Mahbub Djunaidi Penuh Warna
Oleh: Ady Amar
Generasi tahun 70-90an, setidaknya pastilah mengenal Mahbub Djunaidi. Tiap pekan tulisan kolom atau esainya setidaknya bisa dibaca di media cetak nasional.
Mahbub rutin tiap pekan menulis esai di koran Kompas, sejak akhir 1986 hingga 1995. Rubrik "Asal-Usul" namanya. Juga satu sampai dua kali tiap bulan kolomnya muncul di majalah Tempo.
Mahbub Djunaidi, lahir di Jakarta, 27 Juli 1933. Sering menyebut diri tulen anak Betawi. Mahbub anak pertama dari tiga belas bersaudara. Ayahnya H. Muhammad Djunaidi, pegawai Kementerian Agama di era kolonial, yang mengenyam pendidikan dalam kultur Belanda dan Islam sekaligus.
Dalam bahasa canda, Mahbub menjuluki sang ayah dengan "bersiul bagai Marsose, bersikap bagai Kiai". Sedang ibunya, Muhsinati, dijulukinya dengan "lugu bagai selembar kertas putih untuk suaminya, yang bisa ditulis sesuka hati."
Ayahnya, pernah menjabat anggota DPR-RI dari Partai Nahdlatul Ulama, hasil pemilu 1955. Sedang sang ibu, hanyalah ibu rumah tangga biasa.
Mahbub memang penulis mempesona. Tulisan dengan substansi biasa saja, di tangannya bisa menjadi sesuatu yang memukau.
Teknik penyampaiannya tidak biasa untuk ukuran saat itu, dimana pembaca diberi suguhan atraktif penulisan yang bikin kita setidaknya terpaku, kagum, lalu senyum simpul mengembang.
Mahbub menyajikan tulisannya dengan gaya tidak umum. Tidak semacam penulis kebanyakan, yang lurus-lurus saja, serius dan kadang melelahkan, atau kalau tidak mau disebut membosankan.
Membaca tulisannya, kita disuguhi setidaknya dua hal, konten kuat yang disuguhkan, dan gaya penyampaian yang tidak biasa. Kita seolah diajak "tamasya" berputar, berkelok, naik dan tiba-tiba turun dengan kencang bak sedang menaiki roller coaster. Mengasyikkan.
Membaca tulisan Mahbub, itu sulit ditebak ending-nya. Dan bahkan apa yang mau disasarnya. Kritiknya kadang pedas, disampaikan dengan gaya satire tapi jenaka, yang dikritik meski sewot tapi tidak sampai telinga menjadi merah.
Gaya penyampaian dalam bertuturnya, itu bisa dikatakan segaris dengan Art Buchwald, kolumnis Amerika yang kesohor itu, yang menulis kolom rutin di Washington Post. Art Buchwald memang salah satu idola Mahbub, disamping Mark Twain, dan George Orwell.
Art Buchwald menulis kolom, yang awalnya hanya dimuat di Washington Post, tapi kemudian tulisan yang sama pada hari yang sama, dimuat di ratusan media cetak lainnya.
Suatu waktu Mahbub pernah menyatakan "mimpinya", jika suatu saat nanti kolomnya pada hari yang sama pun bisa di muat di banyak media. Selorohnya pada kawan karibnya di Bandung, Ridho Baridwan, "Ane bisa fulus, Dho."
Semasa mahasiswa aktif di PB HMI, dan lalu bersama kawan-kawannya mendirikan PMII. Mahbub Djunaidi lalu didapuk sebagai Ketua Umum PB PMII pertama.
Mahbub juga pernah menjadi Pimpinan Redaksi koran Duta Masyarakat (1960-1970), koran milik Partai Nahdlatul Ulama. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum PWI Pusat, 1965-1970.
Selain itu Partai Nahdlatul Ulama menunjuknya sebagai Wakil di DPR-RI, 1977-1982.
Jurnalis yang Sastrawan
Mahbub Djunaidi, entah lebih tepat disebut jurnalis yang sastrawan atau sastrawan yang jurnalis. Tapi yang jelas, baik disebut sebagai jurnalis lebih dulu, atau sastrawan lebih dulu tidaklah masalah. Sama-sama pantas, tidak ada yang salah.
Sastrawan Satyagraha Hoerip menyebut, bahwa Mahbub itu sudah aktif menulis karya sastra cerpen di majalah Siasat , setidaknya dari 1954 sampai 1958. Majalah Siasat saat itu jadi jujugan para penulis sastra, sangat prestisius.
Mahbub setidaknya pernah menulis dua novel: Dari Hari Ke Hari (Dunia Pustaka Jaya, 1975). dan Musim Berganti, (Idayu, 1985), novel yang ditulisnya dalam tahanan, saat ia di tahun 1978 ditahan sebagai tahanan politik rezim Orde Baru.
Novel Dari Hari Ke Hari, lebih nyaman dibaca kisahnya, ketimbang Musim Berganti, yang agak "keras" penyampaiannya. Tentu itu penilaian subyektif.
Dari Hari Ke Hari, sebelum terbit menjadi buku, naskah novel itu di tahun 1974 dinyatakan sebagai pemenang Sayembara Mengarang Roman, oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Novel Dari Hari Ke Hari ini bisa disebut sebagai semi otobiografi. Berlatar belakang tentang revolusi fisik, pengungsian dari Jakarta ke Solo, dari tahun 1946-1948.
Novel ini dibagi menjadi 5 bagian: "Jendela Tiada Berkaca", "Pohon Jambu Rimbun", 'Kemarau", "Cintanya Pada Kota", dan "Dari Hari Ke Hari".
Dan, memang menurut pengakuan Mahbub, novel Dari Hari Ke Hari, itu merupakan pengalaman masa kanak-kanaknya, yang menjadi kenangan sulit untuk dilupa.
Saat di penjara, Mahbub sempat menerjemahkan Road to Ramadhan, sebuah novel karya jurnalis Mesir, Muhammad Hasanan Heikal. Lalu diterbitkan penerbit PT Al-Ma'arif, selepas ia keluar dari penjara dengan judul Di Bawah Kaki Gurun Sinai. Judul yang "lari" dari judul aslinya, tapi tetap kontekstual dengan isi buku. Itu hal biasa, dan tentu dimaksudkan agar punya nilai komersial.
Mahbub juga menerjemahkan buku karya Michael J. Hart, 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah. Hart menempatkan Nabi Muhammad pada nomor 1 di antara 100 tokoh lainnya. Sempat mengguncang protes keras di Barat. Protesnya, kenapa Yesus diletakkan pada nomor 2, tidak pada nomor 1. Buku ini best seller.
Meninggal Sesuai Quote yang Ditulisnya
Kritikus sastra HB Jassin menyebut Mahbub Djunaidi, sebagai pengarang sastra dengan menggunakan gaya pendekatan tersendiri, yang dipengaruhi lingkungannya. Tambahnya, gaya penulisan Mahbub itu perpaduan antara jurnalistik dan sastra.
Suatu saat, tulisan esai Mahbub di koran Kompas, dalam rubrik "Asal-Usul" itu menghilang, itu karena Mahbub jatuh sakit, ia terserang stroke.
Saat tubuhnya sudah sehat lagi, ia tetap melaksanakan kewajibannya tiap pekan rutin menulis esai "Asal-Usul".
Sampai pada saatnya... Esai yang biasa ditulisnya di mesin ketik manual, itu belum selesai, baru ditulis tidak lebih dari setengahnya saja, belum jelas ending-nya ke mana. Tapi Mahbub tidak sanggup meneruskannya, ia ambruk. Dan, itu lalu beberapa hari kemudian menuju ke kematiannya.
Subhanallah, itu sesuai dengan quote yang pernah ditulisnya, "Aku akan menulis dan akan terus menulis, sampai tak mampu lagi untuk menulis."
Jakob Oetama (Kompas), yang takziah ke rumah duka menanyakan, apa ada titipan tulisan terakhir yang ditulis Mahbub? Sang istri, Hj. Hasni Asjmawi Djunaidi, menunjukkan tulisan Mahbub yang belum selesai. Dan pak Jacob membawa tulisan yang belum selesai itu, dan esai itu tetap dimuat pada Minggu di rubrik "Asal-Asul", sebagai penghormatan terakhir pada Allah Yarham.
Tepat 40 hari kematiannya, Kompas menerbitkan kumpulan esai pilihan Mahbub Djunaidi Asal-Usul menjadi buku. Saat peluncuran bukunya, Hussein Badjerei, sahabat Mahbub sejak masa kanak-kanak sampai akhir hayatnya, didaulat untuk memberi sambutan. Hussein hanya mampu bicara beberapa kata saja, lalu menangis sesenggukan, tak mampu meneruskan bicara tentang sahabatnya itu.
Hussein Bajerei, mantan Sekjen PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah, yang juga mengasuh majalah Suara Al-Irsyad, kerap menerima tulisan dari Mahbub sahabatnya untuk media organisasi yang diasuhnya. Tulisan gratisan alias tanpa dibayar.
Pasangan Mahbub dan Hasni, dikaruniai lima orang anak, dua lelaki dan tiga perempuan.
Mahbub Djunaidi, Sang Pendekar Pena, ini meninggal di Bandung, 1 Oktober 1995, dalam usia 62 tahun. Usia yang sebenrnya masih bisa lebih produktif lagi. Tapi takdir berkata lain.
Namun demikian, Mahbub Djunaidi masih bisa kita lihat dari legacy yang ditinggalkan, warisan buku karya dan terjemahan: Dari Hari Ke Hari (1975), Lakulah Sebuah Hotel (1976), Politik Tingkat Tinggi Kampus (1978), Di Kaki Langit Gurun Sinai (Hasan Heikal, 1979), Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah (Michael J. Hart, 1982), Cakar-Cakar Irving (Art Buchwald, 1982), Binatangisme (George Orwell, 1982), Lawrence Dari Arabia (Philip Knightly, 1982), 80 Hari Berkeliling Dunia (Jules Verne, 1983), Angin Musim (1985), Kolom Demi Kolom (1986), Humor Jurnalistik (1986), Mahbub Djunaidi Asal-Usul (1986). (Mungkin juga ada karya lain yang luput dari amatan. Maaf).
Sungguh dunia literasi Indonesia kehilangan sosok penuh warna ini. Mahbub Djunaidi akan terus dikenang, terutama lewat karya-karyanya, tentu sampai waktu tak terbilang.*
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.
Advertisement