Mahabbah dan Ma'rifat, Terminologi Dzun Nun Al-Mishri
Oleh : Ady Amar
Awalnya, pada abad pertama, istilah tasawuf belum dikenal, tetapi benih-benihnya sudah mulai tampak, semisal istilah zuhhud, orang yang menghindari urusan duniawi; harta dan kedudukan. Juga ubbad, orang-orang yang berusaha mengabdi hanya kepada Allah. Pada periode ini diwakili Hasan al-Bashri, yang terkenal akan ajaran khauf (takut kepada Allah), dan raja' (berharap akan kasih Allah).
Baru pada abad ketiga, muncul Dzun Nun al-Mishri, yang lebih menguak dan memberi pijakan tasawuf, agar manusia lebih dekat kepada-Nya, dalam mencari kecintaan semata kepada Allah, sebagaimana kredonya, "Mencari kecintaan Allah, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang telah ditetapkan, dan takut berpaling dari ketetapan-Nya".
Sebelum Dzun Nun, sebenarnya sudah ada sejumlah guru Sufi yang konsen terhadap isyarat tasawuf. Namun, Dzun Nun lah yang pertama di Mesir khususnya, yang berbicara tentang ahwal dan maqomat para salikin, dan memberikan definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik.
Dzun Nun memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Tidak salah jika ia dianggap sebagai peletak dasar-dasar tasawuf.
Biografi Singkat Dzun Nun Al-Mishri
Abu al-Faidh Tsauban bin Ibrahim, nama lengkapnya. Tapi lebih masyhur dengan panggilan Dzun Nun al-Mishri. Lahir di Ikhmin, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H./796 M. Wafat pada tahun 246 H./856 M.
Sebagaimana lazimnya para Sufi, Dzun Nun pun tidak terkecuali, menjelajah dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia menjelajah hampir seluruh wilayah di Mesir. Juga mengunjungi Bait al-Maqdis, Bagdad, Mekkah, Hijaz, Syria, dan lainnya.
Dzun Nun tidak saja menguasai bidang tasawuf, tapi juga menguasai ilmu hadis. Belajar ilmu hadis dari kitab al-Muwaththa, langsung dari Imam Malik pengarangnya. Ia pun kerap menimba ilmu dari Ahmad bin Hanbal (mazhab Hambali). Lalu ilmu hadis itu pun disebarkannya di tempat-tempat persinggahannya.
Suatu ketika dalam perjalanan yang dilalui, ia mendengar tabuhan genderang berirama rancak, diiringi suara siulan dan nyanyian, khas acara pesta. Karena ingin tahu, ia bertanya pada seseorang yang ada di dekatnya, "Gerangan ada apa ini?" Orang yang ditanya itu menjawab, "Itu pesta perkawinan."
Tidak jauh dari tempat pesta itu, ia jumpai suara ratapan dan erangan keras suara orang yang tampak dirundung duka. Fenomena apa lagi ini, tanyanya dalam hati. Lalu, ia bertanya lagi pada orang yang dijumpainya, dan jawabnya, "Oh suara itu tangisan salah satu orang yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Mereka biasa meratapi dengan suara yang menyayat."
Di sana ada suara yang dimeriahkan dengan suka cita berlebihan. Dan di sini ada duka yang diratapi dengan air mata tak tersisa.
"Ya Allah, aku tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di tempat ini. Mereka diberi anugerah tapi tidak pandai bersyukur. Di sisi lain, mereka diberi cobaan tapi tidak bersabar." Dengan hati pedih ia tinggalkan tempat itu, dan lalu melanjutkan perjalanannya menuju Kairo, Mesir.
Mahabbah dan Ma'rifat
Selama ini jika kita bicara mahabbah, maka nama populer yang dikenal hanyalah Rabi'ah al-Adawiyah. Padahal yang memperkenalkan mahabbah dan ma'rifat ialah Dzun Nun al-Mishri.
Mahabbah dalam terminologi Dzun Nun ialah "tidak punya keinginan selain kepada Allah". Dan tanda orang yang mencintai Allah selalu mengikuti kekasih-Nya Nabi Muhammad dalam akhlak, perbuatan, perintah dan menjalankan Sunnah-sunnahnya.
Semua itu berpola pada jalan Islam, di mana ada empat perkara: "Cinta kepada Allah, benci kepada yang fana, mengikuti al-Qur'an, dan takut tergelincir pada kesesatan".
Bila dibandingkan dengan mahabbah Rabi'ah al-Adawiyah, yang hanya menempatkan posisi Tuhan di atas segala-galanya, dan melupakan kecintaan pada Rasulnya. Maka Dzun Nun justru menempatkan cinta kepada Allah integral dengan cinta kepada Rasul-Nya Muhammad SAW, zuhud kepada dunia, mengikuti al-Qur'an dan Sunnah, dan takut memperturutkan syahwatnya. Sebagaimana yang diungkapkannya.
"Engkau cintai apa yang dicintai oleh Allah, dan engkau benci apa yang dibenci-Nya, engkau memohon ridha-Nya, engkau tolak semuanya yang akan merintangi engkau menuju Dia. Dan jangan takut akan kebencian orang yang akan membenci. Dan jangan mementingkan diri dan melihatnya. Karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri sendiri."
Ada pun tentang konsep ma'rifah, bisa ditelisik dari seseorang yang bertanya pada Dzun Nun tentang dari mana ia peroleh ma'rifat Allah itu? Ia menjawab, "Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan. Dan sekiranya bukan karena Tuhan, aku tak akan tahu (mengenal) Tuhan."
Kata ma'rifat secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu al-ma'rifah, yang bermakna mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan jika dihubungkan dengan tasawuf, maka istilah ma'rifat itu ialah "mengenal Allah". Dan orang yang mencapai maqam ma'rifat biasa disebut Arif billah.
Biasanya orang arif itu bangga dalam cobaan kekurangan yang bersifat lahir. Tapi apabila nama Allah disebut, hatinya berbunga. Namun apabila disebut nama dirinya, ia merasa hina. Selain itu, ia bersungguh-sungguh menuntut dunia dengan tidak meringankan urusan akhirat, tidak marah di waktu mesti memaafkan, tidak takabur di waktu mesti tawadhu', dan bukan orang yang kehilangan takwa karena labanya (mendapat keuntungan), bukan orang yang marah mendengar ia diperkatakan orang dengan benar, bukan orang zuhud pada perkara yang disukai orang yang berakal, bukan meminta orang lain supaya mementingkannya, bukan orang yang lupa akan Allah di tempat taatnya dan ingat Allah hanya di waktu hajat kepada-Nya, bukan pula orang yang sedikit malunya kepada Allah padahal Allah tetap menutup auratnya, dan bukan orang yang lemah melawan musuhnya (setan), dan bukan pula orang yang tak sanggup membuat muruah menjadi pakaian dan adab menjadi perisai dan takwah menjadi perhiasan, dan bukan pula orang mengambil ilmu pengetahuannya hanya semata-mata buat membangga-banggakan dan menyombong-nyombongkan dalam majelisnya." (Hamka, Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf).
Hikmah Kalajengking Menyadarkan
Syair dalam terminologi Sufi menduduki tempat terhormat. Selain pengungkap ekspresi, syair bahkan bisa menjadi media peningkatan kualitas spiritual seorang hamba menuju Tuhannya.
Bahkan Imam al-Ghazali berujar, bahwa hati para kekasih Allah itu seringkali untuk menggapai kedekatan kepada-Nya dengan media semacam syair-syair ketuhanan. Syair digubah dengan rima dan susunan kalimat sastrawi menyentuh nurani setiap yang mendengar.
Adalah Syekh Israfil, guru Dzun Nun, ketika menggali tanah sambil bersenandung syair. Tangannya tetap asyik menggali tanah, dan lisannya mendendangkan syair. Menyadari ada seorang laki-laki mendekat, ia mendongakkan kepala, dan bertanya.
"Apakah engkau bisa mendendangkan sebuah syair yang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan?"
"Tidak, wahai Guru," jawab lelaki itu.
"Berarti dadamu kosong. Kau tak punya dzauq, rasa keindahan," sahutnya.
Dalam kitab at-Tawwabin, karya Ibnu Qudamah, ada dikisahkan kisah Dzun Nun dengan sahabatnya Yusuf bin al-Husain. Saat keduanya melihat kalajengking besar yang sedang berjalan di tepian sungai Nil. Mereka berdua merasa khawatir jika saja kalajengking berbisa itu akan menyengat mereka.
Mereka terus mengamatinya, hingga yang mereka lihat pemandangan tidak biasa. Kalajengking itu menghampiri seekor katak yang sedang menepi di pinggir sungai. Tak lama berselang, kalajengking itu menaiki punggung katak. Keduanya tampak berdamai, berkongsi menyeberangi sungai.
Melihat kejadian tidak lazim itu, Dzun Nun dan sahabatnya, mengikuti kedua hewan tersebut. Kalajengking pun turun dari punggung katak di seberang sungai.
Sejenak Dzun Nun dan sahabatnya itu melihat seorang lelaki pemabuk tertidur pulas di bawah pohon rindang. Tanpa disadarinya, seekor ular berbisa mendekati untuk menggigit lelaki itu. Kalajengking mendekat ke arah ular. Terjadilah pertengkaran keduanya, kalajengking menancapkan ekor tajamnya ke tubuh ular dan merobeknya. Berguling-guling keduanya, hingga ular itu pun mati menggelepar.
Setelah berhasil mengalahkan ular dengan sengatan berbisa, kalajengking itu kembali ke pinggir sungai dan lalu menaiki punggung katak, yang setia menunggunya menjalankan misi Tuhan, menyeberangkan lagi ke seberang sungai.
Pemuda itu terbangun, dan Dzun Nun menceritakan apa yang telah terjadi, sambil menyenandungkan dua bait syair indah, pengingat bagi mereka yang terlena.
Wahai mata yang tertutup. Dzat Yang Mahaagung selalu menjaganya dari perbuatan keji yang merayap dalam kegelapan mata terpejam.
Mengapa mata terus terpejamkan dari Dzat Yang Maharaja? Padahal mata dapat meperoleh manfaat dan berbagai kenikmatan.
Mendengar dendang syair itu, lelaki muda tadi terperanjat bergegas bangkit, dan berkata, "Tuhanku, jika ini cara mengingatkanku, orang yang telah durhaka kepada-Mu. Lantas betapa lembutnya Engkau terhadap orang yang taat kepada-Mu."
Kisah di atas menggambarkan betapa luasnya rahmat Allah kepada hamba-Nya, meski hamba itu durhaka dan berlumur dosa. Allah tetap membuka pintu tobat dan ampunan-Nya.
Dua nasihat Dzun Nun al-Mishri, yang layak dikutip untuk menutup pembicaraan sekadarnya tentangnya. Nasihat yang dinukil dari Kitab Risalah Qusyairiyah, karya Imam al-Qusyairi an-Naisabury.
"Janganlah hikmah memenuhi lambung yang dipenuhi makanan."
Ketika Dzun Nun al-Mishri, ditanya tentang tobat, jawabnya, "Tobat orang awam didasarkan pada dosa. Tobat kalangan khawas didasarkan pada kealpaan."
Wallahu a'lam.**
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.