Lika-Liku Perjuangan Sukardi, Difabel Pengrajin Miniatur Bambu
Sukardi tergopoh-gopoh menyelesaikan makan siangnya. Duduk di kursi roda, Sukardi bergegas menelan suapan terakhir dari tangan istrinya, Widyawati.
Sukardi bersiap menyambut kedatangan Ngopibareng.id di kediamannya di Dusun Kayen gang 2, Desa Kayangan, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang.
Tak lama, Sukardi menuju ke ruang tamu dengan kaos oblong dan masker berwarna hitam. Di ruang tamu itu terpajang puluhan karya miniatur Sukardi dengan berbagai motif yang terbuat dari bambu. Di antaranya lampu belajar, baling-baling, burung hantu dan ayam.
“Saya membuat berbagai miniatur secara otodidak. Ide motifnya terkadang dari saya, istri dan teman. Untuk membuat karya saya juga dibantu istri untuk menggambar polanya. Kami juga sering bertukar ide,” kata Sukardi ditemani sang istri, Selasa, 18 Agustus 2020.
Dengan semangat, Sukardi menunjukkan salah satu contoh karya buatannya yang berbentuk burung hantu. Sukardi mengaku tidak mengalami kesulitan dalam membuatnya. Untuk membuat berbagai motif dipilih bambu sesuai bentuk yang akan dibuat.
Bambu besar digunakan untuk membuat kerajinan lampu hias. Sedangkan, yang ukuran kecil untuk pajangan ayam atau burung hantu. Setiap hari, Sukardi menghasilkan karya dengan telaten sejak pukul 09.00 hingga 16.00 WIB.
Pengidap Disabilitas Akibat Kecelakaan Kerja
Sukardi bercerita kisah menjadi seorang difabel. Dulunya ia mampu berdiri seperti manusia normal. Namun, semua berubah pada tahun 2001. Sukardi yang kala itu bekerja di pertambangan emas tertimpa gundukan pasir di Kalimantan.
Lantaran tak mampu berdiri, Sukardi dibopong empat rekan kerjanya dievakuasi dari kecelakaan kerja.
“Waktu itu saya masih mengoperasikan mesin untuk mengolah pasir dengan duduk jongkok. Pasir disedot mesin agar terpisah dari emas. Punggung saya kejatuhan gundukan pasir dan terasa berat, siang yang panas itu saya langsung diangkat empat teman. Mereka sambil berteriak dengan panik,” kata Sukardi.
Sukardi saat itu tidak bisa menggerakkan anggota badannya kecuali tangan dan kepala. Semua badannya terasa sakit dan kesulitan bernafas. Dia lantas dibawa berobat ke sangkal putung, namun kondisinya tak lekas membaik.
Sukardi lalu memutuskan berobat ke kampung halamannya di Purwodadi. Saat dibawa ke sangkal putung barulah diketahui jika tulang belakang serta tulang rusuknya patah.
Sayangnya, karena keterbatasan dana, Sukardi hanya menjalankan pengobatan seadanya. Ibunya yang buruh tani tak mampu mebayar biaya pengobatan, sedangkan kesepuluh saudaranya sibuk dengan rumah tangga masing-masing.
Tak ayal, Sukardi tidak bisa melakukan aktivitas apapun hingga 5 tahun lebih. Sukardi yang dirawat ibunya menghabiskan banyak waktu di tempat tidur. Akhirnya pada tahun 2006, Sukardi berupaya agar bisa berjalan dengan menggunakan bantuan tali.
“Saya sempat membuat papan sendiri dengan badan saya ikatkan dengan tali agar bisa pergi keluar. Saya juga pernah membuat kursi roda dari bahan bekas. Saya sangat ingin berkreatifitas dan tidak berdiam diri, sayangnya lingkungan tidak mendukung,” katanya.
Terinspirasi dari Televisi
Sejak tahun 2006 kondisi Sukardi yang menderita paraplegia mulai membaik. Pria 35 tahun itu bisa duduk dengan sempurna dan berkeliling ke luar rumah menghirup udara bebas. Semangat Sukardi sedikit demi sedikt bangkit. Hatinya bergejolak untuk segera berkarya.
Akhrinya, pada tahun 2008 secara tidak sengaja Sukardi mendapat ilham setelah menonton televisi. Sukardi memiliki ide membuat kerajinan dari bambu. Namun, karena keterbatasan alat dan dana, keinginannya baru tercapai pada tahun 2009.
“Saya sebenarnya dari dulu ingin berkarya, tapi sama saudara nggak didukung. Nggak ada alat dan bahan. Saya kepikiran buat kerajinan setelah menonton tv, akhirnya baru tahun 2009 saya buat layangan, kandang dan sarang burung. Bambunya dapat dari tetangga dan sisa dari ayah saya,” katanya.
Sukardi saat itu memasarkan 300 layangan bermotif kupu-kupu hingga tahun 2011. Sukardi sempat vakum akibat penyakit pencernaan yang dideritanya serta terbatasnya ketersediaan bambu. Sukardi memulai membuat kerajinan kembali setelah diberi dukungan temannya pada tahun 2019.
“Saya sempat berhenti karena sakit pencernaan dan kondisi saya memburuk. Beruntung, pada 2019 saya diberi sumbangan teman dari Yogyakarta untuk mulai berkarya hingga saat ini. Saya juga pernah mengirim 200 lebih minatur ke Yogyakarta,” katanya.
Advertisement