Mainan China Banjiri Pasaran, Mainan Edukasi Kita Tertahan SNI
Bicara mainan, utamanya mainan anak-anak, kemana imajinasi kita menancap? Pasti ke China dan negeri kita ini sampai ke sudut-sudut kampungnya benar-benar dibanjiri mainan dari Negeri Panda ini.
Lain hal, kalau mainan edukatif untuk anak-anak kemana tolok ukurnya bermuara? Pasti akan bermuara di negeri Jepang dan Thailand. Dua negeri ini adalah penguasa pasar mainan edukatif kelas dunia.
Singgang Margono, profesor plus kreator mainan edukatif berbahan dasar kayu dari Jombang, menuturkan, setiap tahun ada festival mainan edukatif yang selalu digelar di Hongkong.
Dua belas kali selama 12 tahun dia mengikuti ajang kelas dunia itu. Singgang ikut sebagai karyawan perusahaan kayu di Jombang itu, meski belakangan perusahaan itu kolaps.
Festival di Hongkong tersebut, kata dia, adalah even tahunan yang diikuti seluruh dunia. Indonesia biasanya juga ikut, hanya segelintir yang terlihat.
Even kelas dunia ini dibagi dalam tiga kategori. Game, elektronik, dan kayu. Jagoannya, biasanya, adalah China, Jepang dan Thailand. Untuk kategori mainan berbahan kayu, Jepang dan Thailand adalah jagoannya.
Siapa pun yang datang di arena festival itu selalu digeledah dengan seksama. Tidak boleh membawa anak kecil, tidak membawa alat dokumentasi berupa apapun, termasuk kamera dan handycam.
Di situ adalah ajang para buyer-buyer mainan kelas dunia berkumpul. Lalu terjadilah transaksi.
“Ada pengalaman menarik ketika suatu waktu saya dikirim untuk mengikuti even itu lagi. Handycam saya lolos, maka dengan sedikit kreasi ala Indonesia saya berhasil merekam berbagai sudut pameran dan kreator-kreator kelas dunia yang ditampilkan," kata Singgang sembari mengatakan jangan dicontoh gaya dia.
Jadi, lanjutnya, meski berhasil merekam gambarnya, Singgang tidak mengaplikasikannya dalam bentuk produknya di kemudian hari. Sebab, sudah pasti akan ketahuan dan dianggap menjiplak.
Karena pemain-pemain mainan yang spesifik seperti itu ternyata jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Jadi, gambar yang dia peroleh hanya bersifat sebagai referensi. Referensi untuk pengembangan produk.
Di Indonesia, masih kata Singgang, biasanya yang bisa lolos dan mengikuti pameran kelas dunia seperti itu adalah yang sudah memperoleh sertifikasi SNI. Tidak punya SNI berarti harus rela pupus harapan sebelum bertanding di ajang festival maupun regulernya yang berupa ekspor ke luar negeri.
Padahal, tahu sendiri, memperoleh SNI di negeri ini, di negeri sendiri, bukan perkara gampang. Jalannya butuh berliku, dan yang pasti butuh biaya tidak sedikit.
Sebab itu, sebaik apapun produksi mainan edukatif yang digawangi Singgang Mergono, pasti luput dari radar ekspor. SNI adalah kendala utamanya.
Kini setelah tidak ikut perusahaan dan menjadi UMKM mandiri dia hanya mampu bermain di pasar lokal. Pasar door to door yang berhasil diciptanya.
Paling banter hanya Pasar Turi, PGS, Pakuwon, Tunjungan Plasa, sedikit pasar luar pulau, mungkin juga sekolah-sekolah favorit yang membutuhklan mainan edukatif dengan harga terjangkau.
Lalu kapan bisa mengikuti kompetisi dunia seperti yang diceritakannya di Hongkong itu?
“Entahlah, mungkin kalau saya sudah punya pabrik raksasa dan punya jumlah biaya cukup untuk mengurus SNI,” pungkasnya masam. (widikamidi/tulisan ketiga/selesai)