Lontong Roomo, Makanan Zaman Wali yang Dicari Kala Ramadhan
Lima rupiah. Sudah tak ada lagi pecahan rupiah ini. Paling kecil saat ini adanya pecahan 100 rupiah. Seratus rupiah itu pun sudah jarang berfungsi. Sering terlihat keleleran di aspal jalan. Entah jatuh, entah sengaja dibuang. Tak ada pula yang mengambilnya.
Coba tarik agak panjang ke belakang. Di tahun 1975. Lima rupiah itu betapa sangat berharganya. Andaikan jatuh di jalan, niscaya orang berebutan menjangkaunya. Sikut-sikutan. Boleh jadi juga saling tendang untuk mengambilnya.
Di tahun itu, kata Nasyiah, lima rupiah sudah dapat sepiring Lontong Roomo. Makanan legendaris yang konon munculnya atas petunjuk seorang Wali. Sepiring tentu sudah membuat kenyang. Tapi bagi pekerja berat, kuli angkut, manol, tukang pikul, harus menambahnya sepiring lagi. Agar makin kenyang, supaya makin kuat. Itu artinya, dia harus mengeluarkan 10 rupiah.
Tahun 1975 itu Nasyiah sudah berjualan Lontong Roomo. Berkeliling kampung dan jalan raya. Menjaring pembeli untuk mendapatkan rupiah. Mata pencarian satu-satunya, untuk menghidupi satu keluarga.
Tahun 2019 ini Nasyiah genap 62 tahun. Masih tetap berdagang Lontong Roomo. Tapi tidak 5 rupiah lagi. Sepiring kini 8 ribu rupiah. Kalau nambah lontong atau nasi dan bumbu menjadi 10 ribu rupiah.
Nasyiah sudah tak kuat berkeliling kampung, juga jalan raya. Apalagi berteriak-teriak menjajakan dagangan. Usianya sudah sepuh. Kakinya suka kesemutan kalau berjalan jauh. Sebab itu dia memilih manggrok di ujung gang Desa Roomo. Tetap setia dengan panganan lontong petunjuk Wali.
Berjualan di gang menghadap jalan raya sudah pasti cukup menarik perhatian. Pelanggan banyak. Bukan pelanggan malah jauh lebih banyak lagi. Karena merasa penasaran adanya tuah dari Wali yang tersemat permanen dalam sepiring santapan lontong. Lapak pun kian ramai, hingga petaka itu datang. Meski sudah berada di pinggir gang, di pinggir jalan, tetap saja ada motor yang nekat nyelonong.
Nasyiah patah kaki dalam kecelakaan itu. Lapak tutup. Delapan tahun dipaksa off total dari dunia perlontongan karena keadaan. Sementara anak-anaknya tak ada yang sanggup memilih jalan lontong.
Seiring kesembuhan patah kakinya, Nasyiah mencoba bangkit lagi dengan Lontong Roomo-nya. Tapi kali ini tidak di jalan raya lagi. Melupakan mulut gang yang mampu menghadirkan banyak pelanggan. Nasyiah memilih berjualan di rumah.
Setelah 8 tahun berhenti berjualan, praktis peralatannya silang sengkarut. Tak sedikit bahkan yang ketlingsut. Lainnya rusak berat. Tentu ini menyesakkan. Sudah pasti butuh modal cukup besar untuk sekadar buka warung lontong di rumah.
Di tengah kegaluan antara lanjut dan tidak berekonomi dengan Lontong Roomo, Nasyiah mendapatkan stimulan modal hingga perlengkapan berjualan. Alat memasak, tenda pelindung, dan seterusnya. Lontong Roomo pun hidup lagi.
Memang tak sesemarak seperti berjualan di jalan raya. Apalagi delapan tahun sudah tak lagi berjualan. Pelanggan pun sudah pasti banyak brodol, dan kini harus memulai lagi dari awal. Lumayan, ini ramadhan. Makanan warisan Wali ini banyak yang cari.
"Pelanggannya sekarang orang dekat-dekat sini saja nak. Ada juga satu dua yang lawas. Tahu saya berjualan lagi mereka berusaha mencari ke sini. Hasilnya mang tak sebanyak dulu, tapi alhamdulilah lontong ini masih banyak yang mencari," terang Nasyiah.
Meski sudah delapan tahun berhenti berjualan, sementara usia makin uzur, Nasyiah tetap tak lupa dengan bumbu legenda Lontong Roomo. Pertama-tama adalah membuat bubur bumbu.
Adonan mirip bumbu gado-gado tapi lebih pekat. Inilah istimewanya Lontong Roomo. Dan biasanya, hanya orang-orang asli Roomo yang ahli membuat adonan bumbunya.
Kata Nasyiah, bumbu roomo aslinya tak banyak. Tapi khusus. Cara membuatnya juga khusus. Malah harus beriring doa agar berhasil seperti Lontong Roomo asli di zaman Wali. Hanya santan, diambil kanilnya saja. Ketumbar. Terasi. Udang. Lalu cabe merah besar.
Udang diuleg hingga halus, berikut bumbu lainnya. Lalu dibubur bersama tepung dan santan kanil. Hingga kalis, hingga kadar air sangat rendah. Tapi tak boleh sampai gosong di atas kuali. Inilah rahasianya. Baru kemudian menyiapkan material lain seperti lontong, rebusan pucuk daun mangrove dari jenis mangrove api-api, serundeng, kerupuk, hingga ulekan sambal.
Sajinya juga mirip gado-gado. Tapi sama sekali tidak mirip dengan lontong balap Surabaya. Apalagi tahu lontong ala Kediri, Blitar, dan Tulungagung. Juga lontong sayur Sumatera. Meski materialnya sama-sama perlontongan.
Yang sangat membedakan Lontong Roomo dengan lontong-lontong yang lain adalah topping bumbunya. Sepiring Lontong Roomo harus tertutup total oleh bumbu. Tidak boleh ada lontong, ada sayur, yang mencuat di atas piring tanpa tertutup bumbu. Sebab bumbu yang menutup total itu ibarat dunia langit. Dunia atas.
"Dunia langit tidak boleh terbuka. Tidak boleh ada yang bolong. Kalau terbuka akan ada hal-hal jahat yang bisa melewatinya. Sekali bisa lewat, Lontong Roomo tak lagi enak ketika disantap," pungkas Nasyiah tanpa lelah tanggannya menutup langit dengan adonan bumbu. (widikamidi)