Pengamat: Lockdown Lokal Bisa Jadi Ancaman Berbangsa Bernegara
Pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati, khawatirkan lockdown lokal, baik di tingkat kota/kabupaten dan di tingkat kampung akan menimbulkan masalah sosial yang serius dan gesekan fisik antar warga. Sebab mereka menerjemahkan lockdown menurut pemahamannya sendiri dinilai bisa menjadi ancaman dalam berbangsa dan bernegara.
Tapi orang yang mempunyai gagasan menerapkan kampung RT-RW lockdown tersebut tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Karena pemerintah sendiri belum seragam memaknai karantina wilayah, lockdown lokal dan yang terakhir kebijakan baru Presiden Jokowi pembatasan sosial dalam sekala besar, dengan embel-embel daruat sipil.
"Perkiraan saya masyarajat Indonesia utamanya yang berada di akar rumput belum mudeng dengan kebajakan baru pemerintah untuk membunuh virus corona tersebut," kata Devi, Selasa 31 Maret 2020.
Menurut Devie, yang dilakukan oleh warga itu tujuannya baik, melawan corona. Karena terbatasnya informasi dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah, penerapannya keliru. "Membuat aturan dengan melanggar aturan. Tapi kesalahan ini tidak bisa seluruhnya ditimpakan pada warga," katanya.
Lockdown kampung agar tidak menimbulkan gesakan fisik antar warga harus ada pendamping dari pemerintah untuk meluruskan.
Devie juga tidak ingin menyalahkan pemerintah meskipun kelihatan kurang siap menghadapi situasi tanggap darurat Covid-19. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesis. Hampir semua negara yang sedang perang melawan corona pontang-panting.
"Ada seorang menteri di Jerman bunuh diri, stres menghadapi corona yang menyerang negaranya," kata Devie.
Dia ingin lockdown di tingkat kampung, RT dan RW segera dihapus, dikembalikan pada aturan yang benar. Kalau dibiarkan, masyarakat Indonesis akan terkotak kotak.
Ia mengambil contoh lockdown di Kota Tegal yang dinilai berlebihan. Penduduk daerah lain tidak boleh masuk karena dianggap pembawa virus.
"Kalau seluruh daerah menerapkan aturan seperti Tegal, NKRI dalam bahaya. Bukan karena corona, tapi dirusak oleh kepala daerah yang tidak paham aturan," ujarnya.