Lokalisasi Girun Dibuldoser, Aktivis Khawatirkan Penyebaran HIV
Kawasan lokalisasi Girun, di Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, diratakan dengan tanah, pada Sabtu 8 Mei, kemarin. Namun, tindakan yang dilakukan menggunakan alat berat itu, menyisakan pekerjaan rumah baru, masalah penyebaran penyakit menular seperti HIV/AIDS.
Koordinator Program Penanggulangan HIV/AIDS Yayasan Paramitra Malang, David Sudarso mengatakan, dengan digusurnya lokalisasi tersebut proses pemetaan orang berisiko penyakit menular menjadi susah untuk dipantau. “Memang, seandainya ada beberapa hotspot itu yang kami harapkan (untuk pemantauan),” ujarnya pada Minggu 9 Mei 2021.
David mengaku khawatir pasca dilakukan penggusuran ini, proses pencegahan penyakit menular seperti HIV/AIDS jadi sulit untuk dikontrol, karena perempuan yang menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) menyebar di berbagai tempat. “Akhirnya nanti dampaknya adalah munculnya titik-titik baru (penyebaran HIV/AIDS). Memang konteks dari penyebaran demografinya semakin luas,” katanya.
Selama ini kata David, pihaknya rutin melakukan pendampingan check up layanan kesehatan kepada puluhan PSK yang berada di kawasan Girun, Gondanglegi, Kabupaten Malang. “Cek up layanan kesehatannya kami lakukan tiga bulan sekali untuk pemeriksaan mulai dari voluntary, konseling dan testing (HIV),” ujarnya.
Dalam hal ini kata David, pihaknya hanya bertugas untuk melakukan pendampingan dan konseling saja kepada para perempuan berisiko di Girun. Sementara untuk layanan kesehatan berupa tes HIV dilakukan oleh Dinas Kesehatan bersama Komisi Penanggulangan AIDS setempat. “Pasca penggusuran lokalisasi ini kami masih belum menentukan langkah pendampingan selanjutnya. Karena kami belum sempat berdiskusi bersama teman-teman komunitas di sana,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, PT. Kereta Api Indonesia (KAI) Daop 8 Surabaya bersama dengan stakeholder terkait di Kabupaten Malang menertibkan sebanyak 23 bangunan liar yang berada di kawasan Girun yang juga menjadi wilayah aset PT.KAI.
Manajer Humas Daop 8 Surabaya Luqman Arif mengatakan, sebanyak 23 bangunan liar tersebut berdiri di atas lahan seluas 2.600 m2. Selain berdiri tanpa ada kerja sama kontrak pemanfaatan lahan dengan PT KAI, bangunan liar tersebut juga digunakan sebagai tempat prostitusi.