Macapat, Tradisi Maca Papat-Papat yang Dilupakan Zaman
Macapat. Macapat itu maca papat-papat (Macapat itu membaca empat (kata) empat (kata). Bentuknya adalah tembang. Pastinya, berbahasa Jawa halus. Saking halusnya, hanya orang khusus yang bisa melakukannya.
Macapat adalah tradisi yang sepi peminat. Sebab itu pelakunya bisa dihitung dengan jari. Sudah sepi peminat, pelakunya sedikit, acapkali masih diseret-seret dalam pemahaman salah kaprah. Dimasukkan dalam ranah SARA.
Merunut literasi yang pernah ada, macapat sejatinya adalah warisan para Wali. Wali Islam yang mencoba berdakwah melalui akulturasi budaya. Dakwahnya dalam bentuk tembang. Ketidakmengertian ini membawa generasi Indonesia ada yang menilai bila macapat sebagai sesuatu yang musyrik.
“Generasi muda banyak yang beranggapan macapat itu musyrik. Mereka tidak tahu bahwa yang menciptakan itu para wali yang digunakan untuk menyiarkan dakwah Islam melalui macapat,” kata Romo Projo Swasono, Abdi Dalem Keraton di sela pertunjukan Macapat Panggung Raras Budhoyo.
Raras Budhoyo adalah rangkaian acara Festival Kebudayaan Jogjakarta 2019. Venue-nya adalah lapangan Patmasuri, di Bantul. Dalam festival ini enam tembang macapat dibawakan langsung abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Romo Projo Swasono dan 9 orang lain dari Paguyuban Pamulangan Sekar Macapat.
Suasananya seperti tengah berada di alam lain. Mirip kejadian langka. Padahal saat itu berada di tengaj lapangan. Tembang macapat dilantunkan dengan halus tanpa sentakan. Salah satu yang ditembangkan adalah kidung pandonga murih raharjaning kawula Republik Indonesia. Isinya adalah sebuah harapan dan doa untuk kesejahteraan Indonesia.
Klop dengan pertemuan Joko Widodo dan Praboro Sabtu lalu?
Romo Projo tersenyum tipis. Macapat itu harapan, doa, dan seni suara yang menggunakan syiir basa Jawa yang harus terus dilestarikan dan disukai terutama kaum muda. Kenyataannya yang menggeluti kebudayaan ini mayoritas berumur 60 tahun ke atas.
Romo Projo berharap kepada generasi muda agar dapat melestarikan kebudayaan ini, dimulai dengan suka dulu, setelah suka baru belajar dengan konsisten untuk terus mempertahankan macapat ini. (*)