LPBINU Ajak Masyarakat Dukung Penanganan Perubahan Iklim
Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) mengajak Nahdliyin (warga NU) untuk mendukung upaya penanganan perubahan iklim.
Upaya tersebut, menurut Pegurus LPBINU Hijroatul Maghfiroh guna menciptakan solusi efektif menyelamatkan Bumi dari krisis ekologi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan bekerja keras memperkuat solidaritas antara pembangunan dan negara maju, untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, serta mempromosikan nilai-nilai etika bersama mengatasi krisis kritis ini.
"LPBINU mengajak warga NU pada umumnya, bersama-sama melakukan ikhtiar mitigasi pengurangan dampak perubahan iklim. Meskipun yang kita lakukan sekarang tidak spontan mengubah tingkat kepanasan Bumi, tetapi paling tidak bisa menurunkan atau menstabilkan suhunya sampai puluhan tahun ke depan. Sehingga Bumi masih bisa layak untuk ditinggali oleh anak-cucu kita kelak,” kata Project Manager Lingkungan Hidup LPBINU itu, Kamis 6 Oktober 2021.
Aksi nyata lainnya yang bisa dilakukan masyarakat, lanjut dia, yaitu dengan menekan pola konsumsi yang berlebihan dan mengurangi produksi sampah dengan menerapkan prinsip 3R (Reuse, Reduce, dan Recycle) serta tindakan-tindakan lain yang sekiranya dapat memberikan dampak langsung terhadap perbaikan kualitas lingkungan dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).
Penggerak Masyarakat Minimalisir Sampah
“Kita bisa menjadi penggerak masyarakat untuk meminimalisir dan mengolah sampah, sehingga sampah tidak berakhir di laut yang akan membunuh biota laut, atau di sungai yang akhirnya menyebabkan banjir,” jelas Firoh, sapaan akrabnya, dilansir NU-Online.
Karena baginya, Indonesia merupakan negara yang sangat beruntung karena memiliki wilayah hutan tropis yang sangat luas.
Akan tetapi, sayangnya, hutan di Indonesia terdegradasi akibat pembalakan liar, perambahan hutan, pengurangan kawasan hutan (deforestasi) untuk kepentingan pembangunan dan penggunaan lahan yang dilakukan dengan masif dan tidak didasarkan pada prinsip keberlanjutan.
Ketika Hutan Rusak dan Dirusak
Hutan menjadi rusak dan tidak dapat lagi menyerap karbon dengan baik.
"Jumlah hutan yang semakin menyusut ditambah dengan produksi emisi yang semakin banyak membuat atmosfer bumi panas dan mempercepat terjadinya perubahan iklim,” ujarnya.
Padahal, terang dia, yang mampu menyerap zat-zat karbon salah satunya adalah oksigen dari pepohonan. Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa, polusi udara dari kendaraan bermotor bensin (/spark ignition engine/) menyumbang 70 persen karbon monoksida (CO), 100 persen plumbum (Pb), 60 persen hidrokarbon (HC), dan 60 persen oksida nitrogen (NOx).
Nitrogen oksida (NOx) adalah senyawa gas yang terdapat di udara bebas (atmosfer) yang sebagian besar terdiri atas nitrit oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta berbagai jenis oksida dalam jumlah yang lebih sedikit.
Bahkan, di beberapa daerah yang tinggi kepadatan lalu lintasnya menunjukkan bahan pencemar seperti Pb, Ozon (O), dan CO telah melampaui ambang batas yang ditetapkan dalam PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
"Jadi mitigasi terhadap perubahan iklim yang harus banyak dilakukan adalah mengurangi produksi karbondioksida dan zat-zat lain yang memicu efek rumah kaca, dan meningkatkan produksi oksigen dengan memperluas hutan bukan malah menguranginya apalagi megalihfungsikan hutan,” terangnya.
“Mengurangi produksi karbondioksida itu sederhana. Misalnya, menggunakan transportasi umum itu bagian kecil yang bisa kita lakukan. Kemudian, jika tidak mampu melakukan reboisasi, penanaman pilihannya dengan tidak merusak hutan/pepohonan,” imbuh dia.
Advertisement