Lima Ciri Khas Masjid NU di Tengah Masyarakat Urban
Memasuki wilayah urban di Kota Surabaya, banyak bangunan tempat ibadah seperti masjid. Masjid yang tumbuh di pelbagai kawasan ini, terus bertambah.
Namun, masing-masing masjid mempunyai ciri khas. Apakah itu masjid yang didirikan komunitas Nahdlatul Ulama (NU) atau komunitas Muhammadiyah. Juga kelompok Islam lainnya.
Berikut penjelasan Ust Maruf Khozin, Pengasuh Pesantren Aswaja Sukolilo Surabaya, yang juga Direktur Aswaja NU Center Jawa Timur:
Di Surabaya kawasan Rungkut ada jamaah Majelis Shalawat bernama Paseban Agung yang dibina oleh Kiai Mukarram. Jamaahnya ribuan. Namun selama masa pandemi ini tidak beraktivitas, hanya saja Ngaji Ahad pagi baru dimulai hari ini dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Saya diminta menyampaikan materi tentang dalil-dalil Amaliah seputar Masjid yang menjadi ciri khas Masjid NU tetapi dibid'ahkan oleh saudara Muslim yang lain. Berikut adalah dalilnya;
1. Ada tongkatnya.
عَنْ شُعَيْبِ بْنِ رُزَيْقٍ الطَّائِفِىِّ قَالَ شَهِدْنَا فِيْهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ
Diriwayatkan dari Syuaib bin Zuraiq, ia berkata: “Kami menyaksikan di Madinah di hari Jumat bersama Rasulullah, kemudian beliau berdiri dengan berpegang pada tongkat atau anak panah” (HR Abu Dawud No 1098)
2. Pakai mimbar, bukan podium. Sebab yang sesuai Sunnah Nabi adalah Mimbar dengan 3 anak tangga.
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي إِلَى جِذْعٍ إِذْ كَانَ الْمَسْجِدُ عَرِيْشًا . وَكَانَ يَخْطُبُ إِلَى ذَلِكَ الْجِذْعِ فَقَالَ رَجُل مِنْ أَصْحَابِهِ هَلْ لَكَ أَنْ نَجْعَلَ لَكَ شَيْئًا تَقُوْمُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ حَتَّى يَرَاكَ النَّاسُ وَتُسْمِعَهُمْ خُطْبَتَكَ ؟ قَالَ ( نَعَمْ ) فَصُنِعَ ثَلاَثُ دَرَجَاتٍ . فَهِيَ الَّتِي أَعْلَى الْمِنْبَرِ
“Rasulullah salat dan khutbah di dekat pelepah kurma. Ada sahabat usul: “Bagaimana jika kami buatkan untuk Anda sebuah tempat yang dapat dilihat oleh orang dan suara khutbah Anda bisa didengar orang?” Nabi menjawab: “Ya”. Maka dibuatlah mimbar dengan 3 tangga (HR Ibnu Majah No 1414).
3. Dua kali Azan sebelum Jumat
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ - رضى الله عنهما - فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ - رضى الله عنه - وَكَثُرَ النَّاسُ
زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ
Adzan tambahan dalam Jumat memang baru diberlakukan dimasa Sayidina Utsman bin Affan dengan pertimbangan semakin banyaknya umat Islam (HR al-Bukhari No 412-916, kemudian hal ini menjadi ketetapan). Dari hadis ini al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Terlihat jelas bahwa orang-orang melakukan intruksi Utsman di semua Negara, karena beliau adalah pemimpin yang ditaati” (Fath al-Bari 3/318)
4. Bilal Jumat
( فَرْع ) اتِّخَاذُ الْمَرْقَى الْمَعْرُوفِ بِدْعَة حَسَنَة لِمَا فِيهَا مِنْ الْحَثِّ عَلَى الصَّلَاةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِرَاءَةِ الْآيَةِ الْمُكَرَّمَةِ وَطَلَبِ الْإِنْصَاتِ بِقِرَاءَةِ الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ الَّذِي كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَؤُهُ فِي خُطَبِهِ وَلَمْ يَرِدْ أَنَّهُ وَلَا الْخُلَفَاءَ بَعْدَهُ اتَّخَذُوا مَرْقِيًّا . وَذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ أَنَّهُ لَهُ أَصْلًا فِي السُّنَّةِ وَهُوَ { قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ خَطَبَ فِي عَرَفَةَ لِشَخْصٍ مِنْ الصَّحَابَةِ اسْتَنْصِتْ النَّاسَ }
“Pengangkatan muraqqi (Bilal) yang sudah dikenal adalah bid’ah hasanah, sebab ada dorongan untuk bersalawat kepada Nabi dan menyuruh diam dengan membaca hadis yang sahih yang dibaca oleh Nabi dalam khutbah-khutbahnya. Namun Nabi dan para sahabat tidak ada yang mengangkat muraqqi. Ibnu Hajar mengambil dasar hukum tentang Bilal ini yaitu ketika Rasulullah Saw khutbah di Arafah beliau menyuruh sahabat agar menyuruh orang-orang diam” (Hasyiyah Qulyubi 4/79. Mengutip dari Tuhfatul Muhtaj Ibnu Hajar al-Haitami, 9/310)
5. Bedug sebagai penanda waktu Salat
فِي حُكْمِ ضَرْبِ الطَّبْلِ الْكَبِيْرِ الَّذِي اسْتَعْمَلَهُ مُسْلِمُوْ اَرْضِ جَاوَاهْ فِي مَسَاجِدِهِمْ لِلاِعْلَامِ بِدُخُوْلِ الْوَقْتِ وَالدَّعْوَةِ اِلَى الْجَمَاعَةِ وَهِيَ خَشَبَةٌ كَبِيْرَةٌ طَوِيْلَةٌ جِدًّا يُنْحَتُ جَوْفُهَا نَحْتًا وَاسِعًا وَيُجْعَلُ عَلَى وَجْهَيْهَا جِلْدُ نَحْوِ جَامُوْسٍ وَيُسَمَّرُ عَلَيْهَا بِمَسَامِرَ كَبِيْرَةٍ مِنْ خَشَبٍ تُضْرَبُ بِخَشَبَةٍ صَغِيْرَةٍ فَيَخْرُجُ مِنْهَا صَوْتٌ دَوِيٌّ .... قُلْتُ ضَرْبُ الطَّبْلِ الْمَذْكُوْرِ لِلْغَرَضِ الْمَذْكُوْرِ مُبَاحٌ نَطَقَتْ بِذَلِكَ النُّقُوْلُ الْمَذْكُوْرَةُ بَلْ هُوَ دَاخِلٌ فِي اْلبِدْعَةِ الْمَحْمُوْدَةِ
Hukum tentang Bedug yang digunakan oleh umat Islam Jawa di masjid-masjid mereka, untuk memberi tahu masuknya waktu salat dan mengajak berjamaah. Bedug adalah kayu berukuran besar yang sangat panjang, yang didalamnya diberi lubang yang luas yang kedua tepinya ditutupi semisal kulit kerbau, dipaku dengan beberapa paku bersa yang terbuat dari kayu, kemudian ditabuh dengan kayu kecil, sehingga mengeluarkan suara gemuruh… Saya katakana: Menabuh bedug dengan tujuan di atas adalah boleh, bahkan masuk dalam bid’ah yang terpuji (Risalah al-Jasus fi Bayani Hukmi an-Naqus 13-14, krya Syaikh Hasyim Asy’ari pendiri NU)
Bedug dan Mimbar bukan patokan secara paten menandakan Masjid NU, sebab harganya mahal. Secara pribadi saya lebih condong pada sisi Amaliah sebagai ciri khas Masjid NU dari pada bersifat material, seperti zikir suara keras dan sebagainya.