Lone Wolf Todong Istana, Kasihan
Oleh: Djono W. Oesman
Penodong Istana Negara, Siti Elina (24) ingin melukai diri sendiri saat disidik. Maka, penyidik akan minta bantuan psikolog.
---------
Kondisi itu diungkap Kabag Banops Densus 88 Antiteror Polri, Kombes Aswin Siregar kepada pers, Jumat, 28 Oktober 2022. Dikatakan:
"Ada gelagat aneh. Pertama, dia cenderung diam. Tapi kalau diam saja, tidak berbeda dengan banyak tersangka lain. Tapi dia cenderung ingin melukai diri sendiri."
Maka, penyidik akan minta bantuan psikolog, memeriksa Elina.
Sebelum polisi mengungkap itu, publik sudah menduga begitu. Gelagat Elina saat ditangkap, Selasa, 25 Oktober 2022 pukul 07.00 tanda Elina kurang sehat mental. Masak, cara serang Istana Negara, begitu?
Dia bawa pistol. Pun, pistolnya tanpa peluru. Berarti bukan ancaman keamanan. Lebih gila dibanding Zakiah Aini, penerobos Mabes Polri, Rabu, 31 Maret 2021 sore. Pistol airsoft gun. Tidak mematikan.
Beda antara Elina dengan Zakiah, pada jarak. Antara titik mereka berdiri dengan petugas keamanan.
Zakiah sudah berada di dalam area Mabes Polri. Di depan gedung, tempat Kapolri berkantor. Terpantau kamera HP polisi yang berkantor di gedung lantai tiga, Zakiah mengarahkan pistol ke depan, mencari-cari sasaran. Gelagatnya jelas, penyerang.
Dari jarak jauh, polisi tidak bisa memastikan, pistol Zakiah jenis apa. Polisi tak mau spekulasi. Maka, dari jarak sekitar 100 meter, sniper menembak dia. Persis kena jantung. Tewas.
Beda dengan Elina, belum masuk area Istana Negara. Dia jalan kaki dari arah Harmoni, menyeberang jalan ke selatan. Lewat trotoar Medan Merdeka Utara. Mendekati pintu masuk Istana yang dijaga anggota Paspampres. Lalu Elina berhenti. Berdiri menghadap ke jalan raya. Membelakangi area Istana.
Seorang anggota Paspampres sudah mengamati Elina sejak menyeberang dari Harmoni. Bercadar hitam, jilbab hijau, kini celingukan. Maka, Paspampres secepatnya mendekati Elina. Penasaran.
Begitu antar mereka sudah sangat dekat, Elina mengeluarkan pistol dari tas. Menodong. Itu pistol milik paman Elina, pensiunan TNI. Jenis FN.
Paspampres pasti tahu, itu bukan pistol mainan. Jarak mereka sangat dekat.
Tapi, sebagai pasukan terlatih, petugas itu bergerak cepat menghindari moncong pistol. Bersamaan, merebut pistol. Langsung diperiksa: Tanpa peluru. Pastinya, petugas tercengang.
Elina selamat. Tidak jadi korban seperti Zakiah. Paspampres menyerahkan Elina ke petugas Polantas. Lalu digiring ke Polda Metro Jaya serta barang bukti.
Dari hasil penyidikan sementara, Elina punya guru ngaji, Jamaluddin. Mengajari Elina tentang Negara Islam Indonesia (NII). Suami Elina, Bahrul Ulum, bendahara NII Jakarta Utara.
Elina, Bahrul, Jamaluddin, sudah tersangka. Polisi menyatakan, mereka tidak ditahan. Cuma diamankan. Sampai 14 hari ke depan, untuk menentukan, apakah mereka jadi ditahan atau tidak. Tapi mereka di Polda Metro Jaya.
Kombes Aswin Siregar: "Mereka ditempatkan yang aman-lah, di bawah pengawasan penyidik."
Karena keterangan Elina berubah-ubah. Kadang teriak-teriak, gak jelas. Pengakuan Elina, ia berusaha masuk Istana Negara, karena mimpi masuk surga. Kalau bisa bertemu Presiden Jokowi, dan memaksanya mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi NII.
"Lone wolf", istilah terorisme untuk perilaku Elina dan Zakiah. Bukan hal baru. Sejarawan Amerika, Prof Richard Joseph Jenson, guru besar sejarah
University of Illinois, Chicago, AS, menyatakan, istilah Lone Wolf, ngetren pada tahun 1878–1934 di Amerika.
Prof Richard Joseph Jenson dalam bukunya, "'The Pre-1914 Anarchist "Lone Wolf" Terrorist and Governmental Responses" (2013) menjelaskan:
Pada 1878–1934 adalah era terorisme anarkis di AS. Bisa juga dianggap sebagai zaman klasik Lone Wolf atau terorisme tanpa pemimpin.
Waktu itu motifnya bukan agama. Kaum anarkis di sana menolak kontrol otoriter pemerintah terpusat. Anarkis. Para pelaku bergerak sendiri-sendiri. Tanpa komando. Tanpa jaringan organisasi.
Prof Jenson yang lahir 24 Oktober 1941 di South Bend, Indiana, AS, mengatakan, ada ratusan insiden anarkis kekerasan selama periode tersebut. Sehingga istilah itu ngetren di sana waktu itu.
Setelah seratus tahun tenggelam di Amerika, kini muncul lagi Lone Wolf.
Randy Borum dalam bukunya, "What Drives Lone Offenders?" (2018) menyebutkan, hasil riset di Amerika, Lone Wolf ada dua jenis, semuanya teroris:
1) Jenis ideologis. Motif tindakan didorong faktor ideologis. Bisa bentuk politik atau agama. Bisa juga gabungan keduanya. Pelaku berharap membuat publik takut, dan mempengaruhi opini publik. Untuk itu mereka sangat suka jika aksinya dimuat media massa.
Pelaku, ada yang bersimpati, dan menganggap diri mereka bagian dari kelompok besar. Tapi mereka biasanya bukan peserta aktif kelompok yang dimaksud.
Hubungan antara pelaku dengan kelompok teroris yang sebenarnya, cenderung informal. Ideologi diajarkan secara informal. Dari seorang guru terhadap beberapa orang. Kebanyakan door to door. Bukan formal seperti latihan militer kelompok ISIS.
Ada pelaku pembawa bom. Melekat di tubuhnya. Lalu mendekati obyek yang disasar. Kemudian bom diledakkan melalui remote control oleh orang lain dari jarak jauh. Itu bukan Lone Wolf. Melainkan, teroris terorganisir.
Seandainya, pelaku tidak tahu, bahwa bom di tubuhnya bisa diledakkan melalui remote oleh orang lain di jarak jauh, itu lebih parah lagi. Bukan Lone Wolf, melainkan ketipu kelompok teroris.
2) Jenis non-ideologis. Pelaku teror jenis ini, individu yang kecewa dan dendam pada institusi, bekas sekolah, bekas tempat kerja, bekas tempat ia bergabung dengan suatu organisasi. Tapi, tanpa motif ideologi politis atau agama.
Di AS, pelaku umumnya menggunakan senjata api. Misal, menembaki siswa di suatu sekolah. Menembaki penonton di gedung bioskop. Atau, orang gila tanpa motif.
Elina dan Zakiah, masuk jenis nomor satu. Meskipun, Elina diajari guru Jamaluddin tentang ideologi NII. Tapi, seperti buku Randy Borum, ia diajari informal. Door to door. Pendidikan tidak diorganisir secara rapi. Sebab, secara formal NII tidak ada. Meskipun orang-orang, simpatisannya, ada.
Orang-orang terafiliasi NII mungkin saja bergerak underground. Lalu, mereka mengajar underground juga. Seperti terbukti pada Siti Elina.
Itu, tanggung jawab intelijen negara. Juga guru agama. Di sekolah formal, maupun lembaga pendidikan agama non-formal.
Lone Wolf jenis ideologis tidak berbahaya, meski menakutkan. Elina dan Zakiah tidak melukai orang.
28 Maret 2021, Lone Wolf bernama Ibrahim Ibnu Andra, meledakkan diri di depan Gereja Katedral, Makassar. Tidak sampai membunuh orang. Hanya melukai sekitar 20 orang.
Lone Wolf jenis ideologis, bisa dididik oleh pendidik. Asal pendidik mau.
Yang sulit justru Lone Wolf non-ideologis. Orang sakit hati, lalu dendam pada bekas sekolah, atau bekas tempat kerja, lalu nembak, membabi-celeng. Siapa tahu?
*) Penulis adalah jurnalis senior.