Lima Negara Tangguhkan Bantuan, Myanmar Makin Mencekam
Situasi di Myanmar makin mencekam. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar pertemuan secara tertutup membahas situasi di negeri tersebut, Rabu 31 Maret 2021, menyusul banyak korban jiwa yang terus berjatuhan.
Seorang diplomatik menyebutkan Inggris telah menyerukan pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB mengenai situasi di negara yang tengah dilanda kudeta.
Belum diketahui apakah Dewan Keamanan PBB akan menyetujui deklarasi baru di pertemuan akhir itu, sebab membutuhkan suara dari para anggota termasuk Rusia dan China.
Berikut Sikap Lima Negara atas konflik di Myanmar
1. Diplomat AS Diminta Tinggalkan Myanmar
Para diplomat Amerika Serikat (AS) beserta anggota keluarga diperintahkan meninggalkan Myanmar menyusul kondisi di negara itu yang semakin tidak kondusif.
Departemen Luar Negeri (Deplu) AS menyatakan, kekerasan oleh pasukan keamanan junta Myanmar semakin mematikan. Hingga Selasa, sebanyak 510 warga sipil tewas, sebagian besar karena ditembak pasukan keamanan.
Sebenarnya Deplu AS sudah meminta para diplomat non-daruratnya untuk meninggalkan Myanmar sejak 14 Februari, namun sifatnya sukarela. Selain itu deplu juga memperingatkan warganya untuk tidak melakukan perjalanan ke Myanmar.
"Militer Burma telah menahan dan menggulingkan pejabat pemerintah terpilih. Protes dan demonstrasi menentang kekuasaan militer masih terjadi dan diperkirakan akan terus berlanjut," bunyi pernyataan Deplu AS, dikutip dari Associated Press, Rabu 31 Maret 2021.
Pada Sabtu pekan lalu Pusat Budaya AS di Kota Yangon menjadi sasaran penembakan meski tidak menyebabkan korban luka.
"Kami bisa memastikan penembakan dilakukan di American Center Yangon pada 27 Maret. Tidak ada korban luka. Kami sedang menyelidiki insiden tersebut," kata Juru Bicara Kedubes AS, Aryani Manring, saat itu.
Tidak diketahui siapa yang melepaskkan tembakan, namun pada hari itu, bersamaan dengan peringatan Hari Angkatan Bersenjata Myanmar ke-76, pasukan keamanan bertindak sangat represif dengan menembaki demonstran.
2. Jepang Menahan Bantuannya untuk Myanmar
Jepang menangguhkan pemberian bantuan baru ke Myanmar sebagai respons atas kudeta militer bulan lalu, ungkap Menteri Luar Negeri Toshimitsu Motegi, Selasa 30 Maret 2021, setelah tindakan keras terhadap pengunjuk rasa menarik gelombang kecaman internasional.
Langkah itu menyusul kritikan bahwa Jepang mengambil sikap lunak terhadap Myanmar dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya yang telah menjatuhkan sanksi pada individu dan perusahaan yang terkait dengan junta militer yang menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi.
"Jepang adalah penyedia bantuan ekonomi terbesar untuk Myanmar, dan kami tidak merencanakan proyek baru. Kami telah mengambil sikap yang jelas," kata Motegi dalam sesi parlemen, seperti dikutip dari Kyodo News, Rabu 31 Maret 2021.
Motegi berpendapat bahwa menahan bantuan pembangunan resmi, atau ODA, akan lebih menekan militer daripada sanksi-sanksi tersebut, dengan mengatakan, "Jika Anda mempertimbangkan mana yang lebih efektif, saya pikir itu cukup jelas."
"Mengatakan adalah baik dan berani karena menjatuhkan sanksi dan menyebut pengecut bagi yang tidak, dikotomi seperti itu tidak masuk akal di panggung internasional," katanya.
Menurut Kementerian Luar Negeri, bantuan Jepang ke Myanmar yang berjumlah hampir 190 miliar yen ($1,7 miliar) pada tahun fiskal 2019, sejauh ini merupakan penyumbang terbesar selain Cina, yang tidak mengungkapkan data terkait.
Pasukan keamanan telah menggunakan kekerasan untuk memadamkan protes di seluruh Myanmar, dengan jumlah korban tewas mencapai 500 pada hari Senin menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok hak asasi manusia yang memantau situasi.
Jepang telah bergabung dengan anggota Kelompok Tujuh lainnya dalam mengutuk kudeta tersebut dan mendesak pembebasan Suu Kyi, Presiden Win Myint dan anggota Liga Nasional untuk Demokrasi lainnya yang ditahan, yang dengan tegas memenangkan pemilihan umum November lalu.
Militer merebut kekuasaan pada 1 Februari, mengklaim hasil pemilihan itu curang dan memberlakukan keadaan darurat satu tahun.
Tetapi Tokyo enggan menjatuhkan sanksi karena ikatan ekonominya yang kuat dengan Myanmar dan hubungan dengan militer, yang secara langsung memerintah dari tahun 1962 hingga 2011. Juga waspada bahwa Beijing akan memanfaatkan situasi tersebut dan meningkatkan pengaruhnya di negara tersebut.
Sekitar 450 perusahaan Jepang, sebagian besar di sektor manufaktur, beroperasi di Myanmar dan Jepang adalah investor asing terbesar kelima di sana, menurut pemerintah Myanmar.
3. Norwegia Minta Warganya Tinggalkan Myanmar
Pemerintah Norwegia memerintahkan seluruh warganya yang berada di Myanmar segera pulang. Hal ini disebabkan kondisi di negara itu semakin tidak kondusif akibat kekerasan aparat keamanan dalam menghadapi aksi unjuk rasa menentang kudeta.
"Masih memungkinkan untuk meninggalkan Myanmar tetapi ini dapat berubah dalam waktu singkat," demikian isi imbauan Kementerian Luar Negeri Norwegia, seperti dikutip Reuters, Selasa 30 Maret 2021.
Pemerintah Norwegia menyatakan sampai saat ini mereka dan negara di kawasan Skandinavia masih memantau ketat situasi di Myanmar.
Perusahaan telekomunikasi Norwegia, Telenor, mempunyai kantor perwakilan di Myanmar. Menurut juru bicara perusahaan itu, ada dua warga Norwegia yang menjadi petinggi di kantor perwakilan itu.
"Kami sudah menerima peringatan perjalanan dari Kementerian Luar Negeri dan akan segera mengambil penilaian utuh terkait kondisi ini," kata juru bicara Telenor yang tidak disebutkan namanya.
4. Kekerasan Myanmar, Rusia Buka Suara
Rusia prihatin dengan jumlah korban yang terus bertambah sejak aksi damai menolak kudeta militer Myanmar.
Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, meski Rusia memiliki hubungan lama dan konstruktif dengan Myanmar, namun bukan berarti mereka menyepakati peristiwa tragis di negara tersebut.
"Kami sangat prihatin dengan meningkatnya jumlah korban sipil," kata Peskov, seperti yang dikutip AFP, Selasa 30 Maret 2021.
Wakil Menteri Pertahanan Rusia Alexander Fomin dan pejabat lainnya bergabung dalam parade tahunan yang memamerkan kehebatan militer Myanmar pada akhir pekan lalu.
Dalam pernyataan yang dirilis, Fomin mengatakan Myanmar adalah sekutu dan mitra strategis yang dapat diandalkan Rusia di Asia Tenggara.
Moskow, menurut pernyataan itu juga ingin memperdalam kerja sama militer dan militer-teknis dalam semangat kemitraan strategis.
Pada parade tersebut, Rusia memamerkan peralatannya termasuk tank T-72, jet tempur MiG-29, dan helikopter Mi-24.
Sebelumnya, Pemimpin kudeta militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing menyatakan bahwa Rusia merupakan teman sejati.
Kedekatan mereka tercermin saat perwakilan Rusia hadir dalam peringatan Hari Angkatan Bersenjata yang dirayakan militer Myanmar.
"Rusia adalah teman sejati," kata Min Aung Hlaing mengutip Reuters.
Ada delapan delegasi internasional yang menghadiri acara itu di Myanmar termasuk perwakilan dari China, India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Laos, dan Thailand.
Semua negara itu mengirim perwakilan, hanya Rusia yang satu-satunya mengirim pejabat kementerian. Hal ini menjadi sorotan di tengah tekanan internasional terhadap junta meningkat pekan ini dengan sanksi baru Amerika Serikat dan Eropa.
5. Inggris Desak Sikap Tegas PBB
Pada 10 Maret, Dewan Keamanan PBB untuk pertama kalinya mengeluarkan deklarasi mengecam pasukan keamanan Myanmar yang menggunakan kekerasan menghadapi para pengunjuk rasa.
Dewan Keamanan tak akan setuju soal penyebutan "kudeta" atau kemungkinan sanksi internasional jika junta militer terus melakukan serangan kepada warga sipil.
Hal tersebut lantaran adanya penentangan dari China dan Rusia, termasuk anggota dewan Asia lain seperti India dan Vietnam.
Seorang diplomatik menyebutkan Inggris telah menyerukan pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB mengenai situasi di negara yang tengah dilanda kudeta.
Belum diketahui apakah Dewan Keamanan PBB akan menyetujui deklarasi baru di pertemuan akhir itu, sebab membutuhkan suara dari para anggota termasuk Rusia dan China.
Seiring gejolak aksi menentang kudeta yang terus berlangsung, tindak kekerasan militer juga tak terbendung.
Menurut laporan, aparat keamanan Myanmar tega menembaki massa yang melayat persemayaman jenazah seorang pedemo yang tewas di Bago, dekat Yangon, pada Minggu lalu.
Menurut keterangan tiga saksi, peristiwa itu terjadi saat sejumlah orang menghadiri persemayaman jenazah seorang mahasiswa, Thae Maung Maung (20), yang menjadi korban meninggal dalam unjuk rasa.