Limbah Medis di Indonesia Hampir 1.200 Ton
Hingga 8 Juni lalu, jumlah limbah medis infeksius di Indonesia mencapai hampir 1.200 ton.
Sampai 8 Juni terekam limbah medis dari seluruh Indonesia itu mencapai 1.100 ton lebih, ya mungkin 1.200 ton," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI di Jakarta, Rabu.
Menurut menteri, ada empat provinsi yang belum menyerahkan data total limbah medis yang terutama muncul selama pandemi COVID-19.
"Tapi terus kita kejar, sampai kemarin Lampung belum masuk akhirnya malam masuk. Kita akan kontrol lagi dan tindak lanjuti itu," ujarnya.
Berdasarkan laporan pemerintah daerah untuk penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) COVID-19 di Region I Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung yang sudah melapor), jumlah limbahnya mencapai 147,62 ton. Untuk Region II Jawa (Benten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah melapor) mencapai 478, 18 ton.
Sedangkan untuk Region III Bali Nusra (semua sudah melapor) mencapai 200, 36 ton, Region IV Kalimantan (semua sudah melapor) mencapai 168, 76 ton. Untuk Region V Sulawesi (semua sudah melapor) mencapai 94,89 ton, dan Region VI Maluku Pupua (Maluku, Papua, Papua Barat yang sudah melapor) mencapai 18,73 ton.
Sebelumnya, Siti mengatakan isu utama dalam penanganan limbah infeksius COVID-19 memang sejak awal KLHK meminta daerah untuk menangani limbah infeksius yang diorientasikan untuk secara khusus memutus mata rantai penularan virus corona baru, kemudian mengurangi jumlah limbah medis, dan mempelajari serta mendukung kapasitas pengelolaannya.
Ia juga mengatakan kapasitas pengelolaan limbah B3 secara termal dalam fasilitas pelayanan kelihatannya sudah bisa dipetakan.
Yang masih tidak memiliki pengolahan limbah B3 berizin yaitu Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Utara, Gorontalo, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua. Sedangkan yang sudah ada jasa pengolahan limbah medis yaitu di Kepulauan Riau, Kalimantan Tim, Banten, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Untuk penanganan limbah infeksius itu, menteri mengatakan sudah ada arahan yang disampaikan baik dalam bentuk kebijakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun arahan teknis. Ia juga akan meminta Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) untuk penerapan panduan dan master plan serta rencana pengolahan sampah tersistem untuk limbah medis.
KLHK, menurut dia, juga melakukan komunikasi melalui rapat koordinasi untuk mendukung pengelolaan limbah medis. Pada 2020, kementeriannya juga akan membangun fasilitas untuk Sumatera Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pada 2021 hingga 2024, ia mengatakan pemerintah daerah yang sudah merespons untuk dapat dibangun fasilitas pengelolaan limbah medis yaitu Jambi, Papua Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Papua, Maluku, Sumatera Selatan dan Kalimantan Utara.
Ketua Komisi IV DPR RI Sudin dalam rapat kerja dengan Menteri LHK sempat mempertanyakan fasilitas pengolahan limbah medis di Lampung mengingat di Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung belum ada. Dirinya kemudian menyebut ada dua atau tiga rumah sakit di provinsi tersebut sudah ada yang membuang limbah ke sungai.
Terkait dengan persoalan penanganan limbah medis infeksius tersebut, ia juga menyarankan agar KLHK menambah anggaran Direktorat Jenderal PSLB3 dalam Pagu Indikatif Belanja K/L Tahun Anggaran 2021 setidaknya Rp100 milar lagi dari jumlah yang diajukan pemerintah sebesar Rp266.968.331.000. Hampir semua anggota Komisi IV DPR yang mengikuti rapat kerja tersebut menyoroti isu pengelolaan limbah medis infeksius COVID-19. (ant)
Advertisement