Mahfud, Walter Benyamin, dan Kuasa Ilahi
Baru-baru ini viral sebuah pernyataan Romo Benny Susetyo yang cukup berani ketika menanggapi aksi heroik Mahfud M.D., Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dalam membongkar dugaan transaksi mencurigakan hingga Rp349 triliun di Kementerian Keuangan. Dia itu membawakan kuasa ilahi.
Pernyataan ini kembali dikutip dan diartikulasikan oleh Dahlan Iskan melalui artikelnya yang juga viral dengan judul "Mahfud Ilahi". Apa maksud dari pernyataan tersebut? Apakah itu artinya Mahfud sedang kerasukan sesuatu yang supernatural?
Tanpa membawakan kuasa Ilahi, Mahfud MD tidak akan mengungkapkan soal kecurigaan pencucian uang di Kementerian Keuangan senilai Rp349 triliun itu.
Prosedur dan Tata Krama
Kalau hanya melihat kuasa duniawi, Mahfud akan terjebak pada konstitualisme, yang di dalamnya ada aturan, prosedur dan tata krama. Kalau Mahfud berpegang kekuasaan di dunia, ia akan berkutat di dalam batas peraturan, etika, dan prosedur itu.
Secara peraturan, Mahfud akan dipersoalkan. Bolehkah seorang menko mengungkapkan soal itu. Secara etika pun demikian. Dan secara prosedur juga dipersoalkan.
Namun, konsep kuasa ilahi dalam konteks Prof. Mahfud tersebut memang diakui Romo Benny bukan ide langsung dari dirinya.
Konsep itu sebenarnya berasal dari pemikiran filsuf Jerman bernama Walter Benyamin dari mazhab Frankrut. Mazhab ini beraliran teori-teori kritis. Dia juga seorang sastrawan dan dramawan. Bagi Benyamin, seni bukan estetika, melainkan alat untuk kesadaran publik demi memperjuangkan keadilan.
Maka, saya menggunakan pemikiran Benyamin ini dalam konteks Prof. Mahfud untuk membongkar dugaan transaksi fantastis di Kemenkeu tersebut.
Benyamin pada waktu itu hidup dalam zaman fasisme dengan banyaknya ketidakadilan di mana-mana. Benyamin hadir dan menggunakan drama sebagai sarana untuk mengkritik dan memperjuangkan keadilan bagi masyarakat yang lemah dan tertindas saat itu.
Kerapa para elite politik menggunakan argumen konstitualisme yang sebenarnya untuk menutupi ketidakberdayaannya karena dia tersandera oleh banyak kepentingan, misalnya kepentingan kapital. Akibatnya, dia tidak sanggup menyuarakan ketidakadilannya tersebut.
Karena itu, perlu ada pemimpin yang berani menyuarakan ketidakadilan tersebut, yakni suara kenabian. Itulah yang disebut kuasa ilahi.
Jadi, kalau kita belajar dari pemikiran Walter Benyamin, kita akan tahu bagaimana relasi kuasa itu mampu memperjuangkan nilai-nilai keadilan yang berpihak bagi kaum yang lemah dan terpinggirkan. Caranya dengan extraordinary, artinya sesuatu yang dilakukan melintasi batas-batas norma yang sudah ada tadi.
Sementara, dalam konteks di negara kita, khususnya Mahfud MD beda. Dia berani membawakannya dengan kuasa ilahi, bukan kuasa duniawi, untuk membongkar dugaan transaksi mencurigakan tersebut tanpa memang melakukan pelanggaran terhadap rahasia negara.
Mahfud MD tidak ada menyebut nama atau inisial. Dia hanya ingin membongkarnya dan bagaimana pajak dan sumbangan energi atau tambang memang benar untuk kesejahteraan rakyat.
Pemimpin perlu tunduk pada prinsip hukum tertinggi yaitu "bonum commune" atau kesejahteraan umum. Maka, seorang pemimpin dapat melihat politik itu bukan sekadar hal duniawi, tetapi juga sesuatu yang ilahi.
Artinya, saat ini kita membutuhkan politik profetis. Politik yang mengatasi duniawi, bukan hanya urusan strategi, tetapi memberi ide dan gagasan dalam mencapai kesejahteraan umum tadi. Maka, para politikus seharusnya memiliki sifat 'arate' atau keutamaan publik seperti bijaksana dan berani. Dalam konteks di Indonesia saat ini, dalam situasi darurat, pemimpin itu harus berani tidak mencari kemapanan, bukan dekonstruksi politik.
Antonius Benny Susetyo
Staf Khusus Kepala BPIP, dalam Podcast "Febry et Scientia" bersama Febry Silaban.
Advertisement