Mahfud MD: Video Viral Jaksa Terima Suap Bukan Delik Aduan
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menyebut kasus video viral yang menyebut ada jaksa yang menerima suap dalam kasus Rizieq Shihab bisa diusut. Kasus ini pun dianggap bukan delik aduan. Aparat bisa langsung melakukan pengusutan tanpa harus menunggu laporan dari pihak yang merasa dirugikan.
"Sengaja memviralkan video seperti ini tentu tentu bukan delik aduan, tetap harus diusut," cuit Mahfud dalam akun Twitter resminya, Minggu 21 Maret w021.
Mahfud juga menyinggung soal revisi UU Internet dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menghilangkan potensi pasal karena dan membedakan delik aduan dan delik umum di dalamnya.
"Video ini viral, publik marah ada jaksa terima suap dalam kasus yang sedang diramaikan akhir-akhir ini, tapi ternyata ini hoax: penangkapan atas jaksa AF oleh jaksa Yulianto itu terjadi 6 tahun lalu di Sumenep. Bukan di Jakarta dan bukan dalam kasus yang sekarang. Untuk kasus seperti inilah, a-l, UU ITE dulu dibuat," katanya.
Diberitakan sebelumnya, viral di media sosial video yang menarasikan seorang jaksa menerima suap di sidang kerumunan dan tes swab Habib Rizieq Shihab yang telah digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut kejadian itu tidak benar.
Video tersebut menarasikan dengan voice over 'terbongkar pengakuan seorang jaksa yang mengaku menerima suap kasus sidang Habib Rizieq Shihab, Innalillah, Semakin Hancur Wajah Hukum Indonesia,'. Video itu berdurasi 48 detik dengan menampilkan wawancara wartawan dengan seorang jaksa yang belakangan diketahui Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT) Yulianto.
Potongan video itu memunculkan interaksi wawancara antara jaksa Yulianto dan wartawan.
'Berapa yang ditangkap, Pak?' kata wartawan.
'Satu yang kita tangkap jaksa AM, yang kedua adalah AF, pemberinya,' kata jaksa Yulianto.
'Nominalnya?' sahut wartawan.
'Nominalnya 1,5, uangnya dalam bentuk pecahan rupiah dan pecahan rupiah Rp 100 ribu dan pecahan Rp 50 ribu,' kata jaksa.
'Ditemukan di?' lanjut wartawan itu.
'Ditemukan di tempat kos oknum jaksa,' ungkap jaksa mengakhiri.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak pun mengklarifikasi beredarnya video dengan narasi “Terbongkar Pengakuan Seorang Jaksa yang Mengaku Menerima Suap Kasus Sidang Habib Rizieq Sihab, Innalillah Semakin Hancur Wajah Hukum Indonesia ” di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan YouTube. Dalam video tersebut memuat penjelasan Yulianto, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi pada Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus kepada media. Video ini pun diambil pada tahun 2016
Leonard Eben Ezer Simanjuntak menyatakan menyebut bahwa video penangkapan seorang oknum Jaksa oleh Tim Saber Pungli Kejaksaan Agung adalah peristiwa yang terjadi pada bulan November tahun 2016 yang lalu dan bukan merupakan pengakuan jaksa menerima suap kasus sidang Habib Rizieq Sihab.
Pernyataan Yulianto itu yang disebut dalam media sosial itu adalah berkaitan dengan penangkapan oknum Jaksa AF di Jawa Timur pada 2016 yang lalu. Saat itu Jaksa AF menerima suap dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi Penjualan Tanah Kas Desa di Desa Kali Mok Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep Jawa Timur. Saat ini, Yulianto juga sudah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Bahwa video p juga enangkapan oknum Jaksa AF tidak ada sama sekali kaitan dan hubungannya dengan proses sidang Muhammad Rizieq alias Habib Rizieq Sihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang saat ini sedang disidangkan," kata ;
Leonard Eben Ezer Simanjuntak menegaskan bahwa informasi dalam video tersebut adalah tidak benar atau hoax. Kejaksaan Agung juga minta masyarakat untuk tidak menyebarluaskan video tersebut serta tidak mudah percaya dan terprovokasi dengan berita bohong atau hoax sebagaimana video yang sedang beredar saat ini;
"Kami juga meminta agar masyarakat tidak membuat berita atau video atau informasi yang tidak benar kebenarannya dan menyebar-luaskannya kepada masyarakat melalui jaringan media sosial yang ada karena perbuatan tersebut dapat dijerat dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya pasal 45A ayat (1) yang berbunyi “ Setiap orang, yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dipidana dengan pidana penjara 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).” pungkasnya.