Luka Lama Teroris di Lampung
Oleh: Djono W. Oesman
Baku tembak Densus 88 Polri lawan terduga teroris di Lampung, dua teroris tewas, satu polisi luka parah. Empat teroris lainnya ditangkap. Senjata yang disita, senapan serbu M16, Thompson, revolver, amunisi. Senjata perang semua.
—---------
Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri, Kombes Aswin Siregar kepada wartawan, Kamis (13/4/2023) mengatakan, mereka diduga kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Mereka terafiliasi dengan teroris Bom Bali I, Zulkarnaen alias Aris Sumarsono.
Aswin: "Keterlibatan mereka adalah tergabung dengan jaringan Jamaah Islamiyah yang sebelumnya terafiliasi dengan kelompok Zulkarnain dan Upik Lawanga. Mereka yang menampung buron Bom Bali itu.”
Ditarik mundur, pada 2002 Bali dibom teroris. Para pelakunya sebagian sudah dihukum mati. Di antara pelaku, ada yang lolos. Dialah Aris Sumarsono alias Zulkarnaen, pimpinan Askari Markaziah Jamaah Islamiah.
Zulkarnaen juga arsitek kerusuhan di Ambon, Ternate, dan Poso pada 1998-2000. Juga otak peledakan kediaman Dubes Filipina di Menteng pada 1999. Juga, terlibat dalam peledakan gereja serentak pada malam Natal dan tahun baru 2000 dan 2001 Juga, Bom Marriott pertama pada 2003, Bom Kedubes Australia 2004, Bom Bali II pada 2005.
Zulkarnaen ditangkap Kamis, 10 Desember 2020, pukul 19.30 WIB di Kabupaten Lampung Timur, Lampung. Ia ditangkap setelah jadi buron selama 18 tahun.
Sebelum Zulkarnaen ditangkap, teroris Upik Lawanga alias Taufik Bulaga ditangkap pada Rabu, 23 November 2020. Lokasi penangkapan di Lampung juga. Setelah buron 14 tahun.
Upik Lawanga perakit bom di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton. Juga, bom Solo dan Cirebon.
Mereka berdua bisa buron belasan tahun karena disembunyikan oleh generasi muda Jamaah Islamiyah di Lampung. Antara lain, enam teroris yang diburu Densus 88 di Lampung itu.
Jadi, tidak ada kelompok teroris baru. Mereka kelompok lama, tapi pelakunya generasi baru. Hasil binaan para senior teroris yang dulu meledakkan banyak tempat di Indonesia, selama 21 tahun lalu.
Aswin menjelaskan, enam terduga teroris itu diburu dalam dua hari, Selasa, 11 April 2023 dan Rabu, 12 April 2023 di dua tempat berbeda di Lampung.
Penggerebekan hari pertama, lancar. Empat terduga teroris ditangkap. Penggerebekan ke dua, malam hari, lokasi di kawasan hutan register di Kabupaten Pringsewu dan Kampung Sendang Baru, Kabupaten Lampung Tengah. Inilah yang terjadi baku tembak.
Dua terduga teroris yang tewas adalah NG alias BA alias SA. Dan ZK. mereka tewas dalam baku tembak.
Dalam baku tembak itu, seorang anggota Densus 88 kena tembakan di perut. Cukup parah. Kini dirawat di rumah sakit yang tidak disebutkan lokasinya.
Empat terduga teroris yang ditangkap adalah PS alias JA, H alias NB, AM, dan KI alias AS. Kini mereka diproses.
Peran para terduga teroris, dijelaskan Aswin, begini:
NG alias BA adalah sentral buruan. Ia anggota JI sudah menjadi buron sejak 2016.
Aswin: “Yang bersangkutan menyimpan senpi, kemudian dalam kegiatannya NG alias BA ini membuat bunker, sebagai tempat persembunyian sekaligus pembuatan senjata rakitan.”
Lainnya, PS alias JA anggota JI kerap melakukan kegiatan terorisme bersama BA. Sementara tersangka ZK berperan menyimpan dan menyembunyikan senjata serbu M16, Thompson, revolver, yang sudah lama dicari kepolisian.
Lainnya, H alias NB merupakan DPO dalam konflik Poso yang kemudian bergabung dengan kelompok ini.
Sedangkan, AM dan KI sebagai anggota JI yang mempersiapkan rencana teror dengan menggunakan senjata api.
Mengapa banyak teroris ditangkap di Lampung?
Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan kepada pers mengatakan, para teroris menganggap Lampung sebagai lokasi strategis untuk persembunyian. Pergerakan masyarakat antara Pulau Jawa dengan Sumatera pasti lewat Lampung. Sehingga Lampung jadi tempat persinggahan masyarakat.
Kwn Setiawan: "Lampung itu miniatur Indonesia. Semua suku di Indonesia ada di sana. Masyarakatnya individual. Sampai-sampai ada tetangga baru berbulan-bulan tidak kenal karena tidak bertegur sapa.”
Kondisi sosial itu jadi persembunyian aman buat teroris.
Dilanjut: “Juga, mengingat di Lampung ada sisi kelam dianggap kelompok teroris sebagai lokasi pembantaian terhadap umat Islam pada peristiwa Talangsari.”
Yang dimaksud Ken adalah Tragedi Talangsari. Terjadi 7 Februari 1989. Lokasi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah).
Dikutip dari Perpustakaan Komnas HAM, bertajuk: "Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat" (2014) disebutkan, peristiwa itu dampak penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru.
Aturan ini termanifestasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
Komnas HAM yang memegang mandat sesuai Undang-undang no 39 tahun 1999 tentang HAM membentuk tim pemantauan peristiwa Talangsari dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana.
Komnas HAM menyatakan, Tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa.
Waktu itu ABRI (kini TNI) juga membakar seluruh perabotan rumah warga sehingga situasi saat itu sangat mencekam.
Dulu, dusun itu sempat disebut sebagai Dusun Mati dan orang-orang yang tinggal di sana mendapat sebutan sebagai "orang lokasi" sehingga mendapat diskriminasi dari penduduk sekitar. Tapi sejak satu dekade terakhir, tidak lagi.
Tragedi itu terjadi karena Warsidi membikin kelompok pengajian. Kemudian berkembang jadi pondok pesantren. Kelompok ini menolak asas tunggal Pancasila. Sudah ditegur pihak kelurahan, kemudian juga pihak kecamatan, mereka membandel. Mereka hidup eksklusif di Dusun Talangsari III, kawasan hutan. Tidak berbaur dengan masyarakat sekitar.
7 Februari 1989 Muspika dipimpin Danramil Kapten Soetiman, mendatangi pesantren itu, bermaksud diajak dialog. Tapi, kelompok Warsidi langsung menyerang rombongan dengan panah beracun. Kapten Soetiman yang berada di baris depan, langsung kena panah. Tewas di tempat.
ABRI sangat marah. Esoknya, Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung, Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan terhadap kelompok Warsidi. Lokasi kelompok Warsidi yang eksklusif itu diserbu habis.
Ratusan orang tewas. Warsidi lari, kemudian jadi buron.
Kasus ini ruwet tanpa penyelesaian. Terbaru, 20 Februari 2019, terjadi deklarasi damai Talangsari yang diinisiasi oleh Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Deklarasi ini dilakukan di Dusun Talangsari, Lampung Timur, dihadiri oleh anggota DPRD Lampung Timur, Kapolres, Dandim, Kepala Desa Rajabasa Lama, dan Camat Labuhan Ratu. Isi dari deklarasi tersebut adalah agar korban Talangsari tidak lagi mengungkap kasus tersebut karena telah dianggap selesai oleh pemerintah dengan kompensasi berupa pembangunan jalan dan fasilitas umum di Lampung.
Tapi masyarakat setempat yang jadi korban masih tidak terima. Alasannya, pembangunan jalan adalah tanggung jawab negara. Sedangkan mereka terdiri dari para individu, minta ganti rugi langsung.
Setelah itu tidak ada kelanjutan lagi.
Jadi, ada ‘luka lama’ di Lampung. Luka 34 tahun silam. Dalam perspektif negara jaman Orde Baru yang otoriter, itu akibat pembangkangan warga negara. Setelah rezim berganti, ‘luka’ itu belum terobati. Maka, Lampung jadi sarang teroris.
Betapa pun, kini Indonesia relatif aman dari terorisme. Setidaknya, tidak ada pengeboman lagi. Terakhir, pengeboman Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, 29 Maret 2021.
Penulis adalah Wartawan Senior
Advertisement