Maizidah, Mantan TKI yang Dapat Penghargaan dari Pemerintah AS
Mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Maizidah Salas menerima penghargaan "Trafficking in Person (TIP) Report Hero" dari pemerintah Amerika Serikat yang diserahkan langsung oleh Menlu AS Mike Pompeo dan putri presiden AS Ivanka Trump di Washington DC, AS.
"Bagi saya penghargaan ini adalah semangat untuk terus mengedukasi masyarakat Indonesia untuk lebih maju, agar kalaupun mereka ingin bekerja di luar negeri, mereka terhindar dari trafficking," kata Salas di Kediaman Duta Besar AS untuk Indonesia di Jakarta, Selasa malam.
Salas hadir dalam resepsi yang diselenggarakan Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph Donovan untuk menghormati dan merayakan penghargaan TIP Report Hero yang merupakan bentuk apresiasi pemerintah AS bagi para aktivis sipil di seluruh dunia dalam memberdayakan masyarakat guna mencegah kejahatan perdagangan manusia.
Atas sponsor dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang diajukan kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta, perempuan asal Wonosobo, Jawa Tengah, tersebut terpilih untuk menerima penghargaan tersebut bersama delapan "heroes" lainnya yang berasal dari Bahrain, Burkina Faso, Kamerun, El Salvador, Nepal, Nigeria, Serbia, dan Korea Selatan.
Salas telah terbang ke ibu kota AS Washington DC pada 28 Juni 2018, untuk menerima penghargaan TIP Report Hero dan mengikuti pelatihan tentang pemberdayaan masyarakat, kepemimpinan, dan Hak Asasi Manusia.
"Di sana kami saling sharing pengalaman bagaimana untuk memberdayakan masyarakat, juga masalah hukum, karena heroes yang menang bukan hanya mantan buruh migran, tapi ada juga pengacara dan jaksa," kata dia.
Salas merupakan mantan TKI di Korea Selatan selama beberapa tahun pada 1996 dengan status magang di pabrik, namun pada 1998 saat Negeri Gingseng itu dilanda krisis ekonomi pabrik tempatnya bekerja bangkrut dan ia pun terpaksa harus pulang.
Dengan niat mencari kehidupan yang lebih baik bagi anaknya karena Salas adalah orang tua tunggal, ia kembali berniat menjadi TKI di Taiwan melalui Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Jakarta.
Namun, rupanya pengalaman yang baik di Korea Selatan tidak terjadi di Taiwan, setelah tertipu di Jakarta, Salas menjadi korban perdagangan manusia karena pekerjaan yang dijanjikan di awal tidak sesuai dengan yang dijalaninya.
Salas dijanjikan pekerjaan sebagai pengasuh nenek lansia di Taiwan, tetapi nyatanya dia disuruh bekerja di sebuah restoran dari pukul 04.00 pagi hingga larut malam, tanpa gaji, tanpa libur, dan tidak boleh bicara dengan siapapun kecuali majikan.
"Yang paling sedih, saya juga tidak boleh shalat, pokoknya harus kerja terus kalau belum disuruh berhenti," kata dia.
Tak kuat menghadapi siksaan dari majikannya itu, Salas melarikan diri tanpa membawa apapun dan menjadi TKI ilegal di Taiwan selama beberapa waktu.
Singkat cerita, Salas dideportasi oleh otoritas Taiwan dan mulai mencari aktivitas untuk menghidupi keluarganya, dan ia pun mulai terlibat aktif dengan SBMI hingga akhirnya pada 2011 menjadi pengurus eksekutif organisasi tersebut.
Cita-citanya agar masyarakat pedesaan, khususnya perempuan, tidak tergiur untuk menjadi TKI tanpa bekal keterampilan yang memadai, Salas pun mendirikan sekolah bagi anak-anak pekerja migran di Wonosobo yang telah diakui pemerintah Indonesia.
Salas juga telah menjadi advokat bagi para penyintas korban perdagangan manusia dan keluarga mereka untuk mendapatkan hak-hak mereka. Ia juga aktif mengampanyekan pentingnya tindakan preventif untuk memberantas kejahatan perdagangan manusia di Indonesia.
"Penghargaan ini saya persembahkan kepada semua buruh migran Indonesia, bagi para survivor perdagangan manusia agar tetap semangat dan bangkit lagi, bahwa selalu ada jalan untuk menjadi lebih baik, dan bagi pemerintah Indonesia untuk terus meningkatkan perlindungan bagi warga negaranya dari pusat ke daerah," kata dia menutup cerita.(an/ar)
Advertisement