Lima Hal Penting Memahami Ayat-Ayat Lebaran
Sebentar lagi kita menghadapi Hari Raya Idul Fitri 1442 H. Setelah melewati hari-hari dalam beribadah bulan Ramadhan, rasanya kita segera berpisah dengan Bulan Penuh Berkah ini.
Sampailah kita pada Hari Kemenangan, Idul Fitri Mubarak. Untuk itu, kita perlu memahami sejumlah hal penting. Setidaknya, ada Lima Hal Penting Jelang Idul Fitri, tentang Ayat-ayat Lebaran. Yakni, meliputi:
1. Seputar Zakat
2. Takbir Hari Raya
3. Shalat ‘Id
4. Bermaaf-Maafan dan Silaturahmi
5. Berpisah dengan Ramadhan
Untuk memahami dan memperjelas hal itu, berikut merupakan catatan Zainul Hasan dalam Esoterika-Forum Spiritualitas.
1. Seputar Zakat
Zakat merupakan seremonial lebaran Idul fitri. Zakat merupakan ibadah yang diwajibkan pada tahun kedua dari hijrahnya Nabi Saw. Terdapat banyak pembahasan menarik dalam hikmah (filosofis) serta aspek hukum fiqih zakat (yurisprudensi) yang tidak mampu semua disebutkan disini.
Kewajiban zakat Fitri terdapat banyak landasan dalam al-Quran, baik yang menggunakan redaksi 'Tunaikanlah Zakat' (أتوا الزكاة) maupun redaksi yang lain. Dan biasanya perintah zakat bergandengan dengan perintah shalat, karena kompleksitas shalat sebagai ibadah personal (فردية) harus diimbangi dengan ibadah sosial (متعدية). Namun kita tidak akan membahas ayat-ayat ini. Kita mengambil ayat lain karena selera tertuju pada ayat-ayat itu.
Mari kita rujuk pada ayat 265 surat al-Baqarah, yang menjelaskan bahwa orang yang berzakat serupa dengan orang yang menanam di dataran tinggi yang tanahnya dicurahi air hujan, sehingga petani tadi bisa memanen dua kali dalam satu tahun (فآتت أكلها ضعفين). Kemudian nyambung pada ayat 261 yang menjelaskan tentang orang yang berzakat (infaq) seperti orang menanam satu biji menumbuhkan tujuh bulir, dan dari tujuh bulir masih dilipatkan seratus.
Dari kedua ayat di atas, kita pahami zakat menurut bahasa adalah ‘berkembang/bertambah'. Dari 1 mampu berkembang menjadi 700: 1=7x100=700+2 kali panen.
Dari ayat lain yang menjelaskan zakat terdapat pada ayat 14 surat al-A'la (قد أفلح من تزكى) dan ayat 9 surat al-Syams (قد أفلح من زكاها ). Yang menuturkan bahwa orang yang zakat akan mendapatkan keberuntungan atau kesuksesan. Mari kita ingat permulaan surat al-Mukminun (قد أفلح المؤمنون ).
Dari sini kita pahami bahwa ada kata 'aflaha' yang berarti 'keberuntungan, kesuksesan' khususnya dalam bidang pertanian. Mengapa? Karena kata aflaha bisa menjadi ‘fallah' (فلاح) yang berarti 'petani'. Kesimpulan sementara kita bahwa zakat dari ayat al-Baqarah dan surat al-A'la, al-Syams, dan al-Mukminun, mengarah pada point-point berikut: zakat: petani, keuntungan besar/ panen dua kali, orang mukmin.
Dari segi tujuan, zakat bertujuan untuk mensucikan harta yang dimiliki orang mukmin. Oleh karenanya datang makna kedua bahwa zakat bermakna ‘membersihkan, mensucikan', sebagaimana dua ayat zakat yang dimulai aflaha (aflahain).
Perlu kita percayai bersama bahwasanya zakat menjanjikan kesuksesan bagi penunainya, kesuksesan ini bisa dua, dunia dan akhirat.
Penjelasan: Kata 'mukmin' (مؤمن) beda dengan kata ‘amana/yu'minu’ ( آمن-يؤمن). Kata amana-yu'minu berarti orang yang telah sempurna imannya. Sedangkan kata mukmin, tidak berkenaan dengan waktu (karena terdiri dari isim fa'il) dan juga berarti orang yang terus mencoba menyempurnakan imannya, tentunya dengan proses bertahap seperti amal baik dan seterusnya, sebagaimana al-Anfal ayat 2:
إنما المؤمنون إذا ذكر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم آياته زادت هم إيمانا
Kenapa harus pertanian?
Kenapa ayat-ayat zakat berkaitan erat dengan cocok tanam?
Jawaban: banyak kita temukan ayat-ayat Al-Quran menjelaskan tentang pertanian. Tani itu dalam riwayat adalah kasabnya Nabi Adam as. Dan tani merupakan pekerjaan paling menenangkan ketimbang pekerjaan yang lain. Petani tidak diburu waktu dan target. Sesekali petani dapat menghibur diri ketika melihat hijau sawah, lebat buah, dan pesona tumbuhan di pagi dan sore hari, itulah mengapa tani adalah pekerjaan paling ringan dan paling tenang.
Selain alasan itu, karena tani adalah sumber pokok dari rezeki yang diberikan Allah swt pada makhluknya, melalui pengelolaan tanah yang baik dan perawatan tanaman yang baik pula, maka dari hasil bertani ini, secara tidak langsung kita memberi makan manusia di bumi dan membuka ladang pekerjaan baru. Dalam arti yang lebih luas, tanah adalah intisari dari kehidupan manusia: manusia tercipta dari tanah, makan dari hasil tanah, dan akan kembali ke tanah.
###
Kembali kepada surat al-A'la, al-Imam Fachruddin Arrozi menyebutkan dua pendapat: zakat yang dimaksud (dalam surat al-A'la) adalah zakat harta (baik zakat Fitri atau zakat maal itu sendiri) atau berupa zakat (penyucian) tubuh dan jiwa dari perbuatan-perbuatan kufur dan akhlak tercela.
Maka, seorang mukmin dituntut untuk membersihkan hartanya dari ketidakjelasan (syubhat) dan barang haram, sekaligus membersihkan hatinya dari keyakinan yang salah dan moral-moral yang tidak terpuji.
Hikmahnya zakat menurut Ali Ahmad al-Jurjawi minimal ada 3:
(1) Zakat dalam rangka membantu sesama yang kurang mampu secara ekonomi atau menolong yang teraniaya, seperti orang miskin, orang faqir, mushafir, korban perampokan, korban bencana, dan lain-lain.
(2) Zakat sebagai media pembersihan hati dari dosa-dosa dan terus mencoba akhlak terpuji seperti akhlak dermawan dan jauh dari akhlak kikir.
(3) Zakat itu demi mensyukuri nikmat-nikmat Allah swt. Allah memberi nikmat harta pada orang-orang kaya, dan Allah mewajibkan syukur harta dengan menzakati harta/nikmat yang Allah telah berikan.
Dari ketiga hikmah ini mungkin sudah jelas dan biasa kita dengarkan di audiensi keagamaan, panggung-panggung ceramah, dalam halaqah/majlis, atau dalam kelas formal. Akan tetapi dari beberapa hikmah ini masih banyak yang kurang menyadari bahwa kehadiran zakat sebagai kewajiban orang Islam, ternyata belum mampu mewujudkan karakter luhur dalam sikap sosial.
Kepekaan sosial kita sering terdesak oleh kepentingan pribadi yang sifatnya kurang penting. Yang kaya bukan semakin perhatian pada yang minim ekonominya, malah makin menindas dan mengucilkannya. Dampaknya, kehidupan timbang sebelah dan justru kesengsaraan akan melanda.
"Bila orang yang berzakat tidak kunjung peka terhadap orang tak punya. Bila orang yang rutin berzakat setiap tahun namun sikap kikirnya masih bersemayam dalam ingatan, atau masih mengira harta dan dunia adalah segalanya, bisa dikata bahwa orang ini tidak mengerti arti zakat sebenarnya."
Dari data di atas, zakat sekadar seremonial kewajiban yang dijalani orang mukmin dunia setiap tahun. Bukan dalam rangka benar-benar bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan pada kita setiap saat. Oleh karena itu, Zakat yang harus dikeluarkan itu cukup sederhana yakni makanan pokok yang biasa dimakan setiap hari.
Bagi yang kesehariannya makan nasi-beras, maka zakatnya beras. Bagi yang makanan pokoknya adalah nasi-jagung, maka jagung. Meskipun pada masa sekarang kita sulit mencari keluarga yang makan nasi-jagung atau nasi-aking setiap hari. Itulah mengapa harta yang dikeluarkan untuk zakat hanya 1 sha' (2,7 kg) saja, sebagaimana dalam surat al-Taubah ayat 103 Allah menyuruh mengambil sebagian dari harta orang Islam.
Ingat, sebagian saja, tidak semua harta yang kita miliki. Ukuran 1 sha' ini menurut Al-Dahlawi adalah kadar yang dapat menutupi rasa lapar sekeluarga dari orang fakir. Ada juga ulama yang berpendapat lebih dari 1 sha' dengan alasan dan dalil masing-masingnya. Satu sha' ini biar tidak memberatkan pada orang muslim laki-laki dan perempuan, kaya maupun miskin, budak ataupun merdeka, atau karena ada-tidaknya tanggung jawab.
Dalam surat al-Taubah ayat 103:
خذ من أموالهم صدقة تطهرهم و تزكيهم بها وصل عليهم
Allah semakin nampak menjelaskan pada manusia bahwa zakat adalah ajang membersihkan diri lahir (thahir) dan bathin (zakah) melalui sebagian harta yang dimiliki manusia agar supaya kehidupan bisa tenteram dan tidak pincang (إن صلاتك سكن لهم).
###
Untuk waktu Zakat Fitri ulama fikih menetapkan semenjak permulaan Ramadhan sampai sebelum didirikannya shalat ‘Id.
Adapun orang-orang yang berhak menerima zakat kita tidak akan bahas disini. Maaf... Namun ada pendapat, di antara orang-orang yang berhak menerima zakat sebagaimana dalam ayat 60 surat Al-Taubah adalah orang memiliki hutang besar (الغارمين) dan orang berjuang dijalan Allah (في سبيل الله).
Dulu sewaktu kecil, kita dengar bahwa orang yang berjuang di jalan Allah SWT diartikan para kiai, ulama, atau guru, dan tidak dicukupkan pada para mujahidin saja. Meski diartikan seperti itu memang tidak salah, akan tetapi pengartian semacam ini kurang pas untuk masa sekarang. Sebab rata-rata dari kiai, pengasuh pesantren, apalagi guru (yang sekarang telah ada tunjangan khusus untuk para guru tepatnya guru honorer atau sertifikasi guru), sulit mendapatkan mereka-mereka ini hidup melarat. Memang keberhakan zakat kepada mereka adalah sebagai reward atas jasa dan pengabdian. Namun dalam aspek lain, masyarakat dan pemerintah telah memiliki cara sendiri untuk menghargai posisi mereka, maka kurang pas bilamana orang yang berjuang dijalan Allah Swt adalah guru dan kiai.
Lalu ada yang protes pada saya: "Bukankah dijaman sekarang tidak berlaku lagi perang fisik melawan orang non-Muslim, jihad orang Muslim di jaman sekarang adalah memerangi kebodohan dan kemiskinan?"
Jawab saya: "Semestinya harus begitu kawan, akan tetapi realita di masyarakat pedesaan, zakat banyak diberikan pada para kiai yang jelas-jelas sudah kaya dan hidup mewah, sehingga mereka melupakan tetangga-tetangga mereka yang jelas-jelas hidupnya melarat". Adapun makna yang lebih pas untuk 'fi sabilillah' adalah tentara atau pejuang Islam yang tidak dibayar. (Ini pendapat saya pribadi).
Selanjutnya, orang yang memiliki hutang besar untuk kebutuhan yang mubah berhak menerima zakat. Singkat saja alasan saya: "Bisa jadi seorang pencuri atau tukang ghasab, mengambil/menggunakan harta orang lain karena memang didesak oleh kebutuhan yang menuntutnya segera. Bisa jadi, orang yang memiliki hutang sebesar gunung, berani berhutang karena mereka memang didesak kebutuhan hidup". Oleh karena itu, perlulah di sini para agamawan dan hartawan memberikan perhatian khusus kepada sekitarnya yang benar-benar butuh terhadap uluran tangan, demi menciptakan tatanan masyarakat yang stabil dan pemerataan ekonomi.
Terakhir dari pembahasan zakat, zakat adalah ibadah yang menitik beratkan pada material (عبادة مالية). Maka seyogyanya kita menempatkan harta (dalam bentuk apa saja) sebagai barang titipan yang bisa saja sewaktu-waktu Allah mengambilnya kembali
(وتؤثرون الحياة الدنيا و الأخرة خير وأبقى)
Maka karena dalam harta yang Allah berikan pada kita melalui usaha dan bisnis akan ada ketidak-murnian didalamnya, baik dalam bibit-modal, proses mengolah, atau pembagian hasilnya, maka dari ini mestilah kita bersihkan dengan jalan sedekah, infaq, dan zakat.
2. Takbir Hari Raya
Setelah Allah menjelaskan perintah puasa untuk orang yang beriman, dalam surat al-Baqarah ayat 185 ada perintah lagi untuk mengagungkan Allah swt atas petunjuknya (ولتكبروا الله على ما هداكم) yang telah diberikan pada orang-orang mukmin yang melaksanakan puasa dengan lengkap dan sempurna (ولتكملوا العدة) di bulan diturunkannya al-Quran yaitu Ramadhan.
Jelas kan.....
Coba kita ingat-ingat lagi lafadz 'Allahu Akbar/ Kabir/takabbur'. Disini kita pahami bahwa tidak ada yang lebih agung ketimbang Allah. Kebesaran idemu yang dapat menembus perenungan, alam bawah sadar, atau menghasilkan teori ketuhanan sekalipun, Allah jauh lebih besar dan lebih agung dari itu semua. Bumi yang kita tempati Indonesia, meski tidak seluruh pelosok Nusantara kita bisa menginjakkan kaki, apalagi di seluruh persada bumi yang luasnya bisa menampung makhluk-makhluk dari zaman dulu sampai sekarang. Kebesaran Allah melebihi itu semua.
Ini bukan soal lebih besar atau lebih agung, melainkan karena memang Allah swt Maha Besar (الله اكبر), andai kebesaran Allah ada kelebihan dari yang lain, seakan ada kesempatan dan kemungkinan bahwa Allah itu bisa dibandingkan, diukur, disamakan dengan selain Allah yakni alam. Lagi pula, kebesaran Allah itu tidak hanya bisa dibuktikan dengan rasionalitas, melainkan juga bisa dirasakan oleh jiwa kesadaran. Banyak yang menerima akal-akalan kelemahan alam, tetapi jiwanya masih memberontak dan selalu bertentangan haluan dengan kebesaran Allah swt.
Contoh saja sifat sombong (takabbur) dalam jiwa. Ketika manusia bersombong-sombong atas apa yang ia miliki, maka ketika itulah akan hilang kebesaran Allah dalam jiwanya. Artinya sifat takabbur bisa menghanguskan sifat akbar-nya Allah dalam setiap jiwa manusia.
Nah, pecahan dari kata Kabir dan takabbur adalah takbir itu sendiri.
Takbir berasal dari kata 'kabbara-takbiron' yang bermakna “mengagungkan, membesarkan, atau membesar-besarkan”. Dari makna ini kita bisa memahami bahwa membesar-besarkan Allah setidaknya jangan sampai mengakibatkan jiwa manusia menjadi besar, sehingga ia akan sombong dan merasa lebih dari manusia lain bahkan merasa lebih dari Allah itu sendiri seperti Fir'aun.
Dari makna di atas itu pula, kita pahami bahwa apabila hatimu tidak mampu menghadirkan kebesaran Allah secara gampang dan nyata, maka kau wajib membesar-besarkan Allah dalam jiwa dan akalmu dengan bantuan apa saja (dibuat-buat), yang pada intinya akan mengantarkanmu pada kesebenar-benaran jiwamu untuk mengagungkan Allah SWT.
Kembali lagi ke potongan ayat (ولتكبروا الله على ما هداكم لعلكم تشكرون). Kita beri analogi seperti ini: Presiden memberi bantuan sebesar 1 milyar pada korban Sunami, kemudian sekeluarga sunami itu membalas pemberian pak Presiden dengan selalu mendoakan dan mengingat (mengenang jasa) sepanjang waktu. Dan bila memiliki kesempatan bertemu langsung dengan Presiden keluarga sunami akan berterima kasih dengan menyalami Presiden dengan tangan erat, kepala menunduk sebagai tanda penghormatan. Itu analogi syukur korelasinya dengan takbir.
###
Dari segi bahasa, lafadz takbir itu terambil dari bentuk ‘tafdhil' bukan dari mashadar-nya. Dan saking pentingnya, lafadz takbir harus diucapkan di setiap pergantian rukun dalam shalat, dan haram mengubahnya dengan lafadz-lafadz lain meskipun sama-sama thayyibah (seperti اعظم، اجل).
###
Dari keutuhan ayat 185 ini memiliki persyaratan untuk bertakbir atau mengagungkan Allah swt. Diantara syaratnya: (1) setelah melaksanakan puasa secara sempurna sampai tanggal terakhir Ramadhan. (2) setelah membayar zakat fitrah (Dalam bahasa Hadits adalah zakat Fitri).
Kemudin kapan kita bertakbir atau berhari raya? Kita berhari raya setelah jelas hilal bulan Syawal telah muncul. Maka ayat (ولتكملوا العدة) bisa dipahami dengan ayat sebelumnya (فمن شهد منكم الشهر), dan yang dikatakan ‘syahr' dalam ayat ini adalah 'hilal' bukan bermakna 'bulan' (baca al-Baqarah: 189). Lebih jelasnya, apabila pada hari ke 29 belum ada kabar yang valid, baik dari ahli falak atau ahli ru’yah bersama ahli hisab apakah hilal sudah terlihat, maka sempurnakanlah menjadi 30 hari (Tidak berefek adanya ru'yatul hilal di malam ke-30 dari Ramadhan). Sebagaimana data dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, untuk memastikan masuknya bulan dalam kalender Hijrah adalah dengan memperhatikan faktor ketampakan (visibilitas) hilal mencapai 6,3 derajat dan tinggi bulan 3 derajat), apabila hilal mencapai angka tadi berarti sudah masuk bulan Syawal.
Nah, setelah jelas nampak Hilal bulan Syawal, maka kau boleh merayakan dengan gembira atas usaha dan ibadahmu semenjak awal Ramadhan, bahwa kau telah mampu menahan (shaum) diri untuk tidak makan, tidak minum, ngerokok, jimak, dan mengendalikan nafsu.
Disunnahkan bertakbir ketika lebaran Idul Fitri sejak terbenam matahari pada malam tanggal 1 Syawal s/d selesainya shalat 'Id. Sedangkan untuk Hari Raya Idul Adha disunnahkan sampai tiga hari setelahnya (Hari-hari Tasyriq).
Disunnahkan juga menggemakan bacaan takbir di setiap rumah, pasar, dan masjid, dengan pengeras suara atau media sosial. Ketentuan ini hanya berlaku bagi orang lelaki saja, sedangkan bagi perempuan dilarang bilamana didengar atau didampingi orang yang bukan mahramnya. Itulah yang dilugaskan Imam Nawawi al-Bantani.
Terakhir, lafadh takbir hari raya:
الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله و الله أكبر الله أكبر ولله الحمد، الله أكبر كبيرا و الحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا، لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه ، مخلصين له الدين ولو كره الكافرون، لا إله إلا الله وحده صدق وعده ونصر عبده وأعز جنده و هزم الأحزاب وحده.
3. Shalat ‘Id
Setelah selesai menunaikan ibadah puasa Ramadhan dan membayar zakat Fitri, tibalah orang-orang mukmin menghadap Allah dengan kondisi suci dan penuh pengharapan, itu kita istilahkan dengan Shalat ‘Idul Fitri.
Mari kita rujuk lagi pada surat al-A'la. Pada lanjutan ayat diatas Allah menetapkan rentetan ibadah pada hari Idul Fitri, mulai dari Zakat, Takbir lalu shalat (من تزكى و ذكر اسم ربه فصلى). Shalat ‘Id adalah shalat dua rakaat secara berjamaah yang dikerjakan di tempat luas, lalu dilanjutkan dengan dua khutbah hari raya.
Pada ayat 103 surat al-Taubah juga membahas tentang shalat ini:
وصل عليهم بها إن صلاتك سكن لهم
Dalam ayat ini shalat bisa menjadi tenang apabila kondisi sosial tenang. Maka untuk mendapatkan shalat yang khusuk haruslah khusuk dan melepas masalah-masalah diluar shalat, supaya shalat yang dikerjakan mampu menjadi taming dari perbuatan keji dan biadab (تنهى عن الفخشاء والمنكر).
Diharapkan dari shalat 'Id akan membentuk jiwa spiritual mendalam pada sang Maha Esa dan jiwa yang responsif terhadap kemasyarakatan.
Pemahaman zakat Fitri dan shalat 'Id pada ayat diatas didukung banyak mufassir, termasuk Ibnu Abbas, Muqotil, dan tokoh lainnya.
Apa di balik shalat 'Idul Fitri?
Salat 'Idul Fitri secara bahasa 'Id berarti kembali atau meninggalkan tempat alihan ke tempat semula (tempat asal). Dan Fitri berarti kesucian/watak asal manusia yang disiapkan untuk menerima keberadaan ajaran-ajaran Allah (agama Islam).
Walhasil dari beberapa pemaknaan tadi, kita pahami bahwa shalat 'Idul Fitri bertujuan untuk mengasah karatnya hati, jiwa, karakter, dari membiarkan atau memakainya, ke sebuah titik awal yang bisa menkinclongkan kembali kehendak Tuhan dan tujuan agama.
Salat 'Id bisa juga menjadi penutup dari rangkaian kegiatan Ramadhan dan permulaan menghadapi satu tahun selanjutnya sampai datang kembali Bulan Ramadhan. Dan imam shalat dan khatib tidak harus satu orang, bisa dilakukan oleh dua orang yang memiliki bakat dan bekal ilmu keagamaan yang mumpuni.
Sedangkan untuk rakaat pertama disunnahkan membaca surat al-A'la dan rakaat kedua disunnahkan membaca surat al-Ghasyiyah/al-Qodr. Sedangkan untuk materi khutbahnya harus menyinggung soal puasa, zakat, dan puasa 6 hari bulan Syawal.
Terakhir, orang-orang muslim ketika keluar rumah menuju lapangan atau masjid, dianjurkan berjalan perlahan dengan kondisi bersih, wangi, dan bila ada mengenakan baju paling bagus. Sebagai ekspresi kegembiraan bahwa hari kemenangan umat Islam telah di depan mata.
Namun hari raya bukanlah identik dari bagusnya busana, melainkan hari raya sejati ketika ketakwaan kita semakin bertambah, itulah ungkapan indah salah satu pujangga:
ليس العيد لمن لبس الجديد # ولكن العيد لمن طاعته تزيد
4. Bermaaf-Maafan dan Silaturahmi
Dalam surat al-Syura ayat 40, ada menyinggung perihal dosa dan cara pembalasannya:
Islam adalah agama satu-satunya yang kitab dan ajarannya memuat peraturan kriminalisme. Dalam agama, boleh membalas tindakan kriminal sesama muslim asalkan balasannya sepadan, itu kita sebut dengan Qishash (al-Baqarah 178).
Akan tetapi agama tidak hanya mengajarkan pembalasan tindakan yang merugikan orang lain. Agama mengajarkan yang lebih luhur dari itu, yaitu memaafkan. Memaafkan akan kesalahan dan dosa orang lain kepada kita.
Bagaimana surat as-Syuro mengajarkan moral ihsan pada kita?
Orang yang teraniaya diberi kebolehan membalas perbuatan setimpal pada penganiaya. Rekomendasi ini berlaku agar perbuatan kriminal bisa diminimalisir dari atas bumi. Nyatanya, pelanggaran norma dan peraturan semakin banyak, bahkan dilakukan oleh orang yang pakar hukum atau tokoh agama. Mengapa ini masih terjadi?
Kita jawab: Manusia memiliki keinginan dan potensi untuk melanggar norma, baik karena dorongan diri sendiri (nafsu) atau karena faktor luar (setan/setan bertubuh manusia). Pada kasus seperti ini peraturan tetap ditegakkan, sanksi harus ditetapkan meski pada orang yang berpangkat ataupun tokoh, tidak pandang bulu. Adapun sikap kita sebagai muslim, posisikanlah pelaku kriminal itu tetap sebagai manusia, yang bisa jadi mereka melanggar norma sesekali atau beberapa kali. Jangan melihat pelaku kriminal dari aspek posisinya yang pejabat atau rakyat biasa, kiai atau santri, tokoh atau petani.
Maka, nilailah orang lain dengan penilaian yang baik-baik. Sebaliknya, nilailah untuk kita pribadi apa yang jelek-jelek.
Landasan ayat tentang kebolehan membalas kesalahan dengan kesalahan, yang diperhalus kata sebagai upaya membela diri.
Lihat ayat berikut:
والذين إذا أصابهم البغي هم ينتصرون - وجزاء سيئة سيئة مثلها - ولمن انتصر بعد ظلمه فألئك ما عليهم من سبيل - الشورى: ٣٩-٤١
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى، الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى - البقرة: ١٧٨
وكتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس والعين بالعين والأنف بالأنف والأذن بالأذن والسن بالسن والجروح قصاص - المائدة: ٤٥
Moral tingkat kedua: orang muslim yang baik bukan membalas kesalahan orang lain dengan kesalahan yang sama, meski itu dihalalkan agama. Memaafkan adalah jalan terbaik ketimbang menuntut balas. Dan memaafkan lebih sulit daripada meminta maaf, karena si pemberi maaf telah dirugikan sebelumnya, ia harus meredam emosi dan dendam, dan ia juga dituntut melupakan kesalahan si peminta maaf.
Oleh karena itu Allah bilang good job bagi yang gampang memaafkan dosa orang lain pada dirinya, sebagimana surat al-Syuro (فمن عفا), surat al-Baqarah (فمن عفي له من أخيه شيء), dan surat al-Maidah (فمن تصدق فهو كفارة له).
Sungguh indah sekali ayatmu, Ya Allah.
Moral tingkat ketiga: memang agama membolehkan membalas, menganjurkan memaafkan, akan tetapi apabila mengganti kesalahan orang lain kepada kita dengan perbuatan baik, Allah memberi nilai super atas perbuatannya ini. Sebab orang yang seperti ini tidak hanya melupakan dosa orang lain, meredam emosi dan dendam, tetapi ia juga mampu memaafkan sekaligus mampu mengasah hati dan pikirannya untuk lebih tawakkal, lebih taqwa, dan mencari jalan paling baik dari semua jalan yang terbaik.
Biasanya orang seperti ini berpikiran bahwa semua hal kehidupan seyogyanya dikembalikan kepada Allah semata, dan tugas manusia di atas bumi adalah untuk menciptakan kedamaian dan keharmonisan.
Inilah akhlak orang-orang mukmin sebenarnya (أخلاق المصلحين والمتقين), sebagaimana firman Allah dalam surat al-Syuro (وأصلح فأجره على الله), Yunus 27 (والذين كسبوا السيآت جزاء سيئة ترهقهم ذلة), al-A'raf 199, al-Imron 152, dan al-Baqarah 52.
###
Dari deretan ayat-ayat diatas kita tahu bahwa:
(1) Memberi maaf adalah akhlak mulia, sedangkan membalas kesalahan dengan kebaikan jauh lebih mulia, karena Allah sendiri yang menjamin pahalanya.
(2) membalas kesalahan dengan kesalahan bukan semakin menyelesaikan masalah, justru semakin memperkeruh dan menambah teruknya dendam-permusuhan.
(3) orang mukmin dituntut meneladani sifat Allah yang maha pengampun.
Maka dihari kemenangan ini, marilah kita lupakan segenap dosa orang lain yang pernah timpakan pada kita, baik itu disengaja, terdesak, maupun karena terpaksa. Kita salami tangan mereka sampai garis tangan kita dengan garis tangan mereka menyatu, membentuk pertemuan tangan yang melambangkan bahwa kita saudara.
Kita tertarik mengutip satu tulisan: jika aku salah jangan disalahkan, jika aku keliru jangan disesatkan, kita bukan Tuhan yang bisa menentukan, tetapi sesama ciptaan yang wajib saling mengingatkan.
Terakhir masalah silaturrahmi. Silaturrahmi di saat lebaran adalah moment yang tidak bisa dihapus. Sanak famili berkumpul di satu tempat lengkap dengan nampan besar berisi berbagai macam hidangan ala lebaran. Dari opor ayam sampai jajan-jajanan ada di sana. Yang dari kota mudik ke kampung biar bisa menjalin ikatan yang telah lama terpisahkan. Yang dari desa sebelah berangkat ke desa sebelahnya. Yang memiliki mertua, berangkat ke rumah mertuanya, yang tidak punya, mungkin cukup update status jomblo saja, hehe. Pokoknya beginilah pemandangan indah hari lebaran.
Kita tidak akan kutip dan bahas ayat, sekedar satu potongan puisi keren dari Abdul Ghaffar Akhras:
فليس العيد ما أوفى بعيد # ولم أشهد به ذاك الجنابا
Hari raya bukan karena menemui (famili, teman, dan kekasih) yang berada di jauhnya tempat. Melainkan hari raya sejati ketika orang-orang sekeliling berada dekat hati.
Artinya: hari raya adalah mendekatkan yang dekat, bukan menjauhi yang dekat. Hari raya mendekati yang jauh, bukan mengabaikan yang jauh.
5. Berpisah dengan Ramadhan
Kita boleh merasa menang setelah sebulan berpuasa, menahan nafsu dan tingkah negatif, namun siapkah kita berpisah dengan Ramadhan penuh berkah ini. Bulan yang mungkin kita melalaikan satu detik selain untuk kebaikan dan ibadah. Bulan mulia yang mungkin saja bulan depan kita tak bertemu lagi.
Bulan mulia yang kemuliaannya di atas kemuliaan:
شهر رمضان الذي أنزل فيه القرأن، هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان - البقرة ١٨٥
إنا أنزلناه في ليلة القدر - إلى آخر الأية - القدر: ١-٥
إنا أنزلناه في ليلة مباركة، إنا كنا منذرين - الدخان : ٣
كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون - البقرة : ١٨٣
Kemuliaan Ramadhan tidak bisa dipisahkan dari kemuliaan-kemuliaan yang lain:
(1) Waktu al-Quran diturunkan. Diturunkan sekaligus pada malam Lailatul Qodr ke Lauhul Mahfudh/Jibril lalu Jibril menurunkannya secara bertahap (Tadriji) kepada Nabi Muhammad Saw.
(2) Waktu melaksanakan puasa wajib selama satu bulan full.
(3) Kemulian malam seribu bulan yaitu Lailatul Qodr, yang kebaikannya setara dengan 50.000 (lima puluh ribu) tahun:
وإن يوما عند ربك كألف سنة مما تعدون - الحج : ٤٨
تعرج الملائكة والروح إليه في يوم كان مقداره خمسين ألف سنة - المعارج: ٤
Secara matematik Kebaikan seribu bulan kurang lebih 80 tahun 4 bulan.
Demikian banyak hikmah dan kemuliaan Ramadhan yang tidak bisa dihitung jemari, mulai dari suasana khasnya, hilir-laju orang-orangnya, serta amal ibadah yang itu sendiri. Kuatkah kita menahan rindu kepada Ramadhan, dan terus berbenah dari bulan syawal.
Dan paling terakhir: Orang Arab menamai bulan setelah Ramadhan dengan nama Syawal. Pada bulan ini adalah masa untuk mengawinkan unta mereka. Terambil dari kata 'Syaulan' (شولا) yang berarti 'Mengangkat', hal ini karena ketika tiba masa kawin, ekor-ekor unta secara sendiri akan diangkat.
Fenomena inilah yang membuat orang-orang Arab menamai bulan dengan Syawwal: bulan yang banyak mengangkatnya.
Sekian.!
Bakeong, 10 Mei 2021 M/28 Ramadhan 1442 H.
Semoga bermanfaat dan barokah#Semoga Ramadhan Milik Kita#Esoterika-Forum Spiritualitas
Advertisement