Machfud Bangga Surabaya Kota Multi Kultural
Kota Surabaya diibaratkan sebagai sebuah mangkuk berisi sup lezat, yang berisi berbagai racikan sayur. Ada kubis, wortel, buncis, kentang, daun seledri, jamur, kacang brenebon, ditambah irisan daging kecil kecil, daun bawang, serta saus sambal. Rasanya sungguh enak dan sedap. Sup lezat dan sehat ini enak disantap untuk sarapan, makan siang dan bahkan di malam hari.
Seorang kawan asal Canada, Laurel Aria Small ketika berkunjung ke Surabaya pada 1990 sempatbilang bahwa Surabaya bagaikan “a melting pot”, tempat melelehnya berbagai perbedaan. Kedua gambaran tersebut di atas tidak salah. Secara historis, Surabaya sejak dulu memang menjadi tempat dimana banyak etnis melebur jadi satu dalam gerak dan aktivitas.
Profesor Suparto Wijoyo, Dosen Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Airlangga (UNAIR) menjelaskan bahwa sungai Kalimas pernah menjadi sungai diplomasi, ajang percaturan beda bangsa dalam upaya perebutan dan pertahanan suatu wilayah. Tidak hanya masalah-masalah diplomatik, Kalimas dan kali Pegirian juga menjadi percaturan perdagangan antara saudagar-saudagar dari Timur Tengah, daratan China, Champa, Malaka dengan warga setempat.
Nama kampung Ampel Denta pun mencuat. Ampel Denta adalah kawasan pondok pesantren, dimana Raden Rahmad atau Sunan Ampel memulai kegiatan syiar agama Islam pada abad 15. Dalam perkembangannya, tidak hanya kegiatan syiar keagamaan saja yang berkembang, aktivitas perdagangan oleh para saudagar asing juga menghiasi geliat perekonomian lokal di kawasan diantara dua sungai itu: Kalimas dan kali Pegirian.
Pada abad 17 ketika pedagang Eropa melalui kongsi dagangnya, yang bernama VOC masuk ke Surabaya, komoditi perdagangan di Surabaya juga mulai beragam dan negara tujuan pun juga menyebar. Yakni ke Eropa. Rempah rempah, yang memang asalnya dari Maluku, sempat merapat dan mewarnai pergudangan Surabaya, kawasan Kalimas di utara Surabaya, sebelum dieksport ke Eropa.
Melalui undang undang wiekenstelsel, penguasa VOC membuat aturan, yang melokalisasi pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda, termasuk Surabaya. Kebijakan ini terjadi sejak pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740, orang Tionghoa tidak dibolehkan bermukim di sembarang tempat.
Targetnya adalah pemerintah kolonial bisa mencegah interaksi etnis Tionghoa dengan pribumi melalui aturan Wijkenstelsel dan Passenstelsel. Passenstelsel adalah peraturan yang mengharuskan orang Tionghoa membawa kartu pass jalan, jika mengadakan perjalanan keluar daerah. Aturan ini berlaku sejak 1816.
Bagi mereka, yang tidak mendaftarkan diri dan kedapatan tidak membawa kartu tersebut dalam perjalanan, dikenai sanksi hukuman atau denda 10 gulden. Sementara prosedur untuk mendapatkan sebuah kartu passenstelsel begitu sulit dan membutuhkan waktu panjang. Praktik ini mengakibatkan distribusi barang-barang dagangan dan komoditas pertanian dari daerah pinggiran ke kota atau sebaliknya jadi tersendat-sendat.
Percaturan perdagangan ini mewarnai Surabaya dan para pedagangnya berlatar belakang etnis yang berbeda beda. Mochamad Chotib, Ketua Pokdarwis Kampung Wisata Ampel, mengatakan bahwa meski Surabaya sempat dikotak kotak secara etnis: kampung Eropa di barat Kalimas dan kampung Timur Jauh (Vremdem Oosterlingen) yang meliputi Pecinan, Arab dan Melayu berada di timur Kalimas, namun secara sosial dan kultural keberagaman ini justru menjadi pembauran.
Di kawasan kota lama Surabaya, yang secara fisik teritorialnya masih dapat dikenali hingga sekarang: etnis apa mengelompok di kawasan mana, menjadi bukti panggung multikultural Surabaya di masa lalu. Panggung multikultural Surabaya ini bak menampilkan sajian harmonisasi orkestra yang terdiri dari beragam instrumen musik. Instrumen musik adalah analogi etnis di Surabaya.
Perang kemerdekaan pada tahun 1945 adalah contoh lain yang menjadi palagan keberagaman warga Surabaya. Siapa pun, dari asal manapun, ketika berada di Surabaya dan berjuang demi mempertahankan kedaulatan bangsa yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah arek arek Surabaya. Tidak pandang bulu, apa etnis mereka. Mereka membaur, menanggalkan ego etnisnya, berjuang bersama melawan penjajah yang hendak kembali bercokol di Tanah Air.
Siapa yang menyangka bahwa walikota Surabaya pertama pasca kemerdekaan adalah warga Surabaya dari etnis Batak. Ia adalah Radjamin Nasution, yang lahir di Kampung Barbaran Julu, Panyabungan, Mandailing, Tapanuli Bagian Selatan, Sumatera Utara tanggal 15 Agustus 1892. Radjamin Nasution menjadi walikota pertama Surabaya pada tahun 1945. Selain itu Radjamin juga pernah menjadi pejabat Walikota (Waarnemend Burgermeester) pada tahun 1942.
Menyimak fakta fakta sejarah yang ada, maka Surabaya ini sesungguhnya adalah rumah bagi bangsa Indonesia. Maka tak heran ketika di kota ini juga menjadi perhelatan keragaman etnis Indonesia, seperti yang dihelat oleh keluarga besar Batak dalam acara Pesta Bona Taon Raja Panjaitan Dohot Boruna Surabaya dan sekitarnya di Jalan Opak, Surabaya, Minggu, 23 Februari 2020.
Arek Surabaya Machfud Arifin menghargai hidupnya keberagaman di Surabaya. Warga Surabaya harus bangga dengan keberagaman etnis yang ada. "Surabaya itu memang kota multi kultur. Supaya diketahui oleh orang Surabaya, bahwa walikota pertama di Surabaya itu adalah Pak Radjamin Nasution, orang Batak," kata Machfud Arifin. Karenanya, siapa pun yang hidup di Surabaya dan mengaku sebagai arek Surabaya wajib merawat dan menjaga keberagaman yang ada sebagai wujud menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Advertisement