Mafia Benur Berkibar
Awal bulan Februari ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melepasliarkan 3.256 Benih Bening Lobster (BBL) hasil sitaan. Lokasinya di Selat Madura, tepatnya di perairan sekitar Pulau Lusi, Sidoarjo. Pada pertengahan bulan ini KKP kembali melepasliarkan 147.383 BBL hasil sitaan di zona inti Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kota Padang, Sungai Pisang, Sumatra Barat.
Hal itu membuktikan bisnis illegal benih lobster masih tetap berjalan walaupun Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menghentikan sementara kebijakan ekspor benih lobster pasca dilantik Presiden menggantikan Edhy Prabowo. Sebelumnya, ekspor benih lobster sempat dilarang pada era Susi Pudjiastuti, tapi larangan itu dicabut pada saat Edhy Prabowo menjabat Menteri KKP.
Sejak adanya larangan ekspor benih lobster yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 Tahun 2016, fakta di lapangan terjadi penangkapan BBL secara massal. Pengamatan penulis apa yang terjadi di sepanjang pantai selatan Jawa Timur seperti Pacitan, Trenggalek, Banyuwangi, Tulungagung dan Jember terjadi penangkapan benih lobster secara besar besaran.
Ribuan sarana dan prasaran penangkapan benur didatangkan pemilik modal, juragan kapal untuk memberdayakan nelayan. Ada yang diberi perahu jukung lengkap dengan jaring, lampu celup, genset seperti di Grajagan, Pancer Banyuwangi maupun di Bandealit, Puger, Payangan Kabupaten Jember. Ada pula berupa rakit yang dimodifikasi menjadi keramba apung dilengkapi genset untuk sarana penerangan di atas maupun di bawah air sebagai pemikat benur seperti yang digunakan nelayan di Desa Panggul, Sudimoro, Ngadirojo, Tulakan Kabupaten Pacitan serta di Popoh, Sinai Kabupaten Tulungagung serta di Klatak, Prigi, Munjungan di Kabupaten Trenggalek.
Peredaran uang dari transaksi benur ini diprediksi ratusan miliar per hari. Jawa Timur salah satu penghasil BBL terbesar setelah Nusa Tenggara Barat dengan kapasitas produksi sekitar 5000.000 ekor per hari dengan keterlibatan sekitar 4000 nelayan benur yang direstui Dinas Kelautan dan Perikanan Jatim maupun di KKP. Di saat bulan purnama jumlahnya bisa meningkat dua kali lipat. Penghasil BBL lainnya Jawa Tengah (Cilacap), Jawa Barat di pesisir Ciheras, Kecamatan Cipatujah, Garut dan Tasikmalaya serta Sukabumi.
Walaupun dilarang, penangkapan BBL tidak pernah berhenti. Setiap malam pesisir selatan di sentra sentra BBL suasananya seperti pasar malam. Sepanjang pantai dipenuhi gemerlap lampu penerangan dari perahu maupun rakit/bagan.
Harganya masih memikat para nelayan benur, di tingkat petani harganya 5-7 ribu per ekor. Bakul kecil 8-9 ribu, bakul besar 10-11 ribu, pengepul 12-15 ribu. Untuk jenis lobster pasir (Panulirus Homarus), sedangkan untuk jenis mutiara (Panulirus Ornatus) di tingkat pengepul harganya 25-30 ribu per ekor dibeli dari nelayan hanya 12-15 ribu per ekor. Bakul dan pengepul akan membayar BBL lebih mahal hasil tangkapan nelayan jika ada pengedar atau kurir yang tertangkap aparat.
Kalkulasi eksportir per ekor benur sampai di Vietnam negara tujuan ekspor menghabiskan Rp 25.000 dan harga di Vietnam 70.000 VND untuk jenis pasir atau sekitar Rp 42.700, benih lobster mutiara keuntungannya lebih besar lagi. Pasaran mutiara 300.000 VND per ekor atau sekitar Rp 183.000.
Dengan keuntungan yang menggiurkan ini mafia benur berusaha untuk terus melanjutkan usaha ilegalnya. Ulah mafia berhasil menggagalkan penjualan benur ke Vietnam secara legal. Sebab mereka dirugikan dengan adanya izin ekspor dan menyebabkan harga benur terjun bebas di bawah 1 dolar selama ekspor benur diijinkan.
Kaki tangan bandar benur disebar untuk bisa mendapat benur sebanyak-banyaknya. Para nelayan diberi modal untuk membuat sarana tangkap termasuk jaring dan genset, perahu, keramba apung/bagan maupun lampu celup senilai Rp30-35 juta perorang. Dengan syarat hasil tangkapan harus diserahkan ke pemberi modal dengan harga yang sudah ditentukan.
Tidak hanya mafia kelas atas diuntungkan dengan perdagangan gelap benih lobster. Pengepul juga berkiprah. Pembeli ditawari dengan beberapa opsi. Jika ingin diprioritaskan calon pembeli diminta dana kerjasama investasi Rp 100-200 juta dan dipastikan mendapat benur dengan harga di bawah pasaran. Dijamin benur yang dibeli aman sampai di tempat tujuan (Kediri, Surabaya, Jakarta, Batam, Medan, Denpasar, Yogyakarta). Sementara pembeli bebas harus berebut untuk mendapat benur dengan harga umum dengan resiko ditangkap aparat, barangya disita dan diperkarakan di pengadilan.
Nelayan paling diuntungkan dengan kondisi ini. Mereka bebas menangkap benur tanpa khawatir ditangkap atau diperkarakan. Alat tangkap bebas dilabuh di kolam dermaga milik Pemprov Jatim tanpa pernah diusik oleh aparat Keamanan Laut Terpadu (Kamladu) yang menempati kantor atau penjagaan di pelabuhan. Hasil tangkapan semalam rata rata nelayan bisa mengantongi Rp 250-300 ribu. Penghasilan yang fantastis dibanding ketika masih menjadi nelayan tangkap dengan pendapatan Rp 75-100 ribu per hari. Dampak dari alih profesi dari nelayan tangkap ke nelayan benur, pemilik kapal ikan atau juragan kapal kerap mengeluh susah mencari ABK.
Pemerintah kurang tanggap dan tidak tegas menjalankan regulasi yang dibuatnya sendiri. Persoalan BBL ini kuncinya ada di hatchery atau membuat pembenihan sendiri serta menggalakkan budidaya lobster sehingga tidak lagi tergantung dari benih dan lobster tangkapan alam. Regulasi bagi eksportir BBL untuk melibatkan pembudidaya sebetulnya sudah ideal tetapi tidak dijalankan secara konsisten.
Bagi mafia benur yang sudah menguasai peredaran dan mempunyai jaringan tampaknya lebih menikmati jika benur tetap dilarang diekspor. Kita tunggu kiprah Nakhoda baru KKP melamawan atau berdamai dengan mafia benur.
*Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan