Mainan Prothol? Jangan Dibuang! Bawa Balik untuk Direpair
Bicara mainan kayu tentu bicara juga bahan baku kayunya. Ini akan menentukan kualitas. Kualitas itu dalam persepsi fisik yang bagus, lalu juga awet.
Lalu kayunya seperti apa? Menurut Singgang Margono, kayu bisa sembarang. Kayu leles pun oke. Maksudnya leles itu kayu bekas, kayu limbah. Hanya, asal, kayunya harus dalam keadaan sudah diopen.
Kenapa kayu harus sudah dalam keadaan diopen? Kata Singgang, ini adalah untuk memudahkan proses. Kayu harus benar-benar kering meski kayunya adalah limbah. Kalau tidak kering memermaknya akan sulit.
Tak hanya permak, cat juga pasti sulit. Cat susah atau malah tidak bisa menempel. Sementara, andainya tidak diopen, kalau menjemur ulang kayunya sudah pasti akan makan tempat dan menghambat proses pengerjaan. Secara teknis juga akan mempengaruhi kualitas.
“Itu yang penting,” kata Singgang dengan nada tak mungkin bisa ditawar.
Sepuluh tahun berproses dengan mainan edukatif berbahan baku kayu bekas, kini Singgang boleh bernafas lega. Dia juga tidak lagi sendiri, melainkan sudah memiliki tujuh orang karyawan. Itu juga plus istrinya yang juga membantu di lini akunting dan maintenence pelanggan.
Karya-karyanya sudah diterima masyarakat, pengepul mainan, sekolah-sekolah TK & playgroup tidak hanya di Jombang, tapi juga melompat ke kota-kota lain, juga provinsi yang lain. Karyanya juga akan mudah ditemukan di toko-toko mainan di Tunjungan Plasa Surabaya, Supermall Pakuwon dan seterusnya.
"Ya, menjadi begini ini karena proses gethok tular. Saya tak punya modal cukup untuk bayar iklan. Jadi, yang puas dengan karya saya, itu aslinya yang paling berjasa menyebarkannya dari mulut ke mulut," kata Singgang Margono kalem.
Mengawali proses menjual karya kreatif bukan perkara mudah bagi Singgang Margono. Pasalnya, dia tidak bersentuhan dengan dunia marketing. Saat bekerja di pabrik pegangannya adalah gambar dan desain. Sementara untuk penjualan ada divisi yang lain, itu pun untuk pangsa ekspor. Jadi, saat terjun langsung sebagai kreator sekaligus menjual hasil kreasinya banyak hal baru yang dia harus belajar keras dan cepat.
Singgang percaya bahwa berita dari mulut ke mulut adalah hal efektif untuk memasarkan karyanya. Istilah kampungnya adalah gethok tular.
Maka, dia membuat karya sebagus mungkin, seefektif mungkin, berikut harga terjangkau untuk merayu pasar. Door to door dia masuk TK dan sekolah-sekolah.
Semua dia kerjakan sendiri sembari mencari respon pasar. Hasilnya oke, dan lambat laun kreasinya yang berbahan baku kayu bekas namun dengan kualitas terpercaya diterima masyarakat.
Terobosan marketing juga dilakukannya. Kids & Play yang memiliki workshop di Perum Griya Jombang Indah B1, Jombang, ini juga melayani retail.
“Beli satu pun dilayani. Apalagi kalau beli dalam jumlah banyak,” kata Singgang tertawa.
Uniknya, dia juga punya jurus membeli ulang karyanya yang sudah tak terpakai atau dalam kondisi rusak. Barang-barang itu kemudian direpair, diperkaiki ulang dengan sentuhan baru, dicat ulang dan seterusnya. Kalau ada yang beli serasa sudah membeli barang yang baru.
Singgang Mergono juga melayani spare part mainan bikinannya. Banyak juga sekolah dan yang membeli mainan secara personal datang ke workshopnya hanya sekadar membeli salah satu bagian mainan yang hilang atau rusak. Karena bahan dasarnya adalah kayu, maka dia bisa membikinkannya ulang.
Singgang Margono punya jurus unik. Dia membeli ulang karyanya yang sudah tak terpakai atau dalam kondisi rusak. Setelah dibeli kemudian direpair. Diperkaiki ulang dengan sentuhan baru. Dicat ulang. Kalau sudah sempurna dijual lagi seperti barang yang baru.
Andai itu toko, maka mainan yang salah satu ornamennya hilang atau rusak pasti tak terpakai lagi. Toko juga tidak menjual garansi berikut spare part. Jadi kalau rusak harus membeli ulang satu set. Ini pasti memberatkan calon pembeli dan pelanggan.
Maka Kids & Play mendesain tidak demikian. Melayani repair ulang dan membuatkan bahan yang hilang atau itu.
“Menurut saya ini peluang. Karena tidak ada satu toko mainan pun melakukan ini. Misalkan, yang hilang adalah satu set mainan yang ada palunya, maka saya bikinkanlah palunya kalau puthul atau hilang. Kalau yang hilang salah satu bagian set balok rumah-rumahan misalnya, ya saya bikinkan balok yang hilang itu. Murah saja, dan tidak perlu beli satu set. Karena beli satu set lagi pasti mahal, dan saya tidak mau memberatkan pelanggan,” kata Singgang santai.
Sebab itu, kata dia, di workshopnya tidak pernah membuang kayu. Sekecil apapun potongan kayu itu, dia simpan. Meski awalnya membelinya juga kayu bekas yang tidak beraturan. Kecil tapi bisa sangat berharga manakala ada yang butuh spare part. Atau, potongan-potongan kecil kayu itu bisa menjadi kreasi yang lain dan mainan yang lain untuk membantu menutup biaya operasinal perusahaan.
Workshop cukup sederhana yang digawanginya sendiri bersama istrinya itu kini mampu menghasilkan omzet 60 juta rupiah dalam sebulan. Omset tersebut didulang dari 50 macam jenis mainan edukatif yang sudah diciptanya. Omset itu biasanya akan ikut terkerek naik manakala ada tahun ajaran baru. Tahun ajaran baru biasanya akan ada mainan-mainan baru untuk anak didik yang juga baru. (widikamidi/bersambung ke tulisan ketiga)