupus
Lupus itu tokoh. Bukan yang lain. Dia adalah Cak Lupus, tokoh ludruk di Surabaya. Cak Lupus memang identik dengan ludruk. Dan dia pagi ini meninggal dunia di RS Haji, pada usia 58 tahun. Akibat sakit yang dideritanya.
Sebagai seorang tokoh, dia masih cukup muda. Tapi ketokohan Cak Lupus di dunia seni tradisional ini memang dimulai sejak bayi. Sejak menangis….cengeeer. Karena kedua orang tuanya seniman ludruk.
Dua pekan lalu, di kantin Taman Budaya Jawa Timur Jalan Gentengkali Surabaya, didampingi istrinya Noniwati yang setia mendampingi ke mana pun pergi, Cak Lupus dengan napas sedikit tersengal masih bersemangat bercerita. Sekaligus mengeluh. Tentang bermacam persoalan yang menyangkut ludruk di Surabaya.
Saya sekarang menggarap anak-anak muda saja, katanya. “Mereka lebih bisa diharapkan dipercaya. Kalau berharap pada yang tua-tua percuma,” Tambahnya. “Yang tua-tua malah ngriwuk, memperkeruh, dan egois.”
Menurutnya, dunia ludruk di Surabaya sulit untuk maju karena egoisme orang-orangnya. “Banyak orang mengaku sebagai tokoh ludruk. Tapi ngerti apa dia tentang ludruk? Main saja tidak pernah. Kalau pernah main, ya paling cuma baru-baru ini. Agar diakui kalau dia orang ludruk,” begitu kata Cak Lupus, yang pada siang itu untuk pertama kalinya mengaku bahwa nama sebenarnya adalah Kausanto. Lupus adalah nama panggungnya. Mungkin meniru nama tokoh fiktif Lupus dalam buku serial karya Hilman Hariwijaya.
Jenazah Cak Lupus telah dimakamkan usai salat Jumat di TPU Keputih, setelah disucikan dan disalatkan di rumah duka Rusunawa Keputih. Dia telah dimakamkan, tapi ketokohannya di dunia ludruk akan terus dikenang. Sebagaimana kenangan atas prestasinya yang hebat tetapi agak aneh, yaitu melawak di radio selama 50 jam non-stop tahun 90an. Prestasi itu dicatatnya di Radio Merdeka, bersama kelompoknya ketika itu yaitu Surya bersama antara lain Jadi Galajapo dan Denan.
Terakhir kali Cak Lupus pentas ludruk bulan lalu di Balai Pemuda mementaskan lakon Sawunggaling. “Pemainnya semua anak-anak muda. Saya senang, karena mereka sangat bersemangat. Saya akan teruskan, dan saya akan dobrak kebuntuan-kebuntuan yang ada agar ludruk tetap hidup dan berkembang. Jangan cuma hidup saja seadanya, tetapi juga harus berkembang. Karena itu saya hanya berharap pada anak-anak muda,” kata Kasuanto. Ini pesan, mungkin malah pesan terakhir, yang diucapkan dua pekan lalu.
Heri Letho, seniman Surabaya yang ikut takziah sekaligus mengantarkan jenazah Kasuanto alias Cak Lupus ke panggung terakhirnya mengatakan, kita kehilangan seniman yang luar biasa. “Hari ini kesenian ludruk khususnya, berduka sedalam-dalamnya. Mudah-mudahan apa yang ditinggalkan tidak hilang begitu saja. Semasa hidup, almarhum banyak mencetak penari remo dan pengidung. Itu usaha almarhum yang luar biasa,” kata Heri Lentho. (nis)
Advertisement