Mahkamah Konstitusi Kikis Politik Kartel
Oleh: Dr. Antonius Benny Susetyo
Pakar Komunikasi Politik
Praktik politik merusak seperti politik kartel mengancam esensi pemerintahan yang adil dan inklusif, menjadikannya tantangan nyata bagi demokrasi. Meskipun demokrasi seharusnya menjamin kebebasan, keadilan, dan partisipasi rakyat, kenyataan menunjukkan bahwa prinsip-prinsip ini sering kali terkikis oleh praktik tidak sehat.
Di Indonesia, khususnya dalam pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta, fenomena ini semakin terlihat. Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menurunkan ambang batas pencalonan gubernur menjadi 7,5 persen melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, sebuah langkah penting untuk meredam dominasi politik kartel.
Keputusan ini menawarkan harapan baru bagi calon gubernur potensial dan membuka kesempatan untuk partisipasi politik yang lebih adil dan inklusif.
Dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 oleh Mahkamah Konstitusi berpotensi mengembalikan esensi demokrasi yang tergerus oleh kepentingan segelintir elit politik dengan menurunkan ambang batas pencalonan gubernur dari 20 persen menjadi 7,5 persen.
Langkah ini membuka peluang bagi lebih banyak partai politik untuk mencalonkan kandidat, mengatasi dominasi modal suara yang selama ini menghalangi tokoh-tokoh baru.
Dengan menurunkan ambang batas, MK mengubah lanskap politik Indonesia, khususnya dalam pemilihan kepala daerah di Jakarta, dan mengurangi ketergantungan pada koalisi dengan partai besar.
Peluang Demokrasi Terbuka
Sebelumnya, threshold sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara partai politik di Pileg DPRD telah menutup peluang bagi banyak partai, mendorong mereka untuk berkoalisi dengan partai besar atau terpaksa mendukung calon yang tidak mereka kehendaki.
Keputusan ini secara signifikan memperluas opsi pemilih dan memberikan ruang bagi calon dengan latar belakang dan visi yang berbeda, yang esensial untuk demokrasi yang lebih inklusif dan representatif.
Keputusan ini tidak hanya memberikan peluang baru bagi partai-partai kecil, tetapi juga bagi tokoh-tokoh yang sebelumnya terhalang oleh tingginya threshold. Anies Baswedan, misalnya, yang sebelumnya kehabisan partai politik untuk mengusungnya, kini memiliki peluang baru untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Hal ini juga berlaku bagi partai seperti PDI-P yang kini bisa mengusung calon gubernurnya sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.
Dengan threshold yang lebih rendah, kita bisa melihat lebih banyak kandidat yang memiliki rekam jejak baik, kemampuan, dan prestasi untuk muncul dalam Pilkada DKI Jakarta. Ini memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memilih calon yang benar-benar mereka kehendaki, bukan sekadar boneka politik yang diusung oleh kartel politik.
Threshold atau ambang batas adalah salah satu elemen penting dalam sistem politik, terutama dalam konteks pencalonan kepala daerah. Threshold ini biasanya ditetapkan untuk memastikan bahwa hanya partai politik atau koalisi yang memiliki dukungan signifikan yang dapat mencalonkan kandidat. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas politik dan mencegah fragmentasi politik yang berlebihan.
Namun, dalam praktiknya, threshold yang terlalu tinggi dapat menjadi masalah, terutama ketika diterapkan dalam konteks politik yang didominasi oleh kartel politik. Threshold yang tinggi dapat membatasi kompetisi politik dan mempersempit ruang bagi partisipasi politik yang lebih luas.
Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, threshold sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara di Pileg DPRD telah menjadi penghalang utama bagi partai-partai kecil dan calon independen untuk maju dalam pemilihan. Akibatnya, hanya partai-partai besar yang mampu mengajukan calon, dan bahkan mereka pun sering kali harus berkoalisi dengan partai lain untuk memenuhi threshold ini.
Dalam situasi seperti ini, demokrasi menjadi tidak inklusif, karena hanya segelintir partai yang dapat bersaing, sementara partai-partai kecil yang mungkin memiliki visi dan misi yang berbeda tidak memiliki kesempatan untuk terlibat secara penuh dalam proses politik. Ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi, di mana setiap suara dan aspirasi rakyat seharusnya dapat diwakili secara adil.
Abraham Lincoln pernah mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam demokrasi yang sejati, partisipasi aktif rakyat dalam menentukan pilihan mereka adalah kunci. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan politik kartel yang hanya mementingkan kekuasaan.
Putusan MK ini, dalam banyak hal, dapat dipandang sebagai upaya untuk mengembalikan esensi demokrasi. Dengan memberikan peluang bagi lebih banyak calon untuk maju, MK telah menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat, bukan kepada kepentingan sempit kartel politik. Ini adalah langkah yang harus diapresiasi dan didukung oleh semua pihak yang peduli dengan masa depan demokrasi di Indonesia.
Keputusan MK ini juga memberikan kita pelajaran penting tentang pentingnya membangun demokrasi yang kreatif dan partisipatif. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi di mana partisipasi rakyat diutamakan, di mana pilihan rakyat dihargai dan diakomodasi, bukan diabaikan atau dimanipulasi.
Dalam konteks ini, partai-partai politik memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa mereka tidak terjebak dalam politik kartel yang hanya menguntungkan segelintir elit. Sebaliknya, mereka harus menjadi pelayan publik yang sejati, yang mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Realitas politik Indonesia saat ini menunjukkan bagaimana kartel politik dapat menguasai demokrasi, dengan menghalangi munculnya calon-calon terbaik dan memanipulasi proses demokrasi untuk kepentingan segelintir elit.
Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, fenomena "borong tiket" oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) menunjukkan betapa demokrasi kita tengah berada di bawah ancaman serius. Ketika partai-partai politik lebih mementingkan keuntungan pragmatis dan kekuasaan daripada mengedepankan kehendak rakyat, esensi dari demokrasi itu sendiri mulai terkikis.
Pemilih hanya disodori calon boneka, tanpa adanya pilihan yang nyata dan bermakna. Ini bukan hanya menghina nalar demokrasi, tetapi juga merampas kedaulatan rakyat. Fenomena kartel politik adalah salah satu dampak langsung dari penerapan threshold yang tinggi. Kartel politik terbentuk ketika partai-partai besar bekerja sama untuk menguasai panggung politik, sering kali dengan mengabaikan atau bahkan menyingkirkan partai-partai kecil dan calon independen.
Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, Koalisi Indonesia Maju (KIM) telah menjadi contoh nyata dari bagaimana kartel politik dapat mendominasi pemilihan, dengan memborong tiket pencalonan dan menghalangi munculnya calon-calon potensial lainnya. Kartel politik seperti ini menciptakan monopoli kekuasaan yang merusak esensi demokrasi.
Dalam demokrasi yang sehat, rakyat seharusnya memiliki banyak pilihan, dan setiap calon seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing. Namun, ketika kartel politik menguasai panggung politik, pilihan rakyat menjadi terbatas, dan mereka sering kali hanya disodori calon boneka yang diusung oleh kartel tersebut. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap nalar demokrasi, di mana rakyat tidak lagi memiliki kontrol penuh atas proses politik.
Keputusan MK untuk menurunkan threshold pencalonan gubernur di DKI Jakarta adalah langkah berani dan visioner yang harus diapresiasi. Ini adalah upaya nyata untuk menyelamatkan demokrasi kita dari jerat politik kartel, dan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat yang sejati. Namun, tugas kita belum selesai. Kita harus terus mengawasi dan memastikan bahwa proses demokrasi di Indonesia berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, partisipasi, dan kedaulatan rakyat.
Kita harus terus memperjuangkan demokrasi yang sehat, di mana rakyat memiliki pilihan yang nyata dan bermakna, dan di mana kekuatan politik tidak digunakan untuk merampas hak-hak rakyat. Hanya dengan cara inilah kita dapat memastikan bahwa demokrasi di Indonesia tetap hidup dan berkembang sesuai dengan harapan dan cita-cita para pendiri bangsa kita.
Dengan penurunan threshold ini, lebih banyak partai politik kini dapat mengajukan calon gubernur tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Ini berarti bahwa rakyat akan memiliki lebih banyak pilihan, dan calon-calon potensial yang sebelumnya terhalang oleh tingginya threshold kini memiliki peluang untuk maju dalam Pilkada. Sebagai contoh, Anies Baswedan, yang sebelumnya kehabisan partai politik untuk mengusungnya, kini memiliki kesempatan baru untuk berkompetisi.
Penurunan threshold juga mendorong munculnya tokoh-tokoh baru yang mungkin memiliki visi dan misi yang berbeda dari partai-partai besar. Ini adalah hal yang positif bagi demokrasi, karena memungkinkan adanya diversitas dalam pilihan yang tersedia bagi rakyat.
Dengan lebih banyak calon yang bersaing, rakyat dapat lebih leluasa memilih calon yang benar-benar mereka kehendaki, bukan sekadar calon yang diusung oleh kartel politik. Penurunan threshold juga dapat membantu menjaga keseimbangan kekuasaan dalam politik. Dalam situasi di mana kartel politik mendominasi, kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada segelintir elit, yang dapat mengakibatkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan membuka ruang bagi lebih banyak partai politik untuk bersaing, putusan MK ini membantu memastikan bahwa kekuasaan tidak terkonsentrasi pada satu atau dua partai besar saja.
Selain itu, putusan ini juga dapat mendorong partai-partai kecil untuk lebih aktif terlibat dalam politik, karena mereka tidak lagi harus bergantung pada koalisi dengan partai besar untuk dapat mencalonkan kandidat. Ini dapat memperkuat sistem politik Indonesia secara keseluruhan, karena partai-partai kecil yang sebelumnya terpinggirkan kini memiliki kesempatan untuk menunjukkan potensi mereka.
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 untuk menurunkan ambang batas pencalonan gubernur di DKI Jakarta menjadi 7,5 persen merupakan adalah langkah berani yang menantang hegemoni politik kartel, yang selama ini mengancam kualitas demokrasi Indonesia.
Dengan menurunkan threshold, MK tidak hanya memperluas kesempatan bagi partai-partai kecil dan calon independen, tetapi juga membuka pintu bagi beragam calon yang sebelumnya terhambat oleh batasan tinggi. Langkah ini menciptakan ruang yang lebih adil untuk kompetisi politik, mengurangi ketergantungan pada koalisi dengan partai besar, dan memberikan rakyat pilihan yang lebih beragam.
Namun, tantangan masih ada. Proses implementasi harus dilakukan dengan transparansi dan keadilan untuk memastikan bahwa penurunan threshold tidak hanya menjadi simbol perubahan, tetapi benar-benar meningkatkan kualitas demokrasi.
Semua pihak, dari partai politik hingga pemilih, harus berkomitmen untuk menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan mengawasi dinamika politik agar tetap sesuai dengan harapan rakyat. Hanya dengan komitmen bersama kita dapat memastikan bahwa demokrasi di Indonesia tetap dinamis, inklusif, dan berfungsi sesuai cita-cita pendiri bangsa.
Advertisement