Lucunya Pagar, Alat Pemutus Silaturahmi!
Sebut saja Pak Fulan. Pola hidupnya sederhana. Orangnya ramah, sebagaimana umumnya warga kampung dia.
Istrinya suka kumpul dgn ibu2 sekitar. Anak-anaknya juga bermain bebas dgn bocah sekampung. Teras rumahnya pun biasa dipakai main pingpong para tetangga.
Suatu masa kekayaan Pak Fulan meningkat. Dia memagari rumahnya sangat tinggi. Sampai pol mentok atap. Tertutup rapat.
Lalu tak ada lagi interaksi dgn warga sekitar. Tak ada lagi orang ke rumah dia. Dan anak-anaknya pun dibatasi tak boleh keluar. Seolah semua orang di luar pagarnya adalah ancaman.
Para tetangga menjadi tak tahu bagaimana kondisi keluarga itu. Hingga suatu hari ada ambulance datang. Ternyata istri pak Fulan meninggal dunia.
Tak jauh beda dgn Bu Fulanah. Dia penduduk desa yg tinggal di pinggir jalan. Bu Fulanah punya banyak saudara. Sehingga keponakannya banyak. Kerabatnya itu suka berkunjung di rumahnya. Karena bisa didolani setiap kali orang lewat depan rumahnya. Tinggal membelokkan motor gitu aja.
Suatu hari suami Bu Fulanah memasang pagar. Selalu tertutup rapat pagar itu. Orang harus memencet bel atau memukul pagar jika ingin bertamu. Itupun belum tentu (cepat) dibukakan. Karena bisa jadi tidak terdengar si tuan rumah.
Jadilah para saudaranya kesulitan kalo hendak berkunjung. Dan akhirnya kerabatnya malas ke rumahnya. Entah dia sakit atau mati tak ada lagi yg tahu kabarnya.
Sungguh, betapa banyak orang hidup dalam ketakutan. Setiap saat cemas merasa terancam. Dan menganggap pagar adalah cara menjamin rasa aman. Padahal sama sekali bukan. Justru bertolak belakang.
Kali ini, Amrin Pembolos cuma merenung kisah yang disampaikan Ichwan dari Semarang. Tokoh humor kita tak lagi bisa ketawa-ketawa. Tapi dalam hatinya ia berkata: manusia memang suka lucu dengan kekonyolan sikapnya.