Mahasiswa ITS Gagas Alat Deteksi Tsunami, Ini Kelebihannya
Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menggagas sebuah alat pendeteksi dini bencana alam tsunami berbasis sinyal berfrekuensi rendah, atau Infrasound.
Mahasiswa yang mengembangkan alat tersebut adalah, Abdul Hadi, Mohammad Naufal Al Farros, dan Nindya Eka Winasis. Mereka berasal dari Departemen Teknik Fisika kampus ITS.
Ketua tim, Abdul Hadi mengatakan, alat yang diberi nama Observatorium tersebut dapat mendeteksi tsunami melalui infrasound yang ditimbulkan dari adanya pergeseran pada lempeng bumi. “Infrasound kami jadikan sebagai sumber deteksi karena memiliki beberapa keunggulan,” kata Hadi, Kamis, 15 Desember 2022.
Alat tersebut, kata Hadi, memiliki keunggalan dalam pemanfaatan frekuensi infrasound yang relatif rendah, yakni antara 0 – 20 Hertz. Sehingga data yang didapat tidak akan berubah jika ada pelemahan sinyal.
Observatorium didesain membentuk sebuah elemen segi lima dan akan ditempatkan di atas tanah dan diberi jarak 1 – 3 kilometer antarelemen. Setiap elemen itu ditunjang dengan sensor pendeteksi infrasound.
Selain itu, dalam setiap elemen Observatorium juga dipasang filter noise reduction. Komponen tersebut berfungsi untuk meminimalisir sinyal yang mengganggu pendektsian gempa.
Lebih lanjut, Hadi menyebut jika peletakan Observatorium tersebut harus berdasarkan peta ring of fire, peta potensi bencana, peta batuan induk, dan perpotongan garis diagonal yang dibuat pada peta.
Dari landasan itu, para mahasiswa ITS tersebut akhirnya bisa menentukan tiga titik yang paling strategis untuk dipasang Observatorium. Yakni di Kota Malang, Padang, serta Palu. “Terpilihnya ketiga lokasi tersebut sudah dapat menjangkau seluruh lokasi yang ada di Indonesia apabila suatu gempa yang berpotensi tsunami terjadi,” jelasnya.
Mengenai cara kerja, pria yang juga menjadi ketua Himpunan Teknik Fisika ITS itu mengungkapkan, alat tersebut terbagi menjadi tiga proses, yaitu deteksi, asosiasi, dan lokalisasi.
Dengan demikian, sensor elemen Observatorium terdekat dengan lokasi gempa bakal mendeteksi titik infrasound muncul. Lalu, sistem Adaptive F-Detector (AFD) akan menganalisis terkait potensi tsunami.
Sistem AFD tersebut secara otomatis mengeluarkan warning system atau peringatan apabila ada potensi tsunami. Data itu nantinya disalurkan ke dua stasiun Observatorium lainnya.
Kemudian, lanjut Hadi, sistem lain yang ada di Observatorium, yakni Bayesian Infrasound Source Localization (BISL), bakal mengolah data dan memastikan lokasi dan volume tsunami yang akan terjadi.
Hadi mengatakan, seluruh proses tersebut hanya akan memakan waktu 15 menit sampai 30 menit sebelum tsunami datang. Dengan demikian, masyarakat dapat melakukan evakuasi terlebih dahulu. “Dengan begitu, warga di sekitar lokasi yang berpotensi tsunami dapat memiliki waktu evakuasi lebih lama,” ucapnya.
Hadi pun berharap agar inovasi pendeteksi gempa lebih dini ini tidak hanya terbatas menjadi essay. Namun bisa segera direalisasikan dan bermanfaat bagi masyarakat. “Jika Observatorium kami direalisasikan dan digunakan di Indonesia, maka bisa lebih banyak pula nyawa yang bisa diselamatkan saat sebelum terjadi tsunami,” tutupnya.