Luhut Pandjaitan, Sang Pembawa Pesan
Nama Menko Maritim Luhut B. Pandjaitan kembali jadi perbincangan hangat. Masih tak jauh dari pasca penghitungan cepat Pilpres. Dialah sang pembawa pesan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih Pak Luhut membuka pintu. Tentu saja, “mengetuk” hati Pak Prabowo, pemilik rumah Kartanegara. Agar sudi berkomunikasi dengan mantan Gubernur DKI ini.
Jamak, sang utusan harus dikenal kedua belah pihak. Dia juga harus dipercaya. Karena akan jadi jembatan keduanya.
Sebelum Pak Luhut jadi pembantu Pak Jokowi, mereka sudah berkongsi bisnis kayu. Kini dia tameng dan pembela Pak Jokowi. Jika ada komentar tokoh yang menyerang pemerintah, dia yang pertama bersikap.
Dia sigap bergerak. Dari perseteruan dengan Pak Amien Rais hingga mengklarifikasi statemen Pak Prabowo selama musim kampanye lalu. Semua dijawab.
Menurutnya, Pak Jokowi panutan ideal bagi seluruh anggota kabinet. Karena tidak adanya kepentingan bisnis keluarga Presiden. “Bisnis anaknya martabak dan pisang, dan itu non government business semua," katanya di beberapa pertemuan.
Dengan Pak Prabowo, dia akrab sejak muda. Pak Luhut senior di tentara. Mereka bahu-membahu membangun pasukan anti teror pertama di TNI.
Jadi fungsi Pak Luhut pas sepertinya. Dia memang hanya pembawa pesan. Tapi, dia akan memastikan pesan diterima dengan benar. Tidak menimbulkan multi tafsir.
Tentu saja, karena mengenal keduanya, dia bisa menyadap pikiran, pilihan kata, hingga menterjemahkan bahasa tubuh mereka. Pasti juga akan hapal, pilihan kata yang mencerminkan isi hati. Apakah sedang marah, gundah, atau bahagia.
Harapannya, pesan dipahami maksimal. Respon baliknya dimengerti. Bisa jadi, belum ada tawaran apa pun di sini.
Tujuan utamanya, hanya satu. Memastikan, pertemuan Pak Jokowi dan Pak Prabowo terjadi. Agar demam di urusan politik ini, reda secepatnya.
Jadi fungsi Pak Luhut pas sepertinya. Dia memang hanya pembawa pesan. Tapi, dia akan memastikan pesan diterima dengan benar. Tidak menimbulkan multi tafsir.
Yang pasti, Pak Luhut memang fenomenal. Banyak yang suka hingga benci setengah mati. Biasanya itu tergantung preferensi politik tiap pribadi. Ya, normal-normal saja.
Pak Fadli Zon, Wakil Ketua DPR itu, salah satunya. Dia berulang kali di media, menyebut Pak Luhut sebagai the real president. Walau ini tidak begitu pas. Karena masih ada Pak Jusuf Kalla di samping Pak Jokowi.
Keduanya yang dipilih rakyat. Bukan menteri yang dipilih. Politisi senior asal Makasar ini sudah kenyang makan asam garam pertarungan politik.
Matang di pemerintahan, juga saudagar kaya. Komplit. Tak bisa dipandang sebelah mata. Berulang kali, Pak Luhut menuturkan betapa kompaknya Pak Jokowi dan Pak JK.
Banyak yang melihat, kuasa Pak Luhut besar. Karena dia memang lihai memaksimalkan pengaruh atas kuasa yang diberikan kepadanya. Tentu, dia berlandas pada jiwa korsanya, sesuai slogan Kopasus: Berani, Benar, Berhasil.
Tapi, setiap kata akhir, tentu saja ada di Pak Jokowi. Pak Luhut memahami hal ini. Tidak akan berani melewati garis perintahnya. Atau mengambil keputusan di luar tugas yang diberikannya.
Banyak yang melihat, kuasa Pak Luhut besar. Karena dia memang lihai memaksimalkan pengaruh atas kuasa yang diberikan kepadanya.
Oh ya, kelihaian Pak Luhut mengelola kuasa ini, bisa dilihat dari hal sederhana. Jumlah tamu yang bertandang ke kantornya. Untuk minta saran dan bantuan tentu saja.
Saat dia ditunjuk sebagai Kepala Staff Kantor Kepresidenan, kantornya di Bina Graha, ramai sekali. Tamunya antre. Saat posisi itu berganti ke Pak Teten Masduki, suasana kantor berubah 360 derajat. Tamu berangsur sepi.
Saat mantan Menteri Perdagangan di era Gus Dur ini bergeser menjadi Menkopolhukam, kantor itu kembali semarak. Parkiran mobilnya yang sempit itu, makin susah menampung mobil. Tamunya hilir mudik. Dari para menteri, petinggi TNI & Polri hingga para politisi.
Kini, di posisi sebagai Menko Maritim, tamu juga membanjiri. Kadang, karena saking banyaknya, mereka digabung. Ikut makan siang bersamanya.
Saat makan siang itulah, dia menanyakan masalah apa yang dihadapi para tamu. Satu persatu. Mencoba membantu.
Biasanya, setelah tahu pokok masalah, sambil masih mendengarkan tamunya berbicara, dia sudah bergerak. Meminta ajudannya mengangkat telpon. Saat tamu selesai bicara, Pak Luhut sudah tersambung di telepon.
Berbicara dengan orang yang dianggapnya bisa menyelesaikan masalah itu. Biasanya percakapan telepon tak lama. Dia pintar memilih kata. Cepat, senyap, tepat.
Sebenarnya, saat masih jadi pengusaha, dia pun sudah banyak tamu. Termasuk duta besar atau kalangan diplomat. Bahkan, Pak Jokowi yang masih Wali Kota Solo itu pun harus ikut antre.
“Pak Jokowi dulu kalau datang ke kantor saya, dia yang nunggu. Saya bilang, Mas Joko, tunggu sebentar saya masih rapat,” cerita Pak Luhut dalam acara deklarasi dukungan Alumni Theresia di Hotel Alila Pecenongan, Jakarta pada Sabtu, 23 Februari 2019.
Berbicara dengan orang yang dianggapnya bisa menyelesaikan masalah itu. Biasanya percakapan telepon tak lama. Dia pintar memilih kata. Cepat, senyap, tepat.
Terkait tugasnya dari Pak Jokowi, di media sosialnya, Pak Luhut menjelaskan dia bukan utusan. Dia sudah berkomunikasi dengan Pak Prabowo, sebagai teman. Lewat telepon.
“Kami janjian makan siang pada Minggu lalu (21/4). Namun ditunda karena Pak Prabowo sedikit kurang sehat. Dan pertemuan akan dijadwal ulang,” tulisnya.
Pak Luhut juga mengambarkan, obrolan mereka gembira, ceria, tidak ada beban sama sekali. “Itulah tone suara Prabowo yang saya kenal,” tambahnya.
Bicara tentang telpon dan keakraban keduanya, kita bisa membaca kesaksian Wahyu Muryadi, wartawan Tempo. Wahyu menulis, Pak Luhut bahkan memanggil Pak Prabowo dengan panggilan akrabnya, “Wok”.
Wahyu, menyaksikan percakapan telepon itu terjadi di Wasington DC, 18 April 2018, sekitar pukul 07.30 pagi. Di sela-sela acara pertemuan musim semi IMF-World Bank.
Masih dalam tulisannya, Pak Luhut mengaku dia mengingatkan Pak Prabowo tentang patriotismenya, idealismenya sebagai prajurit, dan kecintaanya kepada tanah air. “Saya ingin beliau jadi bagian dari sejarah Indonesia, bahwa demokrasi dibangun juga dari leadershipnya,” tulisnya lagi.
Dan ini salah satu kekhasan Pak Luhut. Dia pandai memuji lawan bicaranya. Menyebut Pak Prabowo penuh dengan idealisme, jiwa patriot. Sehingga tidak akan merusak demokrasi.
Dan ini salah satu kekhasan Pak Luhut. Dia pandai memuji lawan bicaranya. Menyebut Pak Prabowo penuh dengan idealisme, jiwa patriot. Sehingga tidak akan merusak demokrasi.
“Justru kalau sudah bicara nasionalisme, kepentingan nasional, demokrasi di Indonesia, Beliau pasti berpikir jernih mana yang terbaik untuk Republik,” ungkapnya.
Idealnya, pertemuan Pak Jokowi dan Pak Prabowo terjadi saat masa tenang Pemilu. Menurunkan tensi politik. Sayangnya, itu tidak terjadi.
Mungkin, bisikan di sekeliling keduanya yang menghalangi. Atau saling menjaga gengsi. Entahlah.
Tentu saja, pertemuan keduanya kini makin dinanti. Diyakini bisa jadi jadi peredam kegaduhan. Menurunkan gesekan.
Keduanya bisa saling bersepakat mengawal suara. Bersama mengawasi kerja KPU. Kalau ada potensi kecurangan harus ada penyelesaian.
Bisa jadi, pertempuran akan berlanjut ke sidang di Mahkamah Konstitusi. Karena dalam proses demokrasi, satu suara sangat berarti.
Ajar Edi, Kolomnis Ngopibareng.id
Advertisement