Lomba Covid, Melandaikan Pandemi ala Mendagri
Pasti bukan karena ingin melucu. Ketika Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berniat menggelar lomba melandaikan kasus Covid-19. Dengan peserta pemerintah daerah. Dengan iming-iming hadiah miliaran rupiah.
Kayaknya Tito tahu jika banyak kepala daerah yang mengukur suksesnya dengan penghargaan. Yang selalu menguber berbagai lomba. Yang tak sungkan memamerkan award dari seluruh penjuru dunia.
Atau dia sudah kehilangan akal. Bagaimana mendorong para kepala daerah serius mengatasi pandemi ini. Yang masih mencatatkan angka tinggi meski memproklamasikan diri masuk masa transisi.
Yang dalam menangani pandemi Covid-19 terlalu banyak drama. Seperti pernah disampaikan Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Widodo Irhansyah.
Cara lomba memang sering efektif untuk membuat kepala daerah komit. Merangsang mereka untuk kerja keras melahirkan berbagai kebijakan dan inovasi. Tapi apakah efektif juga untuk kasus pandemi?
Saya bersama Dahlan Iskan dan Dosen Fisip Unair Haryadi pernah mendirikan JPIP (Jawa Pos Institute of Pro Otonomi). Saat mulai berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 2001. Awal pemberian kewenangan besar kepada pemerintah kabupaten dan kota.
Lembaga ini didirikan dengan semangat agar sentralisasi seperti jaman Orde Baru tidak kembali lagi. Indonesia terlalu luas hanya diurus dari Jakarta. Negeri ini terlalu kompleks jika program-programnya diseragamkan di seluruh nusantara.
Maka inisiatif lokal dalam pengelolaan pemerintahan perlu ditumbuh-biakkan. Bupati dan walikota perlu didorong melahirnya banyak inovasi untuk mensejahterakan warganya. Juga memajukan layanan yang menjadi kewenangannya.
Untuk memotivasi para kepala daerah, JPIP menggelar Otonomi Award. Penghargaan yang dipestakan setiap tahun. Dengan kriteria penilaian yang ketat. Yang dirumuskan para pakar.
Ada Dr Pratikno yang kini jadi Menteri Sekretaris Negara. Ada Dr Andi Alfian Malarangeng yang pernah menjadi juru bicara Presiden SBY serta Menteri Pemuda dan Olah Raga.
Lembaga itu saya pimpin sendiri. Dibantu anak-anak muda (saat itu) para lulusan perguruan tinggi ternama. Yang kini juga sudah menjadi para tokoh nasional seperti Ketua KPU Arif Budiman dan Komisioner Ombudsman RI Dadan Suparjo Suharmawijaya.
Masih banyak peneliti JPIP yang kemudian menjadi dosen di perguruan tinggi. Yang beasiswa sekolah di luar negeri juga atas rekomendasi JPIP ini. Tanda tangan saya sebagai Direktur Eksekutif saat itu sudah sangat laku di luar negeri.
Para kepala daerah yang mendapatkan Otonomi Award juga banyak yang moncer. Termasuk Presiden Joko Widodo saat menjadi Walikota Solo.
Kami berpikir kompetisi bisa melahirkan berbagai inovasi. Dan benar, best practices (contoh-contoh baik) bermunculan dari kepala daerah. Itulah yang JPIP apresiasi.
Setiap tahun dibikin peringkat inovasi para kepala daerah. Terutama menyangkut inovasi dalam layanan administrasi, pendidikan dan kesehatan, serta di bidang ekonomi.
Selama 15 tahun, penganugerahan Otonomi Award ini berjalan dengan baik. Bahkan sempat dikembangkan di beberapa propinsi di luar Jawa Timur. Termasuk di Jawa Tengah saat Presiden Jokowi masih menjadi walikota.
Penilaian terhadap berbagai inovasi pemerintah daerah dilakukan secara ketat. Dengan indikator dan parameter yang dirumuskan dengan serius melalui proses kajian akademis.
Secara kelembagaan maupun para penelitinya berintegritas. Mereka tidak bisa disuap. Kalau tidak memenuhi parameter yang telah ditetapkan, suatu daerah tak bisa memaksakan untuk mendapat anugerah.
Ada pengalaman, seorang kepala daerah sangat ingin mendapatkan penghargaan. Ia melakukan dengan segala cara. Bahkan telah menyiapkan dana yang menggiurkan. Cukup untuk menggelar Malam Penganugerahan yang mewah.
Mereka tak hanya bergerilya kepada para peneliti kita. Saya pun menjadi sasaran. Dua hari menjelang penganugerahan, dari berbagai arah meminta agar bupatinya mendapat anugerah. Sampai minta rekening pribadi pula.
Menggiurkan...
Alhamdulillah, kami semua tak tergiur dengan iming-iming itu semua. Demi menjaga independesi penilaian dan menjaga intergritas kelembagaan maupun para personal peneliti dan tim jurinya.
Semua tim JPIP meyakini, begitu mau menerima sesuatu dari peserta awarding, habislah reputasi. Kami tak ingin itu terjadi. Hasilnya, hampir semau alumni JPIP sekarang menjadi tokoh dan akademisi di berbagai perguruan tinggi.
Ada hal menarik terkait sikap itu. Ada seorang bupati yang teman sekelas saya waktu kuliah di Yogya. Ia datang saat awarding pertama. Tapi hanya masuk nominasi. Tidak juara. Berikutnya ia tak pernah mau datang dan menyapa saya. Sampai dua periode jabatannya.
Nah, apakah lomba melandaikan Covid-19 ala Mendagri ini bisa juga membuat para kepala daerah bergerak cepat dan sungguh-sungguh? Rasanya beda. Covid-19 ini pandemi. Wabah. Pagebluk. Bencana yang bersumber dari virus yang menular dengan cepat.
Bukan bencana seperti biasanya. Seperti gempa, banjir bandang, gunung meletus dan sebagainya. Ini bencana yang bisa menimpa siapa saja. Yang terkadang tidak jelas sumber penularannya. Apalagi di daerah yang tak sertius menanganinya.
Ada logika yang terbalik. Masak menangani bencana dilombakan? Ada soal etik yang bisa mengusiknya. Pagebluk ini terkait dengan nyawa banyak orang. Mestinya, tanpa dilombakan, pemimpin daerah yang mencintai warganya akan berjuang habis-habisan mengatasinya.
Hanya pemimpin daerah yang tertutup hatinya yang menggunakan pagebluk ini untuk mengangkat citranya. Untuk mendongkrak popularitasdemi kompetisi politik yang ingin digaetnya. Apalagi dengan cara menyalahkan dan men-down grade kompetitor politiknya.
Dalam situasi pandemi ini, warga hanya ingin melihat keseriusan semua pemimpin daerah untuk bersama-sama perang melawan Covid-19. Apalagi dengan cara yang terstruktur, sistematis, dan cepat dan mengatasi penyebaran virus. Juga gercep dalam menangani mereka yang terpapar.
Jadi, saya yakin gagasan lomba dari Mendagri Tito Karnavian ini bukan sesuatu yang serius. Hanya semacam sindiran kepada para kepala daerah yang kurang serius menangani pandemi ini.
Saya yakin itu.