Lima Cara agar Museum Selalu di Hati, Apa Saja?
Tahun 2020 merupakan tahun penuh tantangan untuk destinasi pariwisata, termasuk museum. Baik di Jogja maupun di kota-kota lainnya. Sejak pandemi Covid 19 masuk di Indonesia sekitar bulan Maret 2020, banyak museum yang tutup karena kondisi yang mengharuskan stay at home.
Baru sekitar bulan Oktober – November 2020, sejumlah museum kembali beroperasi seperti biasa. Tentu dengan menggunakan protokol kesehatan.
Pertanyaannya, apakah selama museum tutup, ada rasa rindu di hati masyarakat? Dan setelah buka, apakah masyarakat juga bergegas berkunjung ke museum? Jangan-jangan, museum mau buka atau tutup, tidak ada pengaruh bagi masyarakat?
“Itulah tantangan bagi museum untuk selalu ada di hati masyarakat. Sehingga salam sahabat museum yang bunyinya Museum di Hatiku benar-benar nyata. Ada rasa rindu jika tidak ke museum,“ ungkap Dr Ayu Helena Cornellia mengawali Seminar Nasional Series Kepariwisataan, lewat aplikasi zoom dan kanal Youtube pada 15 Desember 2020.
Seminar ini digelar Prodi S2/S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).Tema yang diangkat, ‘Museum di Yogyakarta: Masalah Promosi dan Solusinya’. Seminar menghadirkan Dr. Ayu Helena Cornellia, B.A, M.Si (alumni S3 Kajian Pariwisata UGM selaku narasumber) dan Prof. Drs. John Soeprihanto, MIM, PhD sebagai pembahas. Diskusi dimoderatori oleh Dr. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc.
Bagaimana strategi agar museum selalu di hati? Ayu Cornellia memberikan tips dalam promosi museum. Pertama, mengaktifkan dan meningkatkan media sosial. Kedua, mengaktifkan dan meningkatkan traffic website, ketiga, mengadakan special events – online dan offline, Keempat, perlunya advertising dan kegiatan public relations dan kelima, melibatkan milenial
Untuk menciptakan rasa rindu, lanjut Ayu Cornellia, harus diciptakan rasa senang terlebih dulu. Komunikasi pemasaran yang merupakan salah satu bidang ilmu dalam pemasaran dapat menjadi salah satu strategi bagi museum untuk menciptakan rasa senang bagi pengunjung.
“Harus ada To Do, To See, To Buy dan To Experience. Yang terakhir ini (To Experience) menjadi hal yang sangat berkesan bagi milenials yang memiliki jumlah target pasar terbesar di Indonesia saat ini,“ tambahnya.
Menurut Ayu Cornellia, mengutip sebuah studi yang dilakukan oleh Alvara Research Center (alvara-strategic.com), tahun 2020 ini millenials adalah “The Rising Market.” Jumlah milenial saat ini mendominasi market. Hal ini akan terus berlanjut kemungkinan sampai sekitar tahun 2035.
Berdasarkan hal tersebut, museum sebagai destinasi pariwisata harus berbenah untuk memenuhi hal-hal yang disenangi oleh generasi milenial. Begitu pula generasi setelahnya sebut saja generasi Z atau generasi Alpha.
Dalam studi Alvara Research Center ini ditemukan sembilan perilaku utama generasi milenial Indonesia yaitu kecanduan internet, loyalitas rendah, cashless, kerja cerdas dan cepat, multitasking, suka jalan jalan, cuek dengan politik, suka berbagi dan yang terakhir kepemilikan terhadap barang barang rendah.
Ayu Cornellia juga menambahkan alasan kenapa generasi millenial emoh ke museum. Ayu mengutip riset dari Jasmine Rahma Amalia (2020) mahasiswi Universitas Pertamina yang menyebut alasan keengganan milenial ke museum. Di antaranya kurangnya interaksi yang ada di museum serta kurang proaktif dalam mengajak masyarakat untuk ke museum.
“Saat ini penting bagi museum untuk meningkatkan minat kunjungan masyarakat melalui unggahan informasi dan aktivitas di media sosial serta menguatkan electronic word of mouth (E-WOM),“ tegas Ayu.
Ayu pun menekankan media sosial merupakan salah satu aspek penting dalam Integrated Marketing Communication (IMC) atau Komunikasi Pemasaran yang integratif. Dalam paparannya dengan mengutip disertasinya yang berjudul “Model Pemasaran Museum : Tantangan dan Kesempatan Berkembang di Era Digital” (Cornellia, 2018) dikemukakan bahwa media sosial merupakan salah satu hal penting yang harus direncanakan dan diterapkan secara konsisten dan persisten.
Hal ini tentunya harus diimbangi dengan suasana nyata di dalam museum sehingga strategi komunikasi pemasaran harus diimbangi dengan produk, organisasi dan sumberdaya manusia serta menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah.
Ditegaskannya, belajar dari krisis virus Corona 19 di era Industry 4.0 ini, diharapkan akan ada lesson learnt ke depannya. Yaitu mempersiapkan business agility atau kemampuan untuk berpikir dan memahami keadaan dengan cepat. Kemudian, kolaborasi yang konstan dan literasi berkelanjutan. Selain itu Resilience atau sikap yang menunjukkan daya tahan dan tahan banting terhadap tekanan perlu untuk terus diupayakan.
Persaingan dengan destinasi atau atraksi pariwisata lain akan terus muncul apalagi di era disrupsi teknologi ini. Sehingga museum perlu memiliki “brand standard” sendiri untuk selalu ada di hati.
John Soeprihanto, selaku pembahas menambahkan, untuk dapat bertahan dan berkembang di era digital dan pandemi Covid 19 serta menargetkan milenial, beberapa hal penting dapat dilakukan. oleh museum. Pertama, mengembangkan media sosial. Kedua, memiliki SDM yang mumpuni di bidang PR/Marketing. Ketiga, product & service yang menciptakan Guest Experience/Parcipatory dan keempat, sering mengadakan interactive event online atau offline minimal satu bulan sekali.
Di akhir paparan, baik Ayu maupun John setuju untuk menekankan perlunya diversifikasi event di museum. Hal ini sebagai upaya promosi baik pada milenial maupun generasi sesudahnya yang nantinya akan menjadi market baru. (*)
Advertisement