Lima Tantangan Perubahan
MESKIPUN Nabi atau Rasul, tidak terhindar dari sekurang-kurangnya lima tantangan, ujian atau halangan, ketika mensosialisasikan perubahan kepada masyarakatnya. Misalnya Nabi Nuh, Ruhullah – bahkan ia ruh-nya Allah sendiri – tak kurang dari 950 tahun menyebarkan wacana kebenaran, susahnya bukan main, dan hasilnya jauh dari memadai.
Nuh menginformasikan rasio sangkan-paran, bahwa bumi dengan segala kesuburan dan kekayaannya, bahwa langit dengan tak terbatas matahari dan planet satelitnya, adalah milik Tuhan. Sebab Tuhan yang bikin. Maka Dia pemilik saham primer. Maka pula Dia yang berhak menentukan segala aturan, konstitusi, regulasi, kewajiban dan hak. Manusia bukan pemilik bumi, bahkan tidak memiliki dirinya sendiri. Maka manusia bukan pejabat utama pengelolaan bumi, kecuali pada batas ia dimandati oleh Maha Pemiliknya.
Dari rasio dasar kepemilikan itu, baru dilakukan penerjemahan logis secara sosial pada tata nilai kehidupan manusia. Lahirlah logika ibadah. Urgensi rahmatan lil’alamin. Relevansi akhlakul karimah. Prinsip berbagi dan bertoleransi. Pendidikan sabar dan syukur. Metode puasa atau efisiensi. Keperluan ekspertasi agar shirathal-mustaqim atau efektivitasnya ketemu. Manusia berposisi buruh. Karyawan. Agen. Kepala Bagian. Manajer suatu bagian dari urusan. Mungkin Sales. Pengepul. Pengecer.
Sampaipun pekerja kaki lima. Tetapi seluruh yang dikelola, diperniagakan dan didistribusi – mau tidak mau harus berdasarkan policy Sang Maha Owner, Komisaris Utama, yang bahkan dalam banyak hal Ia juga Direktur Utama Kehidupan, meskipun Tuhan mengangkat sejumlah Staf Khusus di lingkaran dalam manajemen-Nya sendiri, yang dipimpin oleh Jabroil. Atau Jabarala. Sampai Makahala, Hasarapala, Hajarala, para Muqorrobin, petugas khusus Zabaniyah, Ridwan, Malik, Salim, Sykahlatus-Syams dll.
Tahap sosialisasi nilai oleh Nabi Nuh itu baru tahap sangat awal: mengajak masyarakat memahami, menyadari dan mengakui bahwa bukan manusia yang berkuasa, melainkan Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran itu pun cukup berlaku di pikiran dan pengakuan di hati. Belum sampai aplikasi melalui langkah kaki dan gerak tangan. Baru persaksian dan kesaksian. Belum sampai aplikasi dan manifestasi.
Syahadah saja sudah lumayan. Dan Nabi Nuh hanya mendapatkan beberapa puluh orang selama 950 tahun. Tidak perlu sampai ke eksekusi sosial, politik dan kebudayaan. Belum sampai ke sosialisme dan kapitalisme. Fundamentalisme dan pragmatisme. Liberalisme dan radikalisme. Kerajaan dan Kesultanan. Persemakmuran dan Republik. Jangankan lagi Huntingtonisme, Balkanisasi, Arab Spring, Kenduri Nusantara, reklamasi dan Meikarta – yang unit-unit apartemennya sudah ditawarkan secara resmi di tempat-tempat resmi. Nabi Nuh belum sampai harus berpikir otonomi daerah dan Pilkada serentak. Sekadar satu kalimat pendek yang keluar dari bibir manusia.
Tetapi pada posisi sangat dini-nilai itu pun seorang aktivis perempuan menuding, nge-share dan memviralkan “Innahu majnun”, “anduweni loro edan”. Nuh itu tokoh gila. Sakit jiwa. Untung Allah tidak mentakdirkan Prabu Jayabaya menjadi salah seorang stafnya Nabi Nuh. Andaikan demikian, pasti Jayabaya, dibantu Ranggawarsito, bikin counter meme: “Amenangi jaman edan. Sopo ora melu edan ora bakal keduman. Lha wong yang sudah ikut edan saja belum tentu keduman. Arep entuk dumduman sethithik wae konangan….”. Kita mengalami zaman edan. Siapa tidak gabung ikut edan tidak mendapat bagian. Lha yang sudah ikut edan saja belum tentu dapat bagian. Mau dapat bagian sedikit saja malah ketahuan.
Tantangan pertama yang menabrak Nabi Nuh adalah area wacana, adu kekuatan untuk benar, kecanggihan talbis dan keahlian manipulasi. Tantangan kedua adalah budaya kapitalisasi dan atmosfer kapitalisme pada alam berpikir dan mentalitas manusia. Khawid, putra Nuh, yang ditugasi memimpin pembuatan kapal, minta upah kepada Bapaknya sendiri. Khawid mengajukan proposal anggaran biaya. Nabi Nuh tidak mengabulkan, apalagi klausul bahwa Khawid yang menentukan tenaga ahli maupun buruh-buruhnya.
Khawid marah karena hanya dikasih “tiga apem”. Semacam jajan Poffertjes Belanda. Tapi Bapaknya menyuruhnya memakan apem itu dengan terlebih dulu membaca “Bismillahi majreha”. Ketika Khawid memakan satu apem itu, ternyata tak habis-habis sampai ia kekenyangan. Itu suatu fenomena sangkan-paran yang Khawid mengalami tapi tidak memahami. Memang ranah Agama, Pendidikan, Kebudayaan dan Kesehatan, meskipun mengandung bagian dari maintenance yang harus berurusan jual beli – tetapi harus ada kewaspadaan dan kearifan untuk jangan sampai mengkapitalisasikan empat wilayah itu sehingga kehilangan substansi nilainya. Jangan sampai Agama, Pendidikan, Kebudayaan dan Kesehatan, dikelola dengan tujuan sebagaimana perusahaan ekonomi materi.
Tantangan ketiga yang dihadapi oleh Nabi Nuh adalah bergabungnya Iblis menumpang ke kapal beliau. Sang Idajil alias Azazil yang oleh Allah dimutasi menjadi Iblis ini berpegangan pada ekor hewan yang bernama Balkadaba, dan ikut bergabung dengan seribu hewan di kapal Nuh. Tatkala nanti banjir menggelombang raksasa dan menenggelamkan wilayah-wilayah di permukaan bumi, dan kapal Nuh berangkat berlayar mengikuti “perintah” alamiah ke mana ombak menyeretnya – Iblis tiba-tiba nongol ke depan Nabi Nuh yang sedang bersandar di sebuah tiang dengan napas terengah-engah. Nabi Nuh tentu saja terperanjat, dan spontan berkata: “Ngapain kamu ke sini!”
Iblis menyungging senyum yang amat menyakitkan hati Nabi Nuh. “Katanya kalau mau selamat disuruh naik kapalmu”, jawab Iblis.
“Kamu sudah tidak punya kemungkinan untuk selamat”.
Iblis tertawa. “Sudahlah. Itu urusanku dengan Allah”, katanya, “Saya menemuimu cuma mau memastikan: berapa jumlah pengikutmu di kapal ini?”
“Delapan puluh”, jawab Nabi Nuh.
“Selamat ya”, Iblis tertawa lebih menyakitkan lagi, “jadi yang mati tenggelam dalam banjir kira-kira berapa?”
“Sekian ratus ribu”, Nabi Nuh menjawab ogah-ogahan.
Iblis mengucapkan kalimat terakhir kemudian pergi meninggalkan Nuh: “Jadi jauh lebih banyak pengikutku ya dibanding pengikutmu….”
Hanya delapan puluh orang ikut naik kapal Nuh. Hanya 80 orang, sesudah berdakwah hampir semilenium. Jutaan lainnya tidak percaya, tidak menemukan gejala-gejala akan datangnya banjir bah yang menenggelamkan hampir dua pertiga permukaan bumi. Tidak ada peringatan ilmiah untuk itu. Tidak ada pengumuman untuk waspada atau siaga bencana. Apalagi Mbah Rono belum lahir waktu itu, dan Badan Meteorologi Klimatogi dan Geofisika belum didirikan.
Tetapi andaikanpun ada yang percaya akan ada banjir besar, belum tentu nanti di dalam kapal mereka memberikan persaksian atas nilai yang disosialisasikan oleh Nabi Nuh. Andaikan peristiwa banjir Nuh terjadi sekarang, kapal akan penuh penumpang. Bukan karena percaya kepada Nuh, bukan karena beriman, melainkan demi keselamatan pragmatis. Siapa yang kira-kira menang, didukung. Siapapun saja yang berkuasa, baik Nuh ataupun Iblis, banyak orang bergabung. Kemudian bersama-sama mereka merajut dan menerapkan kebenaran versi mereka sendiri, untuk dijadikan kebenaran tunggal nasional.
Tuhan memerintahkan Jibril untuk membantu Nabi Nuh mengumpulkan pasangan binatang-binatang minimal berjumlah seribu. Di samping itu, dihimpun juga benih-benih segala tanaman yang mungkin dicover. Nuh didorong untuk berpikir futurologis. Ini tantangan keempat di hadapan perjuangan perubahan. Bisakah Anda bayangkan tingkat kerepotan teknis dan ketidakmudahan teknologis untuk memuat seribu macam binatang? Yang harus dipisahkan antara jantan dengan betina? Dari serangga-serangga kecil hingga babi, kerbau, harimau dan gajah? Bagaimana memberi makan minum mereka di kapal dari hari ke hari? Dari mana bahannya? Tak jelas pula sampai kapan kapal terapung-apung di atas banjir?
Sampai-sampai karena kelelahan dan hampir putus asa, orang bikin humor: kenapa sapi berjalan dengan menggeleng-gelengkan kepalanya? Karena di kapal Nuh tak boleh ada penambahan penumpang. Maka semua alat kelamin dicopot dan dikumpulkan di sebuah ruangan. Setelah banjir reda dan kapal mendarat, baru kelamin hewan-hewan itu dibagi dan dipasang kembali. Tetapi karena manusia saja belum tentu punya budaya antre, bisa dimaklumi kalau binatang berebut berdesakan mengambil kelaminnya masing-masing.
Kuda yang paling cepat larinya, sampai duluan ke gudang kelamin. Tanpa pikir panjang ia mengambil yang paling besar, daripada menunggu urutan administratif. Dengan kelamin yang dahsyat, kuda melesat lari dari gudang, lompat keluar kapal dan turun ke daratan. Sapi menyaksikan betapa cepat larinya kuda, serta betapa besar panjang kelaminnya – sehingga ia geleng-geleng kepala tak henti-henti sampai hari ini.
Adapun tantangan kelima, para pejuang perubahan perlu memastikan perilakunya agar mereka dicintai oleh Tuhan dan di-support serta difasilitasi perjuangan mereka. Sebab Tuhan bikin banjir tidak terutama karena kaum Nuh durhaka dan ingkar pada eksistensi dan kekuasaan Tuhan. Sebab Tuhan tidak laba kalau kita beriman, dan Tuhan tidak defisit sepeser pun kalau kita kafir. Tuhan menyelenggarakan banjir bah dahsyat itu kemungkinan besar karena Nuh Ruhullah, kekasih-Nya, disakiti oleh manusia dan masyarakat.
Mohon Sampeyan semua tidak usah percaya-percaya amat pada apa yang saya tulis. Juga jangan mendalam-mendalam amat memasukkan ke hati. Di samping saya memang belum tentu bisa dipercaya, juga karena Sampeyan semua sedang hidup di zaman di mana para stakeholders sejarah yang sedang dilangsungkan ini, sangat menikmati keadaan yang sedang berlangsung, sehingga jangan bermimpi beliau-beliau menginginkan perubahan.
*) Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) adalah budayawan dan pencerah lewat Kiai Kanjeng
Advertisement