Lima Bencana Alam selama 2021, Gus Baha Beri Analog Mengejutkan
Di tengah pandemi Covid-19 yang masih berjalan, setidaknya ada lima bencana di awal tahun 2021. Antara lain: gempa bumi di Sulawesi Barat, banjir di beberapa kabupaten di Kalimantan selatan, longsor di Sumedang, banjir dan longsor di Manado, Sulawesi Selatan, dan erupsi gunung Semeru.
Bila bencana ini adalah musibah, lantas apakah musibah adalah adzab dari Allah? KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) memberi penjelasan khusus atas fenomena alam yang tengah terjadi tersebut.
Al-Ayid dalam kitabnya, Al-Mu’jam Al-‘Arabi Al-Asasi mengatakan bahwa di dalam Al-Quran bencana alam erat dikaitkan dengan musibah yang diartikan sebagai segala hal yang tidak disukai yang menimpa seseorang.
Musibah dengan derivasinya diulang sebanyak 77 kali di dalam Al-Quran. Terkhusus kata “musibah” sendiri disebutkan sebanyak 10 kali. Hanya saja kata musibah dan derivasinya tidak selamanya mengarah kepada peristiwa atau kejadian yang berkenaan dengan bencana alam, sebab konsepnya lebih luas daripada bencana alam, kejadian buruk apapun meskipun skala dan efeknya kecil tetap saja disebut musibah.
Hal umum di masyarakat, ketika terjadi bencana alam yaitu muncul asumsi sepihak yang mengatakan bahwa bencana alam terjadi disebabkan karena kemurkaan Allah Swt. kepada manusia karena perbuatan maksiat mereka, semua musibah adalah adzab dari Allah karena pelanggaran hambaNya.
Ketentuan Allah Ta'ala
Gus Baha memberikan penjelasan terkait esensi suatu musibah. Menurutnya, “musibah adalah ketentuan Allah Swt. yang sifatnya potensial (berdasarkan siklusnya) bukan murni karena kemurkaan Allah.”
“Hal ini berbeda konteks ketika berbicara musibah yang ditujukan kepada umat-umat terdahulu yang membangkang terhadap ajaran para Nabi, yang terdapat di dalam Al-Quran maupun Hadis (manshush), terkait dengan itu semua musibah yang menimpa mereka murni karena kemurkaan Allah Swt”.
Pengasuh pesantren tahfidz Al-Quran, Sawah, Narukan, Rembang, menegaskan hal itu pada salah satu kajiannya, “Musibah Awal Tahun 2021, Apakah Azab?” yang diupload di channel youtube Online Berbagi.
Kiai yang juga hafidz Al-Quran ini menganalisis secara mendalam surah Al-Isra ayat 68-69. Ayat tersebut menjelaskan berbagai macam musibah, tetapi dengan redaksi yang bermakna sesuatu yang potensial. Mengapa potensial? karena tegas beliau ayat-ayat tersebut kebanyakan menggunakan redaksi berupa kalimat-kalimat pertanyaan “sudah merasa amankah kamu, jika kami guncangkan bumi dan lain sebagainya?”
Hal ini berbeda dengan term rahmat yang redaksinya selalu menggunakan shigatul jasmi yang berarti sebuah kepastian, sebagaimana pada surah Al-An’am:12 dan di surah-surah lainnya.
Lalu, bolehkah kita berasumsi bahwa gempa, tsunami dan banjir yang terjadi di Indonesia ini karena adzab Allah yang disebabkan oleh maksiat?
Terkait hal tersebut Gus Baha menerangkan bahwa “menjustifikasi bahwa musibah adalah adzab dari Allah yang ditimpakan kepada manusia bukanlah wilayah kita, cukup berhenti dengan mengatakan ini adalah kuasa Allah SWT. sebab Allah memiliki sifat qadir (kuasa) atas segalanya, apalagi sampai kita mengatakan itu karena maksiat yang dilakukan oleh manusia”.
Analog Khas Gus Baha
Gus Baha menganalogikan, “andaikan musibah ini terjadi karena satu alasan yakni karena penduduknya banyak melakukan kemaksiatan, misal di Kalimantan Selatan penduduknya melakukan kemaksiatan sehingga turunlah banjir, jika pertimbangannya demikian, lalu bagaimana dengan daerah Bali yang katanya tempat maksiat para wisatawan asing dan lain sebagainya, mengapa tidak pernah diazab oleh Allah SWT.?”
Kiai yang khas dengan bahasa Jawa-nya ini memberikan pernyataan yang sangat bijak terkait sikap kita terhadap para korban yang tertimpa musibah, “Oleh karenanya, tidaklah pantas kita mengatakan bahwa musibah ini adalah adzab dari Allah, hukuman dan murka Allah yang ditimpakan kepada manusia karena kemaksiatannya, karena itu bukanlah hak kita. Perlu diketahui juga bahwa adzab Allah kebanyakan ditujukan untuk orang-orang yang kafir (bukan untuk orang mukmin)”
Penjelasan Gus Baha ini merupakan sebuah teguran yang harusnya menampar kita sebagai sesama manusia untuk tidak serta merta melakukan blamming the victim (menyalahkan korban) sebagaimana yang rentan kita temui di media masa, yang sedikit-sedikit mengutip ayat dan hadis untuk membenarkan bahwa musibah adalah adzab dari Allah karena maksiat yang terjadi di sana-sini. Kita lupa bahwa hadirnya bencana alam juga bermakna sebagai ujian (bala’) dan bisa juga rahmat (kasih sayang) yang diberikan Allah Swt. kepada umat manusia.
Sebagai sesama mukmin, hendaknya kita saling mendoakan, memotivasi, bukan saling menjatuhkan dan menyalahkan orang lain seolah diri kita benar-benar suci. Sadarlah, kita juga manusia yang masih penuh dengan dosa. Jikalau kita mencerca mereka dengan cacian dan prasangka buruk kita, maka penulis menganalogikan para korban bencana tersebut dengan kalimat “sudah jatuh (sakit), tertimpa tangga lagi”.
Semoga kita mampu mengintrospeksi diri dan saling mendoakan agar bumi kita selalu dilindungi dan dilimpahkan rahmat oleh Allah SWT. Amin.
Advertisement