Lima Prinsip Utama Fikih Ikhtilaf Menurut Kiai Sahal Mahfudh
KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (almaghfurlah), ulama pesantren yang meninggalkan jejak pemikiran dalam Ilmu Fikih. Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI (1999-2014) ini banyak mewariskan pelajaran penting dalam sejarah panjang bangsa.
Kiprah dan perjuangan yang dipersembahkan begitu besar di berbagai aspek kehidupan. Ada banyak sisi unik dari ketokohan Kiai Sahal yang menarik untuk direfleksikan.
Dari sekian kompleksitas ketokohannya itu, fiqih ikhtilaf menjadi suatu hal yang tak terpisahkan ketika membicarakan Kiai Sahal sebagai figur umat, sebagaimana disampaikan oleh Direktur Lembaga Studi Kitab Kuning, Jamal Makmur Asmani, dalam acara Ngabuburit Kebudayaan yang diadakan oleh LBSPI Majelis Ulama Indonesia, secara daring akhir pekan lalu.
“Salah satu yang saya kagumi dari Kiai Sahal adalah tentang pemikiran beliau bagaimana beliau menjaga NKRI,” ungkapnya.
Kiai Sahal ingin menempatkan keberagaman umat dalam konteks kebangsaan. Ketegangan bangsa ke depan sudah dibaca dengan baik oleh Kiai Sahal sehingga lahirlah konsep berkebangsaan yang kemudian dikenal dengan “fiqh al-ikhtilaf”.
Sikap Inkulusif
Menurut Jamal, konsep ikhtilaf itu adalah bentuk nyata dari sikap inkulusif sejak beliau menuntut ilmu dengan rihlah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Kiai Sahal tidak merasa cukup dengan satu disiplin keilmuan, yang dari itu kemudian terbentuk inklusivitas berbangsa.
“Tapi anehnya, sebagai anak kiai, anak pemilik lembaga yang sah itu, beliau merasa tidak cukup di pesantren, tetapi beliau menambah kursus yang mungkin pada waktu itu terasa aneh,”
Sebagai orang yang banyak menulis biografi Kiai Sahal, fiqih ikhtilaf yang banyak memuat poin penting sebagai pedoman bangsa dalam membina keberagaman dirumuskan oleh Jamal menjadi beberapa hal pokok yaitu:
Pertama husnudzon (berbaik sangka) kepada sesama.
Kedua, menghargai pendapat orang lain selama masih ada dalil yang menunjukkan.
Ketiga, menghindari pemaksaan kehendak dengan mengatakan, “pendapatku benar, tapi bisa salah dan pendapat selainku itu salah, tapi bisa jadi benar”.
Keempat, mengakui perbedaan dalam masalah furuiyyah, dikaji secara ilmiah objektif-argumentatif, menyikapi secara terbuka dan tidak membesar-besarkannya yang justru kontradiktif dengan keberagaman.
Kelima, orang yang telah mengucapkan “laa ilaaha illallah” tidak bisa mudah dikafirkan karena kalimat tersebut adalah persaksian keimanan.
Rumusan pokok wacana fiqih ikhtilaf di atas, kata Jamal, adalah bentuk respons Kiai Sahal untuk meminimalkan ketegangan bangsa yang berpotensi membelah kesatuan NKRI.
“Fiqih ikhtilaf adalah usaha Kiai Sahal untuk menjaga NKRI, yang jika kita trnaformasikan menjadi suatu paradigma yang luar biasa,” jelas Jamal.