'Maha Karya', Halim HD: Ini Kondisi Krisis Dunia Kesenian
"Dan krisis ini kian melebar memasuki ruang ruang kehidupan lainnya, seiring dengan interaksi aspek kehidupan."
Halim HD menangkap adanya krisis dalam kesenian kita. “Yang paling ironis lagi justeru terjadi di dalam masyarakat kampus yang semestinya kritis melalui ilmu pengetahuan yang dimilikinya,” kata networker kebudayaan tinggal di Solo.
Untuk ngopibareng.id, penelaah seni pertunjukkan yang pernah mengenalkan pemikiran Eduardo Galeano, penulis Memory of Fire, di Indonesia, ini memberikan pandangannya:
Krisis bahasa bukan hanya dalam dunia politik. Pada jagat ini terjadi degradasi makna kata, kalimat dalam bahasa berkaitan dengan ketiadaan korelasi logis secara intelektual dan moral antara ucapan dan tindakan.
Tiap hari kita menyaksikan hal itu. Dan krisis ini kian melebar memasuki ruang ruang kehidupan lainnya, seiring dengan interaksi aspek kehidupan.
Kini kita menyaksikan krisis bahasa dalam dunia kesenian. Hal ini menjadi ironi yang paling banal, dangkal dan sangat memalukan. Lihatlah misalnya kasus publikasi informasi kesenian yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir ini di Solo, berkaitan dengan Solo International Performing Art (SIPA) yang selalu menabalkan dirinya dengan sebutan menyajikan "Maha Karya".
Padahal jika kita nengikutinya sejak beberapa tahun yang lalu, rasanya tak ada karya yang bermutu tinggi, hanya sekadarnya, bahkan banyak karya yang jauh dari memadai.
"Dan yang paling ironis lagi justeru terjadi di dalam masyarakat kampus yang semestinya kritis melalui ilmu pengetahuan yang dimilikinya di dalam memahami dirinya berkaitan dengan proses penciptaan."
Ketika publikasi penyebutan berserakan di pojok kota, saya bertanya tanya dalam hati, dan saya tanyakan kepada beberapa pengamat, karya manakah yang dianggap dan disebut "Maha Karya". Tak ada jawaban yang jelas, apalagi memiliki argumentasi yang kuat.
Hal yang sama terjadi pada sebuah perti swasta yang menanggungkan teater tradisi yang juga disebut "Maha Karya", yang oleh seorang teman pengamat dianggap sebagai jenis tontonan yang jauh dari memadai, sekadar menampilkan para dosen yang gamang berkesenian. Tapi penonton memenuhi gedung, seperti juga SIPA yang selalu dijejali oleh publik Solo, karena gratis.
Untuk kesekian kalinya saya membaca berita tentang rencana pertunjukan "Maha Karya" berkaitan dengan milad dan reuni UKM teater Universitas Negeri Makassar (UNM) di Forth Rotterdam pada tanggal 20-21 Juli.
Saya mencoba menggali informasi untuk memahami kasus peristiwa kesenian yang terasa mengandung narsisme dan megalomanian: menepuk dirinya sebagai pelaku dari "Maha Karya". Saya menganggap bahwa jika pelaku kesenian tidak lagi memiliki kapasitas kritis dalam berbahasa, maka dirinya telah kehilangan ukuran, memasuki krisis kriteria.
Krisis kriteria ini akibat ketiadaan pendalaman pada ruang sejarah karya yang pernah ada di lingkungan sosialnya. Misalnya, jika di Solo panitia SIPA menabalkan "Maha Karya" pada sajiannya, lalu jenis karya bedhayan dari Kraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran, mau disebut apa?
Dan untuk kasus di Makassar, jika karya teater mahasiswa untuk acara milad disebut "Maha Karya", bagaimana dengan karya-karya yang pernah diciptakan oleh Rahman Arge, Jakob Marala, Fahmy Syariff, Asia Ramli Prapanca, Shinta Febriany?
Bagaimana dengan karya Mak Coppong, Daeng Serang, Daeng Mile, Mak Cida', Mak Ummu, kita harus menyebutnya sebagai apa?
Krisis kriteria berkaitan dengan krisis bahasa dan maknanya nampaknya sangat kuat hubungannya dengan mereka yang tidak pernah mendalami sejarah dan tidak memahami arus pemikiran yang pernah ada serta membentuk ingatan tentang relasi kuat antara konsep konsep estetika dengan etika serta epistemologi.
Di dalam kondisi krisis dunia kesenian itu nampaknya, seperti juga di dalam dunia sosial politik kita, memunculkan segerombolan orang-orang nekad dengan sikap narsistik dan megalomanian. Hal itu, akibat ketidakberdayaan didalam mengarungi sejarah tradisi n sejarah sosialnya.
Dan yang paling ironis lagi justeru terjadi di dalam masyarakat kampus yang semestinya kritis melalui ilmu pengetahuan yang dimilikinya di dalam memahami dirinya berkaitan dengan proses penciptaan.
Tapi nampaknya kondisi dan kapasitas kritis ini juga telah sirna. Selain itu, kita menyaksikan di atas panggung sesuatu yang paling ironis: suguhan karya oleh kaum escapism yang tidak lagi memiliki pertimbangan etis terhadap sejarah karya yang pernah ada.
Begitulah jika kaum terdidik mengalami krisis makna historis. (HHD)
Advertisement