MA Tolak PK Moeldoko, Partai Demokrat: Demokrasi Terselamatkan
Ketua Dewan Kehormatan DPP Partai Demokrat, Hinca Panjaitan menyambut baik keputusan Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) yang tegas menolak Peninjauan Kembali (PK) Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko. Penolakan ini dianggap sebagai bentuk kemenangan dari keadilan dan penyelamatan demokrasi.
"Tepat hari ini, 10 Agustus 2023. Perkara ini telah diputus, Majelis Hakim Agung tolak Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Moeldoko. Keadilan dimenangkan dan demokrasi terselamatkan," kata Hinca dalam pernyataan tertulis, Kamis, 10 Agustus 2023.
Hinca yang aktif membentengi gugatan demi gugatan dari para 'pembegal' mengaku sudah bisa bernapas lega setelah MA memutuskan menolak PK tersebut.
"Saya yang sedari awal turut aktif membentengi partai dari gugatan demi gugatan oleh para pembegal, akhirnya kini sudah dapat bernapas lega," ujarnya
Hinca menyinggung tingkah laku Moeldoko dalam politik Tanah Air. Dia menyesalkan seorang jenderal menghabiskan waktunya untuk menjadi sosok pembegal dan penjegal.
Padahal, lanjut Hica, Moeldoko seharusnya bisa belajar dari banyak Purnawirawan (Purn) TNI yang berjuang dan bergerilya secara konstitusional pada sebuah partai politik (parpol).
"Entah itu untuk bergabung pada parpol tertentu atau membuat parpol sendiri. Shame on you (memalukan), Pak," sindirnya.
Hinca menjelaskan semua polemik ini bermula pada Februari 2021 di mana saat itu Demokrat telah menerima sinyal bahwa akan ada tragedi politik yang melibatkan beberapa orang penting, salah satunya Moeldoko.
"Ketua Umum kami, Mas AHY (Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono akhirnya mengirimkan surat kepada Istana untuk meminta konfirmasi dan klarifikasi Presiden atas adanya gerakan tersebut, namun sangat disayangkan, Istana tidak merespons sama sekali," ucap dia.
Tak ada responsnya dari Istana membuat Demokrat mengendus adanya upaya politik kotor. Hinca bahkan mengamini Demokrat sempat khawatir dengan upaya-upaya menjatuhkan Demokrat di bawah kepemimpinan AHY.
Tepatnya, 5 Maret 2022, di Deli Serdang, kata dia. sekelompok 'kader sakit hati' dan 'kader tak tahu diri' bersama-sama dengan orang-orang bayaran murah berkumpul di salah satu hotel. Mereka menyebut pertemuan hari itu sebagai Kongres Luar Biasa.
"KLB yang digelar secara instan tersebut pada akhirnya menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum. Sungguh abal-abal, mereka semua tampak seperti mahasiswa baru di kampus yang pertama kali mengikuti kongres suatu organisasi. Tidak ada taktik, sungguh miskin strategi," kata dia.
Setelah perhelatan KLB itu, Hinca sebagai Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat pun memutuskan mengambil langkah tegas. Salah satunya, dengan memecat para kader yang dianggap telah menyimpang dari kesetiaan partai dan mengakibatkan ketidakstabilan internal.
"Harus diakui, kader-kader yang harus saya pecat adalah individu-individu yang pada suatu masa pernah bersama-sama membangun partai. Namun, kesetiaan terhadap nilai-nilai partai adalah ujian yang tak terelakkan dalam perjalanan politik. Keputusan ini sekaligus menjadi peringatan bagi semua kader bahwa dalam medan politik yang kompleks, integritas dan kesetiaan pada prinsip adalah fondasi yang tak boleh digoyahkan," kata dia.
Hinca menekankan keputusan itu diambil karena Demokrat harus menghadapi upaya 'pembegalan' dengan serius. Apalagi, Demokrat merasa prihatin atas potensi keruntuhan demokrasi, yang paradoksnya bisa menghasilkan pemerintahan yang lebih melampaui keburukan masa orde baru.
Selain memecat kader yang dianggap berkhianat, Hinca menyebut Demokrat terus melakukan komunikasi intensif dengan para pemangku kepentingan seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam Mahfud MD) serta Menteri Hukum dan HAM (Menkumham Yasonna H Laoly).
"Untungnya, Pak Yasonna dan Pak Mahfud sedari awal tetap berdiri pada podium yang objektif. Saya menaruh hormat pada kedua orang tersebut. Tidak seperti rekannya di kabinet yang justru menjadi tukang begal," kata dia.
Selanjutnya, 31 Maret 2021, Yasonna tegas menolak permohonan pengesahan hasil KLB tersebut. Penolakan itu menggunakan AD/ART Partai Demokrat yang terdaftar dan disahkan di Kemenkumham pada 2020 sebagai rujukan.
"Sesungguhnya, sejarah dan legalitas adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam konteks ini. Partai Demokrat mengacu pada kongres resmi yang dihadiri oleh seluruh pemilik suara yang sah, yang secara tegas mengangkat AHY sebagai ketua umum. Kami tetap merapatkan barisan dan senantiasa siap melawan!" kata dia.
Hinca justru mempertanyakan alasan Moeldoko ngotot ingin 'membegal' Partai Demokrat. Padahal, kekalahan Moeldoko dalam perebutan Demokrat bukan sekali dua kali terjadi, melainkan sudah 16 kali.
"Sudah tercatat 16 kali Moeldoko alami kekalahan di pengadilan. Fenomena ini memicu tanya, apa yang mendorong kegigihan dalam mengajukan gugatan meskipun kekalahan telah jelas menyertai?" kata dia.
"Pada 10 Agustus selain menjadi hari yang bersejarah untuk pribadi Mas AHY, yang sedang berulang tahun, juga menjadi tonggak sejarah bagi Partai Demokrat yang selamat dari upaya-upaya kampungan para pembegal dan penjegal partai. Horas," kata Hinca.