Lima Problem Besar Kaum Muslimin, Ini Kegelisahan Kiai Husein
Kalangan intelektual Muslim berpikir bagaimana umat Islam berjaya. Dalam perubahan zaman, umat Islam seolah terpinggirkan dan berada di pinggiran sejarah.
KH Husein Muhammad bersama Prof. Azyumardi Azra, bicara dalam seminar nasional bertema "Tren Riset dalam memperkuat Eksistensi Pendidikan Islam dan Hukum Keluarga", di Aula Pasca Sarjana, Universitas Hasyim Asy'ari, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Sabtu 9 februari 2020.
Sebagai prolog, Kiai Husein Muhammad menyampaikan sejumlah isu Krusial dan kritikal sebagai berikut:
Dalam forum Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2017 di Bumi Serpong Damai Jakarta, saya menyampaikan pertanyaan kegelisahan saya atas realitas bangsa-bangsa Muslim di dunia sampai hari ini.
“Apa yang sudah disumbangkan oleh Institusi Pendidikan Tinggi Islam bagi kemajuan dunia?. Pertanyaan ini tidak hanya ditujukan kepada Institusi Pendidikan Islam di Indonesia, melainkan juga di dunia."
Dapatkah kita menjawab pertanyaan Renan, seorang sarjana Eropa terkemuka kepada Syeikh Muhammad Abduh: “Jika Kaum Muslimin mengklaim agamanya sebagai agama yang “Shalihah li Kulli Zaman wa Makan” dan :”Rahmatan li al-Alamin”, maka tunjukkan kepada saya bukti empirisnya, negara mana?”.
Dan Muhammad Abduh tidak bisa menjawabnya. Lalu siapakah peraih anugerah penghargaan bergengsi berskala dunia, “Nobel” , sepanjang sejarahnya?. Dan terakhir Negara mana sajakah yang dinyatakan sebagai Negara paling sejahtera dan aman di dunia?.
Ada sejumlah problem besar yang masih menghinggapi Kaum Muslimin hingga hari ini. Beberapa di antaranya adalah :
1 Sumber-sumber pengetahuan keagamaan kaum muslim secara mainstream sampai hari ini masih merupakan produk pemikiran/ijtihad kaum muslim abad pertengahan dalam nuansa Arabiai berikut budaya patriarkhismenya. Ia adalah sebuah sistem sosial yang memberikan otoritas kepada laki-laki untuk mengatur kehidupan bersama.
2. Konservatisme dan pengulang-ulangan suatu pemikiran atau pemahaman keagamaan yang dilakukan dalam waktu yang panjang dan tanpa kritik serta ditransfer melalui metode doktrinal, pada gilirannya akan melahirkan/membuahkan keyakinan banyak orang bahwa produk pikiran yang diwariskan itu adalah kebenaran agama atau keyakinan itu sendiri berikut seluruh makna sakralitas dan universalitasnya. Maka yang terjadi adalah universalisasi atas norma partikular dan kontekstual di satu sisi dan partikularisasi norma universal di sisi yang lain. Keadaan ini sesungguhnya berpotensi menimbulkan problem serius dalam dinamika kebudayaan dan peradaban. Cara pandang konservatisme yang berlarut-larut ini berpotensi berkembang menjadi radikalisme dan ekstrimisme kekerasan.
3. Rasionalitas tidak berkembang progresif, jika tidak boleh dikatakan mengalami stagnasi, mandeg. Aktifitas intelektual atau penggunaan akal tersebut bahkan acap distigma sebagai cara berpikir kaum liberal, sebuah istilah yang mengandung makna peyoratif. Terlampau sering dikutip sebagian orang pernyataan bahwa "orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan menggunakan akalnya adalah kesesatan yang akan mengantarkannya ke neraka".
4. Riset atas realitas kehidupan yang terus berubah dan berganti, mandek dan tidak berkembang. Peradaban teks "Hadharah al-Nash” masih begitu kokoh.
5. Kekerasan terhadap perempuan dalam segala bentuknya masih terus berlangsung di negeri muslim terbesar di dunia ini dalam skala yang terus meningkat. Sistem dan ideologi Patriarkhisme juga masih kokoh.
09.02.2020
HM
Advertisement