Lip Service Negara Maritim
Oleh: Oki Lukito
Musibah kapal kembali terjadi beruntun dalam hitungan hari. Sebanyak 18 kapal tenggelam di perairan Kalimantan Barat akibat cuaca ekstrim (18 Juli 2021. Sebanyak 13 kapal nelayan, 2 kapal tunda,1 yacht, 1 tongkang dan 1 kapal penumpang, total 138 penumpang terlibat dalam musibah tersebut dan sekitar 43 orang masih belum diketemukan. Sebelumnya laka laut menimpa Kapal Motor Penumpang Yunicee yang melayani penyeberangan Jawa-Bali tenggelam di Selat Bali, tidak jauh dari Pelabuhan Gilimanuk.
Kapal Ferry Yunicee tenggelam membawa 56 orang, termasuk 15 anak buah kapal (ABK), sejumlah truk dan kendaraan pribadi. Enam orang meninggal dunia, delapan orang diperkirakan hilang belum diketahui nasibnya. Sebelum musibah KM Yunicee, kebakaran kapal penumpang di Maluku Utara dialami KM Karya Indah yang berangkat dari Pelabuhan Ternate menuju Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula. Tidak ada korban jiwa dalam peritiwa kebakaran kapal dengan kapasitas 500 penumpang itu. Penumpangnya diselamatkan nelayan setempat.
Data Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebutkan pada tahun 2019 tercatat 32 orang korban meninggal dan 43 korban hilang akibat kecelakaan moda transportasi laut. Korban musibah kapal Arim Jaya pada 16 Juni 2019 di Pulau Raas, Jawa Timur, paling banyak korbannya, yaitu 20 orang meninggal dan 1 orang hilang. Tahun 2018 tercatat 25 musibah kapal tenggelam dan diprediksi sejak tahun 2015 hingga 2021 lebih dari 50 kali terjadi peristiwa laka laut dengan korban ratusan penumpang maupun ABK.
Peristiwa-peristiwa mengenaskan itu menambah panjang daftar jumlah musibah di laut yang hampir setiap bulan terjadi sepanjang tahun, sejak Poros Maritim dicanangkan. Rentetan peristiwa ini membuktikan, pemerintah setengah hati dan tidak berusaha secara konkret menata sistem transportasi laut nasional secara sistematis, efektif, efisien, dan aman. Dampaknya, musibah di laut terus berulang.
Peristiwa laka laut pada umumnya jika dicermati disebabkan human eror, pemangku kepentingan seperti otoritas pelabuhan, operator kapal, penumpang, dan petugas lalai mematuhi aturan atau protap. Kapal sering mengangkut penumpang melebihi kapasitas. Petugas meloloskan kendaraan atau penumpang yang membawa barang mudah terbakar atau meledak, serta membiarkan kendaraan tidak diikat di dalam kapal. Disamping faktor cuaca yang sering disepelekan.
Petugas juga percaya pada surat pernyataan pengemudi kendaraan tentang barang yang diangkut, tanpa melakukan pengecekan fisik. Selain itu kelaikan kapal dan keselamatan pelayaran sering pula diabaikan. Demkian pula usia kapal yang sudah renta, yang sebagian besar rata-rata berusia di atas 30 tahun, adalah faktor dominan menyebabkan musibah di laut.
Pencananganan Poros Maritim dan Tol Laut oleh Presiden Joko Widodo tahun 2014 saat pertama kali Jokowi menjadi Presiden, ternyata belum berdampak signifikan terhadap pembangunan kelautan, khususnya keselamatan pelayaran. Secara fisik program tersebut berhasil meningkatkan aset infrastruktur pelabuhan dan menambah jumlah kapal angkut penumpang dan barang. Sebaliknya pemborosan dana APBN yang dialokasikan untuk mensubsidi BBM kapal perintis dan membayar biaya logistik tidak sepadan dengan hasilnya.
Besarnya kucuran APBN belum memberi dampak positif menekan disparitas harga komoditas di wilayah Barat dan Timur sebagaimana yang diharapkan. Dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah 2021 beberapa waktu lalu, Joko Widodo bahkan mengungkapkan investasi idle, ada temuan pelabuhan dibangun tetapi tidak ada jalan aksesnya sehingga tidak manfaat.
Jika dicermati, Poros Maritim dan Tol Laut belum mencakup semua aspek kemaritiman dan terkesan lip service. Disamping itu implementasinya hanya sebatas di permukaan belum pada kedalaman lautan persoalannya. Pembangunan fisik diprioritaskan dan tidak menyentuh kepada sisi sumber daya manusianya. Soft skill kemaritiman kurang mendapat perhatian dan selalu diposisikan sebagai pinggiran dalam pendidikan dan pembangunan ekonomi nasional. Kondisi ini sangat ironis mengingat hampir 70 persen wilayah Indonesia merupakan laut dengan potensi ekonomi sangat besar.
Keberpihakan politik ataupun ekonomi dalam pembangunan kelautan sangat minim. Regulasi yang menyentuh kelautan disingkirkan. Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan dan UU Pesisir No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dikandaskan Omnibus Law, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan sangat luas, Indonesia praktis hanya mempunyai satu payung hukum yang mengatur penggunaan laut, yaitu UU No 21/1992 tentang Pelayaran, disempurnakan dengan UU No 17/2008 untuk mengontrol dan mengawasi semua jenis kegiatan di perairan Indonesia.
Visi Kelautan Indonesia mewujudkan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia menjadi negara maritim yang maju, berdaulat, mandiri, kuat, tampaknya masih amburadul di tataran implementasi. Tidak dilibatkannya armada kapal rakyat (Pelra) dalam Tol Laut adalah salah satu bukti pemerintah mengabaikan peran pelayaran rakyat sebagai pelayaran perintis sejak dekade tahun 60.
Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) dalam Perpres No 16 tahun 2017 penyusunannya mengacu pada visi Pembangunan Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 dan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, hingga habis masa berlakunya pada tahun 2019 rencana aksinya belum terealisasi .
Sebagai referensi. salah satu dari tujuh pilar KKI adalah soal pengembangan Sumber Daya Manusia Kemaritiman. Sejak diundangkan, peningkatan SDM Kemaritiman belum dapat diwujudkan antara lain melalui program peningkatan pendidikan. Menko Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi belum berhasil mensinkronkan kurikulum kemaritiman di semua jenjang pendidikan.
Sangat disesalkan amanat UU Kelautan dan Perpres KKI itu tidak dijalankan. Sementara generasi muda yang terlanjur mengenyam pendidikan paradigma darat, kurang berminat menekuni apalagi mengembangkan potensi lautnya. Sejatinya pendidikan kemaritiman pada strata pendidikan formal sangat dibutuhkan untuk menanamkan dan menumbuhkan kembali semangat serta jiwa bahari.
*Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan