Literasi dan Hak Informasi Publik
Keterbukaan informasi adalah amanat reformasi dalam menjalankan apa yang disebut mencerdaskan kehidupan bangsa
PENGANTAR REDAKSI: Bagaimana kita melihat keterbukaan informasi? Berikut adalah renungan Anggota DPRD Jawa Timur yang dulunya aktivis literasi Diana AV Sasa untuk ngopibareng.id.
Di pekan terakhir November, Komisi Informasi Pusat (KIP) memberi piagam penghargaan kepada Pemprov Jawa Timur sebagai "Badan Publik Menuju Informatif". Penganugerahan itu merujuk pada mulai diimplementasikannya UU No. 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
Tentu, kabar ini disambut penuh kegembiraan, terutama oleh pemerintah provinsi terkait dengan kerja kerasnya mengamalkan amanat undang-undang yang sudah satu dasawarsa silam diberlakukan.
Kita tahu, soal keterbukaan informasi adalah amanat reformasi dalam menegakkan pemerintahan yang bersih dalam kerja dan transparan dalam menjalankan apa yang disebut “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Gagasan ini muncul sebagai bagian terintegrasi dari usaha publik untuk tahu apa yang dikerjakan oleh aparatur pemerintahan yang mereka "percayai" mengelola negara dengan dana pajak yang bermuara pada usaha kesejahteraan umum.
Dan, kelahirannya pun bukan tidak menuai perdebatan yang keras. Terutama, soal mana yang boleh dibuka dan mana yang ditutup.
Penghargaan yang diterima Pemprov itu memancing saya untuk merefleksikan secara kritis soal pelaksanaan informasi publik itu dalam birokrasi pemerintahan.
Sebagai legislator yang duduk di komisi yang salah satunya menjadi "rekan kerja" dinas-dinas terkait merasakan betapa melelahkannya membahas ihwal tata kelola informasi publik ini. Mulai dari soal tafsir atas UU, pembentukan Komisi Informasi, hingga politik penganggaran.
Dalam soal "membaca" UU itu saja, misalnya, sangat jelas rumusannya bahwa badan publik negara dan badan publik nonnegara diwajibkan memberikan pelayanan informasi yang terbuka, transparan, dan bertanggung jawab kepada publik luas. Dalam hal ini, warga, lembaga sosial, pers, dan seterusnya.
Ilustrasi secara gamblang dari pelaksanaan undang-undang itu adalah saat jamak kita lihat di beberapa desa yang mendirikan baliho raksasa di titik utama perkampungan yang berisi peruntukan anggaran belanja desa. Di baliho itu, masyarakat secara kritis dan saksama bisa melihat bagaimana pemerintah desa melakukan pembelanjaan anggaran sesuai peruntukan yang disepakati dalam rapat-rapat khusus.
Fenomena itu merupakan praktik membuka informasi yang berkait langsung dengan publik. Termasuk soal hukum, layanan sosial, kesehatan, perizinan, dan sebagainya.
Artinya, keterbukaan informasi itu bukan soal dunia kehumasan belaka, tetapi menyangkut segala informasi dasar yang terkait dengan pengelolaan pemerintahan dalam hal pelayanan kesejahteraan umum. Di aras kelembagaan, Komisi Informasi didorong untuk memperkuat literasi badan publik guna memiliki layanan informasi yang berkualitas, murah, mudah, dan cepat.
Selain itu, tupoksi yang juga diemban Komisi Informasi ini adalah maksimalisasi peran sebagai badan mediator sengketa informasi publik, media konsultasi, dan pencerahan masyarakat Jawa Timur lewat literasi informasi.
Fakta di lapangan, sebetulnya, kita miris dengan penganggaran atas Komisi Informasi ini yang "ala kadarnya". Bahkan, keberadaan mereka kadang dianggap "mengganggu" bajet "yang sudah-sudah". Bayangkan, untuk bisa bergerak normal, komisi ini mestinya butuh dana 2 miliar. Di lapangan, separuh dari angka itu tidak tercapai. Akhirnya, komisi ini menjadi kurang gesit dalam melakukan kerja-kerja kontrol dan mengawal pelaksanaan keterbukaan informasi serta pendidikan literasi informasi publik.
Dukungan di lapangan yang setengah-setengah atas badan publik yang mengurusi ihwal komunikasi ini menunjukkan bagaimana kita melihat keberadaan informasi yang transparan dalam meningkatkan partisipasi publik. Bahwa, keterbukaan informasi belum dianggap sebagai bagian yang inheren pencerahan lewat jalan memperbaiki lalu-lintas demokrasi informasi.
Sekali lagi, informasi yang dimaksud di sini bukanlah brosur dan iklan yang mewartakan success story sebuah instansi, melainkan bagaimana perencanaan dan pelaksanaan dari kebijakan diselenggarakan. Pemerintah bukan lagi representasi sebagaimana mewujud dalam peran “Departemen Penerangan” di masa lalu, melainkan tata kelola informasi.
Fungsi legislator yang selama ini menjadi rekan dinas-dinas terkait dengan informasi di sini tentu tidak sekadar menjadi pendengar. Saya tahu, legislator yang menjadi mitra kerja dalam perumusan politik penganggaran mestilah bekerja lebih keras agar bagaimana amanat reformasi ihwal demokratisasi informasi ini berjalan di atas treknya.
Bukan itu saja, sesungguhnya bidang ini memiliki tanggung jawab besar dalam soal pendidikan literasi informasi dalam segi-segi praksisnya. Di sini, keterbukaan informasi bukan wacana belaka, melainkan sikap yang diaplikasikan dalam relasi yang sehat dan setara antara warga dan negara. Pun, sebaliknya. Dalam hal ini, partisipasi dan hak mendapatkan akses atas informasi untuk keberlanjutan hidup yang lebih baik.
Keluarnya kertas piagam dari Komisi Informasi Pusat yang ditandatangani Gede Narayan untuk Pemprov Jawa Timur bisa kita jadikan titik perhatian sejauh mana pelaksanaan keterbukaan informasi publik ini secara substantif telah berjalan normal sebagaimana dituntunkan undang-undang. Yakni, pemenuhan hak publik atas informasi.
*)Diana AV Sasa, Anggota DPRD Jawa Timur (2019-2024)