Lima Hal Penting, Konsep Makrifat Al-Ghazali dan Ibnu Arabi
Eksistensi manusia, akal dan watak manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dibicarakan dalam tasawuf. Sebuah kajian A. Zaini Dahlan, tentang Konsep Makrifat menurut Imam Al-Ghazali dan Ibnu Arabi, dalam Buku kumpulan disertasi S3 Kajian Timur Tengah UGM, berjudul "Menggagas Formulasi Baru Tentang Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab" memberi gambaran tentang pokok penting dalam tasawuf.
A. Zaini Dahlan, mengajukan Simpulan menarik. Setidaknya, ada Lima Hal Penting dalam menyoal Konsep Makrifat dalam pandangan Imam Al-Ghazali dan Ibnu Arabi.
Pertama
Dengan menggunakan teori resepsi, dari teks dihasilkan beberapa paham atau ajaran dalam tasawuf, yaitu makrifat al kasyf (al Ghazali), ittihad(Abu Yazid al Busthami) hulul (al Hallaj) dan Wihdatul Wujud (Ibnu Arabi). Teori resepsi adalah teori sastra yang dianggap kontemporer. Sebaliknya, bila menggunakan teori penafsiran klasik, maka lebih cenderung akan mempertahankan bahkan memperkuat tradisi heresiograpi yang berakibat buruk dan memicu timbulnya konflik teologis.
Kedua
Pada masing-masing aliran atau komunitas suatu golongan ada persamaan-persamaan paham disamping ada perbedaan diantara mereka. Pada tataran kesamaan paham dalam “nodes”, sebagai indikasi nilai universal, dijadikan basis untuk membangun kesatuan umat.
Sementara pada tataran “perbedaan”, dibangun paradigma teologis dan psikologis yaitu satu kesadaran bahwa kebenaran bersifat pluralis yang merefleksikan masing-masing aliran bersikap saling menghargai dan menghormati terhadap sesamanya.
Ketiga
Melalui pendekatan tafsir klasik, ajaran makrifat dipahami sebagai terbukanya rahasi-rahasia keTuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada.
Ajaran ini diungkap oleh para sufi aliran Sunni. Sementara melalui pendekatan tafsir kontemporer, ajaran makrifat dipahami sebagai al Ittihad, al Hulul dan Wihdatul Wujud. Dan paham ini didukung oleh para sufi aliran falsafi.
Keempat
Alat untuk bermakrifat menurut al-Ghazali adalah qalb (hati), bukan indra dan juga bukan akal. Hati, menurutnya, bukanlah organ tubuh yang berada dalam rongga dada sebelah kiri manusia, tetapi merupakan anugerah spiritual Tuhan.
Memang terkadang ada hubungan antara hati fisik manusia dengan hati (anugerah spiritual Tuhan). Sementara menurut Ibnu Arabi makrifat tidak memerlukan alat karena merupakan “dzauq”, yaitu cahaya pengetahuan yang diberikan Tuhan ke dalam hati para wali-Nya dengan cara penampakan diri-Nya sehingga bisa mengetahui hal-hal yang benar dan yang salah dengan tanpa mengambilnya dari buku atau lainnya. Mirip seperti gnosis dalam filsafat.
Kelima
Konsep ittihadyang dibangun oleh Abu Yazid al-Busthami sekali pun orientasinya adalah bersatunya Tuhan (al-Khalik) dengan hamba (al-Khalq) sebagaimana hulul, tetapi pada proses penerapannya merupakan kebalikan dari “hulul”.
Bila dalam hulul, Tuhan yang “turun level” untuk “bersatu” dalam manusia maka dalam ittihad manusia (khalq) yang turun untuk berupaya “naik” untuk bersatu dengan Tuhan (al-Khalik). Persamaan keduanya baik hulul maupaun ittihad dicapai dengan upaya riyadhah dan mujahadah.
Dalam hulul, mujahadah untuk menghilangkan unsur-unsur “nasut” yang kotor, maka dalam ittihad, mujahadah untuk menghilangkan unsur-unsur “Khalq” yang kotor. Keduanya berorientasi pada bersatunya hamba dengan Tuhan.
Sementar pada konsep ajaran Wihdatul wujud terjadi pengembangan konsep – ittihad maupun hulul sehingga menyerupai teori filsafat emanasi yang dibangun oleh Plotinus. Kalau dalam hulul penjelmaan Tuhan terbatas pada diri manusia semata, maka dalam wahdatul wujud unsur Tuhan bisa meliputi dalam segala hal di alam semesta.
Dengan demikian menurut konsep wahdatul wujud segala sesuatu di alam semesta merupakan satu kesatuan tunggal yang merupakan manifestasi dari wujud(eksistensi Tuhan). Tuhan sebagi eksistensi utama dan alam semesta merupakan eksistensi bayangan atau pancaran dari eksistensi utama (Tuhan).