Lockdown di New York, Isra' Mi'raj di Tengah Kegalauan Global (2)
Isra' Mi'raj bagi umat Islam tahun ini penuh keprihatinan. Karena wabah Virus Corona atau Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia.
Di tengah suasana galau umat Islam, Imam Shamsi Ali, pendiri Pesantren Nusantara Foundation, menyampaikan renungan penuh harapan. Terkait dengan momentum bersejarah dan penuh manka bagi umat Islam, karena Nabi Muhammad menerima tugas untuk menyampaikan kepada umatnya akan kewajiban Shalat Lima Waktu.
Berikut bagian lanjutan renungan Imam Shamsi Ali:
Saya kira landasan terbesar dari rasionalitas Isra Mi'raj adalah bahwa Perjalanan itu memang "aktornya" (pelaku) adalah Allah. Muhammad SAW adalah objek yang diperjalankan. Dan kalau dalam suatu hal Allah sebagai pelaku, apakah hal itu dapat dikategorikan tidak masuk akal?
Oleh karenanya Isra Mi'raj sangat rasional karena Allah yang tidak terbatas kemampuan dan ilmu itu mampu melakukan segala hal yang tidak bertentangan dengan tabiat diri-Nya sendiri.
Mungkin dalam hal ini ada saja yang mencoba bermain api dan mengatakan bahwa kalau memang Tuhan tidak memiliki batas dalam kemampuan dan ilmu, berarti Tuhan bisa menjadikan diri-Nya dalam wujud manusia?
Jelas ini tidak rasional. Karena kontra terhadap kekuasaan dan tabiat-Nya Sebagai Tuhan. Bahwa Tuhan itu tidak punya keterbatasan. Tapi di sisi lain Tuhan tidak akan membatasi diri dengan sesuatu yang justeru menjatuhkan dirinya dari kepada keterbatasan. Mewujudkan diri-Nya menjadi makhluk menjadikan-Nya terbatas. Maka terjadi "self contradictory" atau paradoks dari ketuhanan itu sendiri.
Kedua, benarkah Al-Quran tidak menyebutkan Mi'raj sama sekali?
Kekeliruan para pengingkar Isra Mi'raj adalah karena mereka membaca satu ayat Al-Quran tanpa mencoba menelusuri rimba ilmu-ilmu yang ada dalam Al-Quran. Mereka dengan sangat simplistik mengambil kesimpulan tanpa pendalaman. Maka pada umumnya mereka hanya membaca ayat pertama dari Surah Al-Isra untuk mengambil kesimpulan.
Padahal jika mereka mencoba mengkaji Al-Quran lebih jauh akan mereka dapati beberapa ayat lain dalam Al-Quran yang sangat relevan dengan peristiwa Mi'raj Rasulullah SAW. Lihat misalnya Surah yang sama (Al-Isra) ayat 12-18.
Allah menegaskan: "Maka apakah kamu akan membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya (Jibril dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. Yaitu di sisi Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihatnya) ketika di Sidratul Muntaha ditutupi oleh sesuatu yang menutupi. Penglihatannya (Muhammad) tidak menyalahi dari apa yang dilihatnya atau melebih-lebihkan. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang besar".
Berikut beberapa ahli yang menyebutkan hal ini dalam kajian tafsirnya.
Tafsir Al-Mukhtashor: dan sesungguhnya Muhammad SAW telah melihat kembali Jibril dalam bentuk aslinya di malam Isra Mi'raj.
Zubdatut Tafsir: Yakni Muhammad telah melihat Jibril dalam rupanya yang asli pada waktu yang lain. Yaitu ketika malam Isra Mi'raj.
Untuk menguatkan itu, para ahli tafsir kemudian mengaitkan kata melihat itu dengan kalimat: di sisi Sidratul Muntaha.
Tafsir Al-Mukhtashor: Sidratul Muntaha yaitu pohon besar sekali berada di langit ketujuh.
Dan banyak lagi tafsiran yang menguatkan bahwa ayat 12-18 dari Surah Al-Isra itu menegaskan bahwa interaksi langsung yang terjadi antara Muhammad dan Jibril itu bukan di bumi. Tapi di Sidratul Muntaha yang Allah Maha Tahu rinciannya.
Saya tidak perlu menuliskan lagi semua ayat-ayat Al-Quran tersebut. Tapi untuk memudahkan bagi para pengingkar, saya tuliskan beberapa ayat lagi untuk menjadi rujukan, antara lain: Surah An-Najm:15 dan Surah Al-Isra: 60. Juga Surah At-Takwir: 23.
Sekali lagi, menyimpulkan bahwa Al-Quran tidak menyebutkan sama sekali peristiwa Mi'raj Rasulullah SAW adalah kecerebohon dan kebodohan bahkan keangkuhan. Kenyataannya jika metode memahami Al-Quran dipahami secara baik akan didapati ayat-ayat yang secara langsung sangat relevan dengan peristiwa Mi'raj Rasululllah SAW.
Ketiga, salah satu alasan yang juga dipakai sebagian mereka yang mengingkari Mi'raj Rasul adalah karena menganggap dengan naiknya Muhammad SAW kita menentukan tempat Allah di langit. Padahal Allah itu di mana saja akan bersama kita. Dengan kata lain Allah itu tidak terbatas oleh ruang (tempat) dan tentu juga waktu.
Konsep bahwa Allah tidak dibatasi oleh ruang atau tempat benar. "Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada" (Al-Quran). Tapi salahkah ketika Allah ingin menerima hamba-Nya yang mulia (abduhu) di alam tertinggi (Sidratul Muntaha)? Penyebutan Sidratul Muntaha sama sekali tidak bermaksud sebagai pembatasan tempat Allah SWT.
Ada banyak hadits-hadits mutawathir yang menyebutkan proses Perjalanan Rasulullah SAW secara vertikal (Mi'raj) pada malam itu. Satu di antaranya adalah dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan:
"Kemudian Nabi menoleh ke arah Jibril seolah meminta pendapat mengenai itu (jumlah rakaat sholat). Kemudian Jibril mengisyaratkan pada beliau: Iya. Bila kamu menghendaki keringanan untuk itu. Lalu Nabi naik kepada Rabb sedangkan Dia (nabi) di tempatnya dan berkata: ya Rabb, ringankanlah untuk kami. Sesungguhnya Umat ku tidak mampu melakukan ini" (HR Bukhari).
Imam Al-Asqalani menyebutkan: bahwa kalimat "dan dia pada tempatnya" maksudnya tempat Muhammad ketika menerima perintah itu awalnya. Yaitu di Sidratul Muntaha.
Saya tidak ingin menyebutkan lagi semua riwayat hadits yang menguatkan Perjalanan vertikal (Mi'raj) Rasulullah SAW. Tapi intinya adalah bahwa mengingkarinya peristiwa Mi'raj boleh jadi tanpa sadar justeru mengingkari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah SAW.
Saya ingin tegaskan sekali lagi. Ketidak mampuan dan keterbatasan akalmu memahami peristiwa ini bukan alasan untuk anda mengatakan bahwa peristiwa Isra dan Mi'raj itu tidak rasional atau tidak masuk akal.
Jangan-jangan ketika anda dengan serta merta mengambil kesimpulan seperti itu justeru akal anda sedang bermasalah. Atau memang anda sedang terjangkiti keangkuhan yang dihiasi oleh perasaan rasionalitas. *